SENIN pagi (25/12) Misa Natal di Paroki Para Rasul Kudus. Saya baru beranjak ke kamar mandi pukul 06.30 WIB. Perayaan Ekaristi akan dimulai pukul 07.00. Tampaknya saya akan terlambat ke gereja. Biasanya, 15 menit sebelum misa, saya sudah berada di sekitar altar untuk menyiapkan segala sesuatu berkenaan dengan Perayaan Ekaristi. Tapi kali ini, saya baru masuk gereja lima menit sebelum Perayaan Ekaristi dimulai.
“Di sini misa anak-anak. Tapi tidak banyak anak yang akan datang. Para orangtua juga tidak banyak, karena sudah misa tadi malam,” kata Romo Suparman SCJ.
Romo Suparman akan merayakan Misa Natal di dua stasi lain, yaitu Stasi Serdang dan Stasi Karang Jaya. Di Stasi Serdang terdapat Taman Doa Santa Faustina yang dibangun atas sumbangan sebuah keluarga kepada Kerahiman Ilahi.
Sedangkan Perayaan Natal di Stasi Karang Jaya berupa Natal Bersama di tiga stasi, yaitu:
- Stasi Karang Jaya.
- Stasi Sumber Jaya.
- Stasi Tanjung Beringin.
http://www.sesawi.net/2018/01/01/catatan-perjalanan-natal-ke-oku-timur-sumsel-mempersembahkan-diri-4/
Tidak penuh
Benar saja. Saat Perayaan Ekaristi, gereja tidak penuh. Umat yang datang tidak sampai seratusan. Para anggota koor adalah orang-orang dewasa. Anak-anak tidak terlalu banyak yang hadir.
“Saya kira yang bertugas anak-anak,” kata saya ketika berjumpa dengan Romo Suparman pada malam harinya. Dia cuma menyunggingkan senyum.
Gereja musiman
Yah, Gereja Tegalsari terkenal dengan ‘gereja musiman’. Saat musim tanam atau musim panen padi, tidak banyak umat yang hadir dalam Perayaan Ekaristi. Banyak umat sibuk mengolah sawah. Tidak peduli bahwa pada Hari Minggu atau Hari Raya mereka mesti ke gereja.
“Di sini, umat yang lama-lama tidak antusias. Yang muda-muda saja yang antusias diajak terlibat dalam hidup menggereja. Lain dengan di stasi-stasi yang umatnya sangat hidup. Mereka terlibat dalam hidup menggereja dan bermasyarakat,” tutur Romo Suparman SCJ.
Meski umat sedikit, saya tetap semangat merayakan Ekaristi. Menurut Rina dan Devi, kotbah saya terlalu panjang meski penuh semangat membawakannya. Yah, Perayaan Ekaristi mesti dirayakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati.
“Dalam Perayaan Ekaristi, Tuhan Yesus sendiri yang menjadi tuan rumah. Dia mengundang kita untuk ikut serta dalam perjamuan-Nya. Tuhan Yesus sendiri memberikan hidupNya untuk kita santap. Jadi kita merayakan Ekaristi pertama-tama karena Tuhan yang mengundang kita,” kata saya dalam kotbah yang panjang itu.
Stasi St. Maria Tanjung Kemuning
Usai Perayaan Ekaristi di paroki, kami berangkat menuju Stasi St. Maria Tanjung Kemuning, sekitar tujuh kilometer dari Tegalsari. Jalan menuju stasi ini terbilang mulus. Cuma sopir mesti hati-hati melewati tanggul yang sempit. Saat berpapasan dengan mobil lain, salah satu mesti minggir di tempat yang lebih luas. Kalau tidak, bisa-bisa terjun bebas ke dalam parit yang dalam.
Tampak para petani sedang menanam padi di kiri kanan tanggul. Sementara di beberapa tempat, padi sedang meninggi. Tentu saja di antara sawah-sawah itu juga pemiliknya adalah umat Katolik. Atau di antara para petani yang sedang menanam itu tentu ada umat Katolik.
Perjalanan dari Pastoran Tegalsari menuju Stasi St. Maria Tanjung Kemuning membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Umat sudah memenuhi gereja stasi ini. Sejumlah umat masih duduk-duduk di rumah sebelah kanan gereja. Mereka menyambut kedatangan kami dengan sukacita.
Usai menyalami umat, saya menuju sakristi. Para petugas liturgi sedang menyiapkan diri. “Kita pakai bacaan-bacaan Misa Natal Pagi ya,” pesan saya kepada lektor dan pemazmur.
Tampak para petugas liturgi dan koor telah menyiapkan diri dengan sangat baik dan penuh semangat. Hasilnya, saat bertugas, mereka melakukannya dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh menghayatinya.
Dalam kotbah, saya menjelaskan tentang Allah yang senantiasa menyayangi manusia dengan memberikan PutraNya sendiri bagi manusia. Allah yang tinggi jauh tak terjangkau itu mendatangi ciptaan-Nya. Putera-Nya menjelma menjadi manusia, tinggal di antara manusia. Dia hidup seperti manusia biasa kecuali dalam hal dosa.
“Allah Bapa menghendaki. agar kita pun saling mengasihi seperti Putera-Nya telah mengasihi kita. Caranya dengan saling peduli dan melayani,” kata saya.
Tabernakel
Di gereja Stasi St Maria terdapat tabernakel. Karena itu, Sakramen Mahakudus yang lebih, setelah diterimakan kepada umat waktu komuni, bisa disimpan di tabernakel ini. Setiap wilayah memilih satu stasi untuk ditempatkan tabernakel. Pada Ibadat Sabda tanpa imam yang dipimpin oleh para prodiakon, umat dapat menerima Sakramen Mahakudus.
Stasi-stasi lain dari wilayah akan mengambil Sakramen Mahakudus dari stasi yang memiliki tabernakel.
Biasanya dua pekan sekal, pastor berkeliling ke stasi-stasi ini untuk merayakan Ekaristi. Dua pekan lainnya, umat merayakan Ibadat Sabda dengan menyambut komuni kudus. Dengan demikian, setiap akhir pekan umat menerima Sakramen Mahakudus yang menjadi kekuatan bagi jiwa-jiwa mereka dalam mengarungi kehidupan.
“Umat di sini menjadi terbiasa merayakan Ekaristi dan Ibadat Sabda. Dua pekan sekali romo datang dari paroki. Biasanya mereka bergantian datang,” kata salah seorang umat.
Tradisi kunjungan
Tradisi kunjungan tidak kami lewatkan. Namun sebelum kunjungan ke rumah umat, kami mampir di rumah sebelah kanan gereja. Sekitar 40 menit kami bertamu di rumah ini. Setelah itu, kami berangkat ke rumah yang menjadi tuan rumah kunjungan kali ini.
Tuan rumah, sejumlah pemuda dan sejumlah bapak telah menunggu kami. Wajah-wajah penuh ceria menyambut kedatangan kami. Kue-kue Natal di atas meja menanti sentuhan tangan-tangan kami.
Opor ayam yang lezat menjadi hidangan Natal. Lantas bakso daging sapi dan pecel menjadi santapan tambahan yang menggoda lidah. Makan siang yang penuh keakraban menjadi tanda persaudaraan.
Tidak lama kemudian sebuah keluarga Muslim datang berkunjung. Mereka memberi ucapan Selamat Natal kepada kami. Mereka juga ikut menyantap hidangan Natal.
Suatu persaudaraan yang tampak nyata mempererat perjalanan manusia di dunia fana ini. Semoga persaudaraan ini tidak luntur oleh para pemecah bangsa.(Berlanjut)