Tak seperti kebanyakan para pemimpin politik dunia yang cenderung memilih kau pria menjadi secret service aliasnya centengnya, Sang Kolonel justru lebih suka mengambil cewek-cewek cakep menjadi body guard-nya. Tentu saja tak hanya pinter memoleskan gincu merah di bibir mereka yang merekah, melainkan harus piawai memainkan picu senapan otomotis dan menembak tepat sasaran untuk melindungi Sang Kolonel. Bahkan saking nyentriknya Sang Kolonel ini, barisan para pengawal pribadi ini dengan gagah dia beri nama The Virgin Bodyguard Squad.
Siapa bilang mereka hanya cantik?
Menjadi pengawal pribadi Sang Kolonel tentu saja menjadi buah bibir banyak orang. Lantaran tidak saja mendapatkan bayaran tinggi, melainkan juga harus menyediakan ‘servis’ tidak biasa yakni postur fisik memadai, wajah rupawan, dan tentu saja –ya itu tadi—penampilan harus sangat-sangat modis.
Untuk keperluan menjaga “wibawa” perempuan ini, Sang Kolonel rela mendadani para pengawalnya ini bak seorang peragawati papan atas. Kepada mereka, Sang Kolonel yang tajir ini menabur banyak perhiasan mahal sebagai aksesori untuk dipasang di tubuh mereka. Olesan gincu harus senantiasa tergores indah di bibir. Sepatu high heels menjadi tunggangan mereka setiap hari dan bukan sepatu setengah boots khas tentara. Namun, kostum mereka tetaplah military look.
Dan yang tak kalah penting –tentu saja sesuai dengan derajad dan tugas utama mereka yakni melindungi Sang Kolonel– mereka juga harus pandai menembak tepat sasaran dengan tempo cepat. Maka, tak usah heran kalau cewek-cewek cantik nan elok di sekitar lingkaran dalam Sang Kolonel ini selalu menenteng senapan otomatik di bahunya. Selain itu, pistol juga selalu tersembunyi di balik bajunya yang menawan.
Berapa jumlahnya mereka?
Berbagai laporan menyebutkan, barisan cewek cantik anggota The Virgin Bodyguard itu kurang lebih 40 orang. Mereka semua adalah alumni Sekolah Elit Militer Khusus Perempuan di Tripoli yang eksis sejak tahun 1979. Menurut Sang Kolonel, Akademi Militer Perempuan itu sengaja dibangun demi sebuah “upaya emansipasi” kaum perempuan. Kata Sang Kolonel waktu itu, “Saya pernah berjanji pada ibuku sekali waktu saya harus mengembangkan emansipasi di negeri ini.”
Cinta dan hormat Sang Kolonel terhadap ibunya memang tidak ada tandingannya. Ibunya adalah seorang perempuan suku asli Bedouin yang tidak bisa baca-tulis dan hidup di Libya era pemerintahan kolonial Italia.
Kompleks Akademi Militer Perempuan di Tripoli itu sendiri tidak pernah terkuak, selain cirikhasnya yakni sebuah bangunan kokoh bersemen dengan dinding beton yang tebal. Tak banyak orang bisa seenaknya masuk kompleks pendidikan elit militer ini. Sekurangnya ada 100-an perempuan yang mengikuti pendidikan ini setiap angkatan dan mereka harus tahan banting dengan program pendidikan spartan selama tiga tahun.
Pagi-pagi buta mereka sudah dibangunkan oleh deru suara jet tempur MIG buatan Russia. Menu berikutnya adalah lari-lari pagi selama 1.5 jam, sebelum akhirnya diperbolehkan mandi, sarapan dan masuk kelas. Sebagian belajar terbang mengemudian MIG, sebagian lainnya diajari teknik bela diri dan belajar trampil menembakkan RPG (rocket grenade propeler). “Pokoknya semua teknik perang dan duel diajarkan di Akademi Militer itu,” kata wartawati Kanada Jane Kokan yang pernah melongok asrama militer itu tahun 1995.
Harus tetap perawan
Kesaksian Doug Sander juga tak kalah mengejutkan. Wartawan Kanada ini pernah melongok asrama ini tahun 2004 dan kemudian menulis testomoni yang menarik. Selain kemudian menyebut diri “Pasukan Pelindung Orang Penting” –demikian kata Sander—para pengawal perempuan Sang Kolonel ini juga harus mengucapkan semacam “kaul keperawanan” alias menjaga diri tetap “suci” demi tugas mulai mengamankan Sang Kolonel—Warga Libya Nomor 1.
“Mereka harus menjaga keperawanannya layaknya para biarawati. Tidak boleh menikah dan hanya mendedikasikan hidup (juga nyawanya) demi cita-cita Revolusi Tahun 1969 yang dikumandangkan Kolonel Khaddafi,” tulis Sander. “Hubungan intim adalah larangan keras yang tidak ada ampun bila dilanggar,” sambung Sander.
Kesetiaan pasukan perawan ini teruji benar, ketika tahun 1998 lalu seorang anggota Pasukan Kawal Perawan yang bernama Aisha rela menjatuhkan dirinya dari atap bangunan ke atas tubuh Sang Kolonel, ketika tiba-tiba kaum militan menyerang dengan tembakan jarak dekat. Aisha akhirnya tewas dengan banyak luka dan serangan jarak dekat itu ikut menciderai dua rekannya yang lain, sementara Sang Kolonel sendiri tak tersentuh timah panas dan selamat dari upaya pembunuhan.
Jadi, jangan buru-buru mau main mata dan main colek dengan anggota Pasukan Kawal Perawan ini, kalau tidak mau mati konyol. Sebab dalam hitungan detik, pistol dan senapan otomatis akan segera menyalak dari sentuhan jari-jari manis cewek-cewek cantik di seputar Khaddafi ini. (Bersambung)