Jumat, 16 Juli 2022
- Mi. 2:1-5.
- Mzm. 10:1-2,3-4,7-8,14.
- Mat. 12:14-21
“KELUARGA adalah tempat di mana buluh yang patah terkulai tak akan dipatahkan, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan.” Paus Fransiskus
Tidak mudah menerima saudara yang telah jatuh dalam kesalahan dan membuka tangan seluruhnya untuk merangkulnya.
Seringkali kita menolaknya dan lebih baik orang seperti ini pergi selamanya dan tidak pernah kembali dalam kehidupan bersama.
Mendengar namanya disebut saja telah membawa keresahan dan ketidaknyamanan, apalagi jika harus kumpul bersama dan tinggal bersama.
Banyak orang merasa diri lebih baik maka menerima orang yang telah nyata-nyata hanya membawa “kutuk” dan punya nama jelek adalah sebuah malapetaka.
Seorang ibu mesyeringkan betapa dia merasa heran karena suami dan anak-anaknya tidak merasa bersalah ketika mereka menolak salah satu saudaranya yang kembali dari masa di penjara karena kesalahan yang pernah dia perbuat.
“Lebih baik tidak melihat dia kembali ke rumah daripada membawa kesulitan dan kesusahan serta mengundang banyak pertanyaan orang lain,” kata bapaknya.
Namun sikapnya itu ditentang isterinya atau ibu itu yang dengan segenap cara membuka pintu hati seluruh keluarga untuk menerimanya.
Ibunya bilang dia memang telah salah dan telah menjalani hukuman sebagai pertanggungjawabannya, dia harus pulang dan kita harus menerimanya.
Ini baru namanya keluarga ketika ada yang sakit, lemah dan terpuruk kita mengulurkan tangan untuk membantu dan mennguatkannya.
Namun saudaranya dengan keras menyanggah, karena menurutnya tidak ada yang bisa menjamin dia tidak akan jatuh dan mengulangi kesalahan yang sama.
Ibu itu tetap bersikukuh menyambut anaknya, dan bahkan jika perlu dia akan pergi bersama anaknya yang malang jika pintu rumah dan pintu hati bapak dan saudara-saudaranya tetap tertutup.
Dalam keluarga itulah anak yang malang ini menemukan kembali kekuatan atas hidupnya bagai rajawali menumbuhkan kembali bulu-bulu di sayapnya yang selama ini telah rusak untuk siap terbang.
Dia hidup kembali dan tumbuh menjadi pribadi yang sangat berbeda dengan yang lalu. Dia sudah bertobat dan menemukan jalan baru.
Keluarga menjadi tempat menguatkan semangat dan kehidupan yang hampir putus asa, dan terbenam.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian;
“Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang.”
Mukjizat terjadi ketika kita diambang kematian karena kesalahan, menemukan jalan baru dan kemungkinan baru untuk bertumbuh dalam hidup baru.
Di mata Tuhan kita yang patah terkulai dan tidak berharga serta tidak berguna tidak dihancurkan atau dibuang melainkan dikuatkan dan dimuliakan.
Tuhan Allah rela “repot-repot” membenahi kita yang dalam keadaan seperti buluh yang patah terkulai.
Bagaimana dengan diriku?
Apa yang harus aku lakukan sebagai bentuk syukur atas kebaikan Tuhan dalam hidupku?