Anggota KBKK yang tidak biasa mendampingi sekami pun menjadi pendamping dadakan. Mimi membuat lirik baru lagu “Happy Yeye” menjadi “Ipi Yaya”, beda-beda tipis tapi cukup membuat gembira karena mendapa lagu baru. Konon lagu Ipi Yaya ini akan menjadi lebih seru bila dinyanyikan mengikuti nada lagu “Cucak Rowo”, “lebih ser serrr,” kata Wiwik dan Grace. Saya dan Rm. Jimmy juga melayani beberapa umat yang minta didoakan, maka lengkaplah sudah.
Setelah selesai pelayanan medis dan bina iman anak, masing-masing diantar ke rumah penginapan. Rupanya umat setempat telah mengatur setiap anggota rombongan menginap di rumah umat. Mereka menyediakan kamar terbaik bagi tamu. Keramahan yang sangat khas dan tulus.
Orang memberi yang terbaik dari kekurangan. Untuk mandi pun mereka menyediakan tempat mandi terbaik yang mereka miliki, bahkan “meminjam” kamar mandi tetangga yang nota bene bukan Katolik! Sungguh komunitas tanpa sekat yang asli dan tulus. Ada dari antara anggota KBKK yang sangat bergembira boleh untuk pertamakali mengalami mandi dengan menimba di sumur. Awalnya bingung tapi akhirnya mandi juga.
Komunitas ideal
Malam hari diisi dengan makan malam bersama. Masyarakat di tempat-tempat yag didatangi ini mempunyai kebiasaan yang unik. Tempat makan malam ditentukan di satu tempat, tetapi makanan (nasi dan lauk pauk) dibawa masing-masing dari rumah. Jadi kita akan mendapatkan menu yang berbeda karena dimasak oleh orang berbeda di rumah berbeda pula. Komunitas ideal Jemaat Perdana sedikit-sedikit bisa dialami di sini.
Setelah makan malam acara dilanjutkan dengan pendalaman iman. Semua ikut aktif dalam sharing tujuh langkah ala AsiPa. Metode ini membuat mereka berani bicara membagikan pengalaman hidup mereka dalam terang Kitab Suci. Saya teringat kata-kata Yesus, “Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil (Mat 11:25).
Setelah sharing dan doa malam masing-masing kembali ke rumah untuk istirahat. Saya masih menyempatkan diri bincang-bincang dengan suami-istri pemilik rumah tempat saya menginap. Jarum jam sudah mendekati angka 12 ketika kami beranjak ke tempat tidur.
Menuju Serei
Sabtu pagi setelah mandi tiap-tiap kelompok merayakan ekaristi di tempat masing-masing. Setelah ekaristi rombongan dari Kulu bergabung ke Tarabitan lalu bersama menuju Serei untuk naik kapal menuju Pulau Lihaga. Serei adalah perkampungan tertua di Minahasa Utara. Di dekat dermaga ada tugu dengan patung tanpa kepala.
Seorang penduduk bercerita itu adalah tugu yang dibangun pemerintah Belanda dengan patung Ratu Wihelmina. Patung itu dihancurkan tentara Jepang ketika mereka masuk ke Minahasa. Ah sepenggal sejarah kecil di utara Minahasa! Gelombang laut lumayan tenang meskipun agak bergelora. Dr. Swa mengatakan kepada saya, “romo, apakah saya sebaiknya langsung ke Likupang saja dan menunggu di sana sampai rombongan pulang”. Saya meyakinkan dr. Swa bahwa perjalanan dengan kapal akan baik-baik saja.
Rm. Dino, Pastor Paroki Kokole, juga ikut meyakinkan dr. Swa. Yang pasti kami semua selamat sampai di Pulau Lihaga tanpa mabuk laut. Tiba di Lihaga, dari kejauhan kami sudah melihat rombongan dari Pulau Gangga di bawah pimpinan Rm. Terry dan dr. Lukas sudah lebih dulu hadir.
Hari itu sepanjang setengah hari kami menjadi ‘pemilik’ Pulau Lihaga. Acara mandi mandi dan bermain pasir ditutup dengan makan siang bersama. Umat dari P. Gangga sudah menyediakan makan siang, ditambah dengan kue-kue buatan lokal.
Rombongan lalu kembali melalui Likupang dan pulang ke Lotta. Capek, lelah dan ngantuk tersembunyi dibalik keceriaan termasuk rasa lucu dan kaget melihat toilet sementara di kapal : terpal plastik dibentangkan dan ‘klien’ membuang hajatnya di balik terpal. Setelah selesai terpal dilipat kembali. Praktis dan cepat, hehehe.