Memang di siang itu, hujan terus mengguyur kota mereka. Petir pun bersahut-sahutan sambil terus berperang dengan derasnya angin. Pepohonan yang ada di sekeliling itu, kelihatan beryogang Karena terpaan angin.
Prrruuuuaaaaaaaaannnnnnngggggggggg. Prruuuaaannngggg. Sebatang pohon dihantam petir.
“Ma…ma…”
“Iya nak.”
“Lihat tu, pohon pada tumbang tu.” Ucap Aurel seraya menunjukkan pada mamanya.
Prruuuaaannggggg. Pruangggggggg. Kali ini hantaman petir semakin kuat. Semakin ganas. Semakin beringas.
“Mama…mama….mama……… Aurel takut maa…. Aurel takut.” Larinya pada mamanya yang lagi berada di belakang sambil menghidupkan kompor, untuk memasak nasi karena waktu telah menunjukkan pukul 12.30 Wita.
“Iya, nak. Tidak apa-apa kok. Nak tenang ya?” Bujuk mamanya sambil menenangkan serta menguatkan anak kesayangannya itu. “Eeehh rel, kalau sebentar itu masih petir, rel ke kamar dan berdoa ya? Minta Tuhan untuk menenangkan angin dan petir itu. Katakan pada Tuhan bahwa Aurel takut. Aurel belum siap untuk menerimanya. Aurel belum cukup usia. Aurel masih mau bersama mama. Ayo ke dalam kamar, sayang.” Bujuk mamanya sambil mengantarnya ke dalam kamar untuk memulai berdoa pada Tuhan, seperti apa yang telah dipesankan mamanya pada dia.
“Iya mama. Tapi Aurel takut, jangan-jangan Tuhan marah rel, ma. Biar mama temani rel, ya?” Rengeknya pada mamanya.
“Sayang, iya, mama temani kok. Tapi sayang harus tahu lho, sekarang jam berapa, ya?” Tanya mamanya pada dia.
“Mendekati jam satu siang ma.” Jawab Aurel singkat.
“Biasanya sayang makan jam berapa?” Tanya mamanya.
“Jam satu ma. Oke, kalau begitu ma pergi masak saja, ya? Aurel tidak takut kok. Aurel sama Tuhan kok. Aurel doakan mama juga, ya? Ayo, mama lanjutin masaknya, ya? Aurel sayang mama kok.” Peluk Aurel sambil mencium mamanya di pipi sambil tersenyum.
“Tuhan, jaga anak kesayanganku itu, ya? Jaga dia supaya kelak dia besar nanti, dia tidak menyusahkan banyak orang seperti yang saya dengar, baca di media massa dan lihat secara langsung di lapangan. Pelihara dia seperti biji mata-MU. Jadikan dia takut akanMU, agar kelak dia dapat menghargai orang yang lebih usia darinya. Dimana saat ini ya Tuhan, semua anak tidak mau menghargai orang tuanya sendiri dan juga tidak tahu berterima kasih atas segala kebaikan yang telah diterimanya dari orang tua mereka. Semoga anakku ini tidak terjangkit virus semacam itu. Saya titipkan dia padaMU, ya Tuhan.” Doa mamanya dalam hati, sembari berjalan ke luar dari kamar menuju dapur yang berada di belakang tersebut.
Wek….wek…..wek….wek….. suara bebek yang sementara meminta makan dari tuannya. Wek….wek….wek….wek….. Mama Aurel sudah mendengar suara bebek-bebek peliharaannya itu, hanya saja dia masih sibuk menghidupakn kembali kompor karena tadi ketika mengantar Aurel ke dalam kamar untuk berdoa, api di kompor dimatikan kembali karena takut kehabisan minyak tanah.
Sebab, akhir-akhir ini harga minyak tanah semakin mahal dan juga semakin langkah untuk mendapatkannya, karena banyak pihak yang secara diam-diam menyelundupkannya untuk memperkaya diri melalui laut maupun melalui darat ke negara tetangga. Mengingat nilai mata uang di negara tetangga lebih besar, ketimbang nilai mata uang di negaranya sendiri.
Wek….wek….wek…… “Sebentar ya? Saya masih masak dulu. Kalian akan makan juga kok, tapi tidak sekarang, ya? Ayo, kalian ke sana dulu. Aurel masih berdoa. Duduklah dulu di bawah pohon sana, nanti kalian kehujanan. Kalau sakit, bagaimana.” Ucapnya pada bebek-bebek peliharaannya yang dari tadi meminta makan dengan cara berteriak macam orang-orang gila melakukan demontrasi karena sibuk membagi fee hasil penyelundupannya ke negara tetangga.
Bersyukur sekali karena bebek-bebek itu mau mengerti, sehingga dia kembali dengan tenang, cekatan, dan tetap tersenyum untuk memasak. “Nasi telah matang. Sekarang giliran memasak sayur kangkung.” Begitulah gumamnya dalam hati sembari tangannya mencari bawang di antara tumpukan kresek yang menumpuk di atas tempat penyimpanan bawang untuk dibersihkan dan dipotong untuk dipakai memasak sayur.
“Beginilah jadi orang kecil dan orang susah. Sudah susah, malah dibuat semakin susah. Kapan orang susah dan orang kecil boleh menghirup udara segar, ya? Bantuan dikasih tapi masih dipotong oleh manusia-manusia rakus. Manusia-manusia yang tidak tahu diri sama sekali. Kenapa ya, bantuan itu datang harus melalui manusia-manusia rakus dan serakah semacam itu? Kenapa ya, Tuhan masih mengisinkan manusia-manusia rakus dan serakah itu hidup di dunia ini? Padahal perbuatan mereka jelas-jelas menikam dan membunuh orang-orang susah dan orang kecil. Kayaknya she Tuhan tidak adil terhadap orang-orang susah dan orang-orang kecil. Bantuan dikurangi oleh pengurus. Minyak tanah dicuri oleh para bandit untuk dijual ke negara tetangga. Para bandit semakin jaya dan berfoya-foya dengan uang hasil curian. Malam harinya, para pencuri tersebut ke tempat pelacur untuk melacurkan diri bersama para pelacur. Mabuk-mabukkan. Melakukan seks dengan perempuan yang jelas-jelas bukan miliknya. Tetapi karena uang, tahta dan seks, maka semuanya dihalalkan. Kacau sudah republic ini. Belum lagi steri dan anak-anaknya diterlantarkan dengan beraneka ragam alasan yang tidak dapat diterima akal sehat. Dasar manusia-manusia biadab. Manusia-manusia jahanam.” Kutuk mama Aurel terhadap mereka-mereka yang mengaku pahlawan bagi orang-orang kecil dan orang-orang susah, sambil memasukkan bawang ke dalam tacu karena minyak yang dari tadi dimasukkan ke dalam tacu sudah mulai memanas.