Home BERITA Cendana

Cendana

0
Hutan kayu cendana. (Ist)

Renungan Harian
10 Desember 2021
Bacaan I: Yes. 48: 17-19
Injil: Mat. 11: 16-19
 
BEBERAPA tahun yang lalu, dalam sebuah acara, saya berkenalan dengan seorang tokoh adat daerah itu.

Dalam pembicaraan, beliau mengundang saya untuk mampir ke rumahnya. Saya menerima tawaran itu dan mencoba mengatur waktu agar saya bisa mengunjungi rumah beliau.
 
Pada waktu yang telah ditentukan saya berkunjung ke rumah beliau.

Beliau dengan gembira menerima saya dan memperkenalkan saya dengan beberapa tokoh di tempat itu.

Tidak lama kemudian saya diajak untuk ke ladang lebih tepatnya bukit-bukit kecil di belakang kampung itu.

Saya melihat bukit itu tandus, penuh dengan semak belukar dan ada beberapa tempat yang cukup bersih dengan beberapa pohon yang tampaknya baru mulai di tanam.

“Bagaimana kesan Pater melihat ladang ini?” tanya beliau ketika kami sampai di salah satu puncak bukit itu.

“Tandus, menyedihkan,” jawab saya.

“Terima kasih Pater. Setiap kali saya ke sini, hati saya menangis. Hati ini seperti disayat-sayat parang. Bertahun-tahun saya tidak mau peduli dengan tanah ini, karena hati saya terluka.
 
Pater, dulu tempat ini adalah “hutan” cendana. Tempat ini adalah tempat kebanggaan kami, tempat yang kami jaga kami hormati sebagai tempat anugerah ilahi.

Sejak zaman leluhur tempat ini menjadi tempat keramat bagi kami semua. Kami menjaga dan merawat setiap cendana yang ada, maka cendana-cendana itu tumbuh subur dan beranak pinak dengan sendirinya.

Kami menjaga dengan baik cendana-cendana ini sebagaimana kami menjaga barang-barang keramat warisan leluhur anugerah yang ilahi.
 
Kami punya aturan dan tat acara adat, bila ingin menebang cendana.

Cendana yang boleh ditebang adalah cendana yang sudah dewasa, dengan tanda-tanda yang sudah kami terima turun temurun.

Setiap satu pohon cendana yang kami tebang, harus dipastikan ada cendana muda lebih dari dua sebagai pengganti.

Sebelum kami menebang ada upacara doa-doa ritual adat yang kami jalani. Ritual sebagai bentuk syukur atas anugerah ilahi dalam wujud pohon cendana ini.

Pohon yang sudah ada dengan sendirinya, dan tumbuh dengan sendirinya kami pahami sebagai anugerah ilahi. \ang ilahi yang menanam, menumbuhkan dan merawatnya dan kemudian dianugerahkan kepada kami.
 
Semua yang kami jaga dan kami rawat berpuluh-puluh tahun mungkin sudah ratusan tahun sejak zaman leluhur kami itu habis dalam beberapa tahun. Ketika banyak pabrik membutuhkan cendana, dan menghargai dengan uang yang besar membuat  banyak orang muda kami yang pinter-pinter itu menjadi lupa diri.

Belum lagi adanya kekuatan dari luar yang membuat kami tidak berdaya membela dan mempertahankan semua ini. Mereka ini menghabisi cendana-cendana ini tanpa hormat sediki tpun.

Bagi mereka semua ini tidak ubahnya seperti barang murahan, meski mereka membayar dengan harga tinggi. Mereka membabat tanpa memperhatikan usia pohon ini, semua dibabat habis, besar kecil tanpa sisa.
 
Kami semua yang menghormati tanah ini dan menjaga tanah ini dianggap sebagai orang-orang yang harus disingkirkan karena menyembah berhala, seolah-olah kami ini orang yang tidak mengakui yang ilahi.

Mereka tidak mengerti apa yang kami lakukan, apa yang kami rasakan. Mereka yang merasa lebih bertuhan itu telah menghancurkan semuanya.

Apa yang mereka wariskan pada keturunan berikut?

Tanah gersang, tandus yang menyayat ini. Tanah ini setiap hari berteriak pada kami. Sekarang kami baru mulai lagi menanam, meski untuk mendapatkan benihnya amat susah tetapi kami mau mulai untuk memberikan warisan pada keturunan kami sebagai bentuk penyesalan atas ketidakmampuan kami menjaga tanah ini.
 
Pater, andai dulu mereka mau mendengarkan kami dan mengerti apa yang kami lakukan mungkin mereka hidup sejahtera di tanah ini; tidak harus menjadi buruh di luar sana,” bapak itu bercerita dengan menahan kesedihan yang mendalam.

Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Nabi Yesaya:

“Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintahKu, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti.”

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version