HARI Minggu (24/12) Pukul 18.50 WIB, kami tiba di Gereja Stasi Santo Simon Rejosari (BK 14), Belitang, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Ratusan lobang dan genangan air kami lewati, meski kecepatan mobil tidak pernah melebihi 40 Km per jam.
Umat sudah memadati kapel baru. Pasalnya, umat Stasi St. Thomas Tromoharjo yang berada di seberang Desa Rejosari juga berkumpul di Stasi Rejosari. Setelah menyalami sejumlah umat di depan kapel, saya langsung beranjak ke sakristi.
Sayang, tiba-tiba listrik milik PLN mati.
“Nah, sudah lama tidak mati, kok kita mau merayakan Natal malah mati?,” kata seorang prodiakon dengan nada kesal. Ia menggeleng-gelengkan kepala tanda kecewa.
Umat yang mendapat tugas untuk menyiapkan genset begitu cekatan. Mereka segera menghidupkan genset. Cahaya lampu kapel kembali menyala dalam beberapa menit saja.
Terdengar suara merdu dari koor diiringi musik keyboard. Setelah itu, seorang ibu menyanyikan Maklumat Natal. Sambil mendengarkan Maklumat Natal, saya mengajak para petugas untuk menyiapkan diri dengan berdoa. Lantas bersama para petugas liturgi, kami berarak menuju altar diiringi lagu pembuka.
Perayaan Ekaristi Malam Natal berjalan dengan baik hingga pertengahan kotbah. Di tengah-tengah kotbah, tiba-tiba listrik mati lagi. Menurut keterangan kemudian, ternyata salah satu kabel terbakar. Namun dengan cekatan petugas genset berhasil menyalakan lampu-lampu kapel.
http://www.sesawi.net/2018/01/01/catatan-perjalanan-natal-ke-oku-timur-sumsel-imam-biasakan-siapkan-sendiri-peralatan-misa-3/
Arti “Betlehem”
Saat kotbah, saya menekankan persembahan diri Yesus. Saya menguraikan tentang makna Kota Betlehem di mana Tuhan Yesus lahir.
Saya mengatakan, bet berarti rumah. Lehem berarti roti. Betlehem berarti rumah roti. Bayi Yesus dibungkus dengan kain lampin dan ditempatkan di dalam palungan.
“Artinya sejak bayi, Yesus telah memberikan diri menjadi roti yang hidup bagi kita manusia. Yesus yang diletakkan di atas palungan siap disantap bagi hidup manusia. Puncak persembahan diri Yesus kemudian terjadi di Golgota, ketika Dia disalibkan untuk menebus dosa manusia,” kata saya.
Karena itu, umat kristiani mesti belajar mempersembahkan hidup seperti Tuhan Yesus. Persembahan diri itu indah, ketika dilaksanakan dengan tulus dan sepenuh hati.
Perayaan Ekaristi berakhir pada pukul 20.30. Sebelum pengumuman, anak-anak maju menuju Gua Natal untuk membawa persembahan bagi bayi Yesus. Mereka membawa bingkisan Natal dan menempatkan di dalam Gua Natal yang berada di sebelah kiri altar. Mereka pun berdoa bersama-sama memohon kepada Tuhan Yesus, agar melindungi hidup mereka dari yang jahat.
Dukungan pemerintah lokal
Perayaan Ekaristi Malam Natal memuncak dengan berkat meriah Natal bagi umat. Lantas acara dilanjutkan dengan kunjungan ke rumah prodiakon yang tidak jauh dari kapel stasi. Sebelum beranjak ke rumah prodiakon, saya menyalami Lurah Tulung Sari dan seorang polisi yang menunggu di halaman gereja. Senyum merekah kedua pria ini menyambut kehadiran kami. Suatu sambutan yang mendamaikan.
Sang Lurah dan polisi itu pun menuju rumah yang menjadi tuan rumah kunjungan malam itu. Seperti kunjungan sebelumnya, tuan rumah menyediakan makan malam untuk umat yang hadir. Ada bakso, ada nasi, sayur dan opor ayam. Merasa masih kenyang, saya makan bakso. Namun apa yang saya lakukan diikuti oleh kebanyakan umat, termasuk Pak Lurah dan polisi.
Seorang umat menuturkan bahwa Pak Lurah yang orang asli Komering ini sangat perhatian terhadap warganya, termasuk umat Katolik. Ia selalu melibatkan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Ia baik kepada semua orang.
Karena itu, pembangunan kapel stasi mendapat dukungan dari pihak kelurahan. Pembangunan kapel berjalan dengan baik hingga selesai. Yah, kapel baru mesti dibarengi dengan semangat baru dalam hidup menggereja.
“Dulu waktu kapel lama yang masih jelek, saya tidak pernah dijadwal misa di sini. Tunggu kapel baru selesai ya,” seloroh saya pada awal Perayaan Ekaristi Malam Natal. Umat pun menebar senyum dan tertawa.
Kami pulang ke pastoran pada pukul 22.00. Tiba di pastoran Tegalsari pada pukul 23.00 setelah melintasi jalanan gelap. Saya pun merebahkan tubuh di atas kasur hingga keesokan harinya diiringi deru genset pastoran. (Berlanjut)