USAI kunjungan, kami langsung menuju Stasi St. Stefanus Sumegar. Sesuai nasihat Lurah Sugiyono, kami menyusuri jalan ke arah kami datang. Banyak lobang dengan air berlumpur mesti dilintasi mobil Panther milik paroki.
Tidak lama kemudian, ban mobil menjejak jembatan dengan besi bulat jarang-jarang yang terhampar begitu saja. Dari seberang sedang menunggu mobil Rush yang hendak menyeberang. Kami berhasil menyeberangi jembatan yang berbunyi, karena gesekan besi-besi bulat. Mobil Rush bergantian menyeberang.
http://www.sesawi.net/2018/01/07/catatan-perjalanan-ke-oku-timur-sumsel-lurah-sugiyono-semangat-merawat-kebhinekaan-indonesia-di-hari-natal-7/
Masuk kobangan jembatan
Malang sudah bagi mobil kami. Tiba-tiba roda belakang terpeleset masuk ke dalam lobang yang dalam. Mas Gonek, sopir kami, berusaha menginjak gas keras-keras. Namun mobil tidak bisa keluar dari jalan licin dan dalam itu.
Lalu bagaimana? Misa Natal tinggal beberapa menit lagi.
Mas Gonek dan tiga penumpang lain turun dari mobil, meninggalkan saya sendirian di dalam mobil. Lantas ia berusaha menghubungi umat untuk menjemput kami. Namun tidak ada kabar berita. Jalan satu-satunya adalah dorong mobil. Selain Rina, Devi dan saya, ada seorang pemuda yang ikut bersama kami.
“Bagaimana kalo Romo yang nyopir dan kami berempat dorong?,” usul Rina.
Saya mengangguk. Saya pun pindah ke kanan tanpa turun dari mobil. Lantas saya injak pedal gas kuat-kuat. Mobil tidak bisa keluar alias tetap di tempat. Malah lumpur bertambah dalam. Saya turunkan gas, lalu saya mundurkan mobil. Lalu saya masukan gigi satu dan saya injak pedal gas keras-keras. Tidak sampai satu menit, mobil berhasil keluar dari lumpur.
Maka Rina yang berada di roda belakang segera bermandikan lumpur. Ia berteriak-teriak histeris setelah menyadari hampir seluruh tubuhnya penuh lumpur. Namun dasar kids Zaman Now, bukannya merasa sedih. Malah ia meminta difoto sambil tertawa kegirangan.
Saya menghentikan mobil tidak jauh dari jalan berlumpur itu. Perjalanan masih sekitar tiga kilometer lagi. Mas Gonek kemudian mengambil alih kemudi mobil. Perjalanan selanjutnya ditempuh dalam waktu kurang dari 10 menit. Tidak ada rintangan apa-apa.
Melibatkan umat lain
Umat telah menunggu di dalam gereja stasi yang bersih. Saya menyalami umat Muslim yang sedang duduk di bawah pohon karet di halaman gereja yang luas. Lalu saya beranjak ke sankristi yang berada di samping gereja.
Para petugas liturgi sudah siap.
“Sejak tahun lalu umat Muslim kita libatkan dalam acara-acara kita. Umat Katolik juga terlibat saat umat Muslim membuat acara-acara keagaman mereka,” kata seorang bapak kepada saya.
Mereka merajut kebersamaan sebagai bangsa. Apalagi kebanyakan dari mereka adalah transmigrasi dari Pulau Jawa. Bisa saja mereka berasal dari desa atau kampung yang sama di Jawa.
“Biasanya di sini kami merayakan Natal pada hari kedua sesudah Natal. Sekalian kami merayakan pesta Nama Stasi, St. Stefanus, Romo,” kata Mas Anton, mantan ketua stasi.
Saulus menjadi Paulus
Hari itu, Selasa (26/12), merupakan pesta St. Stefanus Martir. Dialah martir pertama setelah kebangkitan Yesus. Dia dirajam oleh orang-orang Yahudi, karena mempertahankan imannya akan Yesus Kristus yang bangkit setelah tiga hari berada dalam kegelapan maut.
“Iman St. Stefanus Martir berbuah kebaikan bagi Gereja Semesta dengan bertobatnya Saulus yang memberi rekomendasi atas kematian St. Stefanus. Setelah bertoba, Saulus berganti nama menjadi Paulus yang menjadi rasul bangsa-bangsa. Bahkan dia sendiri menjadi martir di Kota Roma. Dia mewartakan Kabar Gembira ke berbagai penjuru. Karena itu, kita semua mesti berbuah kebaikan dalam hidup iman kita,” tandas saya dalam kotbah.
Umat sangat bersemangat merayakan Natal sekaligus pesta nama stasi. Lagu-lagu Natal mereka nyanyikan dengan lancar, penuh penghayatan dan tanpa salah sedikit pun.
Usai Perayaan Ekaristi, tidak ada kunjungan. Namun umat sudah menyiapkan pesta di dalam gereja. Bangku-bangku gereja mereka pindahkan ke samping. Ada yang dikeluarkan dari gereja.
Lantas ibu-ibu menyiapkan makanan. Ada nasi bungkus lengkap dengan lauk pauk dan sayur. Ada yang makanan siap saji dengan tumpeng kelahiran. Usai doa makan, ketua stasi memotong tumpeng yang diberikan kepada saya.
Suatu santap siang persaudaraan yang penuh makna.
Sambil makan, tiga anak bergoyang di atas panggung dadakan di dalam gereja stasi. Mereka memeriahkan Hari Kelahiran Tuhan Yesus Kristus.
Hari itu, semua orang mendapatkan makanan. Tidak ada yang pulang dengan perut kosong. Tuhan sungguh baik kepada umat-Nya. Dia melimpahkan kasih-Nya pada hari kelahiran Putera-Nya. Kasih=Nya menjadi sempurna ketika Putera-Nya memberikan hidup-Nya sebagai bagi santapan jiwa-jiwa.
Tuhan berharap, umat yang telah ditebus-Nya juga melakukan hal yang sama, yaitu memberi hidup bagi banyak orang.
Budaya yang diperjuangkan adalah budaya kehidupan, bukan budaya kematian.
Kami pulang ke Pastoran Tegalsari dengan hati berbunga-bunga. Apalagi mobil yang kami tumpangi mampu menembus lubang-lubang berlumpur. (Berlanjut)