PRINCESS Gaizka bertanya: “Apakah warna cinta? Apakah warna (bulan) Desember?”
Jawabnya sama: “Biru”.
Tapi mengapa biru?
Desember sering membuat risau, gloomy, atau apa pun yang membuat rasa tak nyaman. Paling tidak itu yang ada di dada saya.
Mungkin karena Desember selalu diwarnai hujan deras. Di dunia sana, Desember ditandai dengan turunnya salju.
Kemudian, “musim” bencana alam.
Untung, menjelang akhir Desember suasana terasa lebih ceria.
Desember mirip dengan “cinta”. Rasanya campur aduk. Sentimentil, tapi bahagia, cemburu tapi erat-melekat. Dunia berubah biru, bila jatuh cinta padamu.
“Blue, blue my world is blue.” Begitulah cuplikan lagu Love is Blue gubahan André Popp dan Bryan Blackburn, 1967.
Desember identik dengan Natal. Natal adalah sukacita.
Lebih-lebih ketika 30-an tahun lampau saya tinggal di Lirik. Sebuah desa di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
Saya tinggal di camp (perumahan) perusahaan selama hampir delapan tahun. Semua penghuni berstatus karyawan perusahaan itu. Meski kami berasal dari banyak daerah, bermacam etnis, dan berbagai agama, tapi rasa guyub sangat kental mewarnai kehidupan bermasyarakat.
“Keaneka-ragaman adalah sumber energi.” (Dr. Ir Otto Soemarwoto)
Satu hal yang paling mengesankan dan tak bisa dilupakan adalah bagaimana kami merayakan hari raya keagamaan bersama-sama.
Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Tahun Baru, dan Imlek tak pernah terlewatkan. Kunjung-mengunjungi dan saling memberi ucapan selamat dilakukan dengan tulus.
Sangat meriah.
Saat Natal, rumah kami dipenuhi tetangga, kerabat dan handai-taulan. Kami bersilaturahmi. Masuk-keluar rumah tak henti-hentinya, dari pagi hingga hampir tengah malam.
Penat tak dirasa, mengantuk hilang entah ke mana. Yang ada hanya gembira-\ ria, karena para sahabat tiba dan ikut bahagia.
Tertawa lepas, makan-minum sepuasnya, bercengkerama dan saling menyapa. Tak ada setitik pun merasa berbeda bila larut dalam suasana riang Hari Raya.
Hari Raya Lebaran dan Imlek pun begitu pula. Yang merayakan menjadi tuan rumah dan raja. Dunia begitu indah, karena hari raya keagamaan mempersatukan bukan membeda-bedakan, apalagi memecah belah.
“Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudara dalam kemanusiaan.” (Ali bin Abi Thalib)
Itulah, mengapa Hari Raya Keagamaan, apa saja, bisa bermakna “Hari Toleransi”, “Hari Solidaritas”, dan “Hari Persaudaraan”.
Melalui hari-hari Raya, spirit kebangsaan dirajut, semangat persatuan nasional dibentuk, nilai kemanusiaan dijalin dengan akrab.
Sudah lama saya meninggalkan Lirik.
Daerah terpencil yang mengukir kebersamaan sosial tanpa pembeda.
Itulah sejatinya arti Natal. Itulah sejatinya spirit Desember, Desa Lirik, dan rasa cinta. Semua berwarna biru, bak langit, gunung dan laut, yang tak pernah lelah menghias lukisan dunia.
Lantas di mana kisah Natal berdiri?
Ia bukan bermaksud genit dengan lampu warna-warni. Atau ikut terkekeh-kekeh mendengar gurauan Sinterklas. Natal bukan sekedar pesta-pora untuk menghilangkan gulana di bulan Desember.
Natal adalah memperingati saat Tuhan sendiri datang. Menyapa manusia untuk peduli. Mengasihi siapa saja yang lemah, menderita dan kesepian. Menyapu mendung yang menggantung.
- Mendamaikan yang konflik.
- Melayani anak-anak surga yang kelaparan dan kedinginan di pinggir jalan.
- Menentramkan kegalauan-kegalauan Desember lainnya.
Natal sejatinya adalah pesan kasih.
Natal adalah alat peraga bagaimana Tuhan sangat mencintai manusia, seluruh manusia. Karena Tuhan sendiri mewujud manusia.
Kalau kita belum meneruskan pesan Natal, lakukan segera.
Hari Natal sudah berlalu. Saat itu, Christmas Carol bergaung di jalan-jalan raya di kota-kota besar dunia, di gang-gang sempit di pinggir desa dan lorong-lorong gelap di tengah belantara.
Semua menyenandungkan nada merdu “Gloria in Excelsis Deo” (Kemuliaan kepada Allah di tempat yang tinggi).
“Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Johanes 1:14)
@pmsusbandono
18 Desember 2021