Menurut Larry Young, profesor ilmu saraf di Emory University di Atlanta, Georgia, cinta dapat dijelaskan dengan serangkaian peristiwa neurokemikal di bagian otak tertentu. Jika pendapat ini benar, maka orang tidak perlu bergantung pada coklat atau tiram untuk membangkitkan perasaan cinta.
Bahkan orang bisa saja menciptakan afrodisiak yang membuat seseorang jatuh cinta pada pandangan pertama atau obat penawar untuk cinta yang tak terbalas karena mencintai orang yang tidak seharusnya.
Para ilmuwan sebelumnya telah mengamati bahwa zat kimia yang disebut oxytocin terlibat dalam pengembangan ikatan antara ibu dan anak pada hewan. Prof. Young berpendapat hal yang terjadi pada hewan juga terjadi pada manusia.
“Hanya saja ketika kita mengalami emosi-emosi tersebut, kita tidak dapat membayangkan bahwa itu hanyalah serangkaian peristiwa kimiawi,” katanya.
Para peneliti telah menemukan bahwa oxytocin terlibat dalam ikatan laki-laki dan perempuan, membentuk suatu ikatan yang kuat satu sama lain untuk waktu yang sangat lama. Dan ada studi pada manusia yang menunjukkan meningkatnya oxytocin dapat menciptakan kemampuan untuk membaca emosi orang lain.
Prof. Young percaya masih ada bahan kimia lain yang ikut terlibat. “Saya yakin ini baru permulaan, ada ratusan sinyal molekul di otak dan semuanya bertindak di daerah otak yang berbeda, suatu hari kita akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana semua bahan kimia ni berinteraksi dan bertindak di daerah otak tertentu yang memiliki fungsi spesifik sehingga menimbulkan emosi-emosi yang kompleks.”
Ilmuwan lain, Profesor Nick Bostrom, direktur Oxford University institut Future of Humanity mengatakan kita tidak harus berpikir perspektif untuk memahami secara utuh tentang apa itu cinta.
Ada ilmu evolusioner, sosiologis, fenomenologis (pendekatan filosofis dan metode penelitian kualitatif) dan perspektif humanistik yang menawarkan wawasan penting.
Jika cinta benar-benar hanyalah sebuah reaksi kimia yang kompleks, ada kemungkinan untuk memanipulasi mekanisme neurologis yang memainkan peran dalam romantisme.
“Saya rasa di masa mendatang kita dapat mengembangkan obat yang siap masuk ke otak dan dapat menargetkan wilayah otak tertentu yang bisa melakukan hal ini,” ujar Prof. Bostrom.
Jika digunakan dengan bijaksana, farmakologi seperti itu dapat digunakan untuk terapi perkawinan atau menambah pengalaman manusia dan mengurangi penderitaan yang tidak perlu.
“Hanya saja manipulasi semacam ini masih bertabrakan dengan etika dan budaya, jadi harus hati-hati dalam mengeksplorasinya,” imbuhnya. (tam)
Sumber : SEHATNEWS.com