KLB (Kejadian Luar Biasa) Campak dan Gizi Buruk di Kabupaten Asmat telah membuka mata dunia untuk mengenal lebih jauh situasi dan kondisi alam Asmat. Itu lantaran telah terjadi kehebohan dengan berita meninggalnya 70-an anak balita dan ratusan orang yang harus dirawat inap dan jalan karena wabah campak dengan kondisi kesehatan gizi buruk.
Berbagai perhatian dan tanggapan atas kejadian KLB itu telah berdatangan; baik dari Pemprov Papua, Pemerintah Pusat, bahkan simpatisan, relawan maupun cendikiawan atas musibah ‘tingginya angka kematian’ karena kurang asupan gizi ini.
Orang lantas berdiskusi, berseminar tentang rawan pangan, kondisi kurang gizi di sebagian wilayah Papua khususnya.
Asmat dulu: lima landasan pacu pesawat
Dari sejarah perkembangan dan kemajuan masyarakat Asmat sejak zaman dulu, harus kita akui bahwa yang paling berperan penting di sana adalah kiprah besar para misionaris Katolik baik maupun Protestan yang berkarya di wilayah sulit ini. Dengan berbagai kemampuan dan biaya, mereka berhasil membangun landasan pesawat terbang sederhana (di atas lapangan rumput). Para misonaris ini pula yang berhasil membangun banyak dermaga di tepian aliran sungai besar di mana pos-pos Misi berada.
Sejak dulu, para misionaris asing itu bahkan berhasil membangun lima landasan pacu untuk pesawat ringan berlandaskan tanah berrumput. Landasan pacu ini hanya cocok untuk pesawat ringan jenis Cessna berpenumpang empat orang.
Kelima landas pacu untuk pesawat ringan itu berlokasi di Ewer, Yaosakor, Senggo, Basim, dan Bayun.
Landasasan perintis di Ewer yang dulu dibuat dengan timbunan tanah dan rumput oleh Misi akhirnya ditingkatkan performanya oleh Bapak Bupati Asmat. Ini terjadi, ketika Asmat berhasilkan dimekarkan menjadi kabupaten. Caranya dengan cari menambahi pelat besi di atas tanah berrumput supaya landasannya menjadi lebih keras dan tidak becek di waktu hujan.
Khusus di Yaosakor, kasusnya menjadi agak istimewa. Itu karena, selain lapangan rumput, ada kemungkinan juga menggunakan pesawat amfibi yang mampu mendarat di aliran Sungai Yaosakor.
Di permukiman sepanjaang aliran Sungai Yaosakor era tempo dulu itu serasa kita tengah berada bukan di negara sendiri. Itu karena di situ tersedia tempat tinggal pilot dan pendeta dari Amerika yang berkarya di wilayah ini.
http://www.sesawi.net/2018/01/28/catatan-tentang-agats-asmat-cinta-dan-peayanan-15-tahun-sr-emma-nangoy-osu-6/
Landasan pesawat dan fasilitasnya dikelola oleh MAF. Termasuk juga di Senggo yang dikelola oleh MAF.
Sedangkan landasan pacu pesawar terbang di Ewer, Basim, dan Bayun itu dikelola oleh AMA (Associated Mission Aviation), sebuah konsorsium milik keuskupan-keuskupan di Papua. Ini karena berdirinya spot tempat pendaratan dan penerbangan pesawat ringan ini dirintis oleh Misi Katolik.
Meski begitu, hal itu tidak berarti bahwa lokasi-lokasi itu telah dikapling sendiri-sendiri. Bukan begitu pengertiannya. Memang, penggunaan fasilitas itu tergantung pada pendeta atau pastor yang menggunakan alat transportasi udara.
Komunikasi dengan SSB
Dari sisi transportasi dan komunikasi, memang peran Misi itu sangat kuat. Ini berkat adanya SSB (single side band) yang waktu itu digunakan. Bahkan tenaga atau aparat pemerintah pun banyak yang menggunakan jasa Misi untuk mengirim berita lewat misi via SSB atau menyewa mapi (kapal motor kecil) untuk urusan mereka.
Jenis motorboat semacam ini dulu sering dipinjam atau disewa oleh aparat kecamatan, kalau ada kepentingan yang mendesak.
Memang layak dimaklumi, karena dulu jaringan pemerintah yang ada di Asmat paling tinggi hanya setingkat Kecamatan (Sawa Erma, Agats, Senggo, Atsj, dan Kamur). Baru setelah menjadi kabupaten, wilayah kecamatan diperbanyak hingga 19 seperti sekarang ini.
Pendek kata zaman dulu, peran Misi itu begitu signifikan di seluruh wilayah Asmat. Itu baik di bidang pendidijan, kesehatan, transportasi, dan komunikasi.
Misi juga membantu penyaluran gaji guru SD Inpres yang ada di seluruh Asmat.
Kami dulu juga ikut terlibat langsung menyalurkan gaji guru SD Inpres yang ada di wilayah Atsj; termasuk juga memfasilitasi mereka supaya pendidikan bisa berjalan karena kurangnya tenaga guru.
Kurang guru
Berpengalaman dari kondisi riil pernah hidup di Asmat selama kurang lebih lima tahunan, kami selalu mencermati permasalahan tentang ketersediaan guru-guru SD di Keuskupan Agats.
Penulis pernah mengadakan kegiatan bertema “Sosialisasi Menjadi Guru di Pedalaman Asmat”. Acara ini berlangsung untuk kalangan para mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Program itu digelar untuk mendapatkan respon positif dari anak-anak muda. Kami juga ingin mencari informasi dan siapa tahu mereka ini lalu tertarik mengabdikan diri pada dunia pendidikan di wilayah yang terpencil seperti Asmat. (Berlanjut)