TANPA terasa, Pemilu 2019 telah berkakhir, meski masih tersisa sedikit soal di ujung jalan ke Mahkamah Konstitusi untuk menentukan hasil akhir dari semuanya itu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun demikian, sebagai sebuah pesta Demokrasi di negeri ini, di mana pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan selalu akan diakhiri dengan sebuah kemenangan dan kekalahan atau kesusksesan dan kegagalan sebagai sebuah keniscayaan yang realistis dalam perhelatan politik dan demokrasi.
Berkenaan dengan hal itu dan sambil mengapresiasi semua upaya serta perjuangan yang telah dilakukan oleh para politisi Katolik, maka dengan tidak bermaksud mengintervensi otoritas dan privacy politik para politisi Katolik yang budiman, perkenankanlah saya untuk memberikan sedikit pandangan sebagai semacam “cermin” untuk melakukan refleksi bersama, sembari mensyukuri kemenangan yang sudah diraih dan merenungkan kembali mengapa kita belum berhasil menggapai target politik yang diharapkan.
Ada beberapa faktor dan atau variabel yang menyebabkan seorang Politisi itu berhasil atau gagal dalam suatu perhelatan politik, baik dalam konteks Pileg maupun Pilpres.
A. PILEG
Menurut @awimharyanto (2018), seorang politisi yang berhasil memperoleh kemenangan dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain:
- Kepribadian politisi meliputi sikap pribadi, pemikiran, keyakinan serta mentalitas dan standar pribadi yang tinggi dengan integritas yang dapat dipercaya pihak lain di muka publik.
- Memiliki akses dan sumber daya yang memadai, termasuk sumber dana sebagai motor penggerak dan/atau biaya operasional kerja politik. Tanpa hal ini, mesin politik caleg tidak bisa bergerak secara optimal.
- Oleh karena itu, bagi caleg yang niatnya mencalonkan diri hanya untuk coba-coba atau sekedar ikut-ikutan, dengan perasaan tidak yakin, maka sudah pasti hasilnya akan sia-sia. Dikatakan demikian, karena caleg dimaksud hanya membuang tenaga, waktu dan biaya dengan cara yang tidak produktif dan maksimal.
- Meskipun demikian, bagi caleg yang walau sudah bisa mengatasi semua masalah yang terkait dengan akses dan sumberdaya termasuk sumber dana yang mencukupi, dan selalu yakin serta percaya diri, kemudian menunjukkan keseriusan serta upaya keras yang sungguh-sungguh, tetapi hendakkah bertindak dan berperilaku sebagai politisi Katolik yang low profile dan bersikap rendah hati.
Hal ini menjadi penting karena, terlalu percaya diri dan over confidence juga bisa berakibat fatal; karena seperti pepatah mengatakan bahwa “tiada air yang mengalir ke gunung,tiada rahmat yang datang ke orang yang tinggi hati”.
Over confidence berakibat pada tidak bisa melihat kelemahan diri dan tidak mengantisipasi keunggulan lawan politik di dapil dimana politisi itu bertarung.
- Sikap dan perilaku lain yang dapat membuat caleg Katolik gagal mencapai kemenangan adalah negative thinking; curiga berlebihan, tidak mau bekerjasama, senang berbantahan, menyebarkan berita bohong alias hoaks, menyebarkan ujaran kebencian, memprotes sana-sini, ribut melulu di WAG yang justru semuanya adalah kumpulan orang-otang Katolik sendiri.
Sikap dan perikaku seperti ini hanya akan membuang banyak energi, waktu dan menciptakan psychological barrier (halangan psikologis) yang sangat tidak menguntungkan.
Penghalang tidak perlu diciptakan, karena mereka akan datang dengan sendirinya, sementara caleg seharusnya menyingkirkan semua penghalang yang muncul, janganlah caleg sendiri malah menciptakan penghalang baru bagi dirinya sendiri.
- Popularitas caleg
Popularitas menjadi hal yang sangat penting bagi seorang caleg. Konstituen di dapil hanya akan memilih caleg yang dikenalnya. Oleh karena itu, politisi Katolik mustahil akan dipilih, kalau konstituen di dapil tidak mengenalnya secara baik dan benar.
- Akseptabilitas
Akseptabilitas adalah penerimaan (acceptance) konstituen atau pemilih. Mengapa mereka menerima politisi yang bersangkutan?
Caleg bisa diterima oleh konstituen karena kehadiran nyata di dapil maupun kehadirannya di dunia maya melalui media sosial. Kehadiran nyata atau bertatap muka langsung akan mendekatkan hati dan pikiran caleg dengan konstituen yang kerap disebut sebagai kunjungan ke dapil atau pertemuan atau blusukan.
Di samping itu, ada banyak juga konstituen yang menerima caleg secara online atau siber melalui tulisan politisi yang bersangkutan, status, visi misi, perilaku, foto kegiatan caleg yang dibagikan (baik di web, blog maupun media sosial lainnya).
Perpaduan pertemuan dunia nyata dan dunia maya ini pun akan dapat memberikan efek elektoral terhadap caleg yang bersangkutan.
- Elektabilitas
Elektabilitas berarti keterpilihan atau dapat dipilihnya seorang caleg. Konstituen yang telah mengenal caleg (akibat popularitas karena sudah kenal) lalu merasa cocok dan sepandangan sehingga dapat diterima oleh konstituen.
- Inklusif dan multikultural
Karena jumlah pemilih Katolik itu relatif terbatas, maka sebagai politisi Katolik sebaiknya memiliki sudut pandang yang lebih terbuka dan inklusif, dengan referensi multi kulturalisme untuk dapat merangkul pemilih dari latar belakang agama, etnis dan budaya yang beragam, dan tidak hanya melulu pada pemilih Katolik saja.
Pengalaman empiris mengatakan bahwa hampir sebagian besar caleg Katolik dan atau politisi Katolik yang sudah berhasil duduk di parlemen dan memperoleh kursi legislatif itu merupakan kontribusi suara yang sangat signifikan dari pemilih non katolik, kecuali di dapil yang mayoritas Katolik seperti misalnya di Flores.
Berdasarkan narasi seperti ini dapatlah dijadikan sebagai cermin untuk melihat kembali mengapa seorang politisi Katolik belum mendapat kepercayaan dari pemilih di Daerah Pemilihan sehingga belum mendapat kursi di Lembaga Legislatif.
Oleh karena itu, hendaklah kita cooling down untuk melakukan refleksi; dan janganlah hendaknya politisi Katolik melemparkan kesalahan kepada pihak lain, apalagi mempersoalkan pihak Gereja Katolik yang seolah dianggap sebagai institusi yang kurang memperhatikan politisi Katolik seperti yang ramai dibicarakan oleh beberapa politisi Katolik di sebuah WAG Katolik yang baru lalu.
Perlu diketahui bahwa, Gereja Katolik memang tidak mengurus politik praktis, karena wilayah politik praktis yang adalah bagian dari tugas Imamat Umum merupakan ranah dan tanggung jawab dari Kaum Awam (LG art. 34). (Berlanjut)