Namun tidak ada guru yang mau mengajar anak-anak itu. Padahal anak-anak itu sudah saatnya untuk menempuh pendidikan dasar. Pemuda itu prihatin. Ia tidak tega melihat anak-anak itu tumbuh tanpa pendidikan yang baik.
Selain tidak ada guru yang mau mengajar, kendala lain adalah ia sendiri tidak lulus Sekolah Dasar. Ia putus sekolah saat duduk di kelas empat SD. Hal ini menjadi salah satu penghalang bagi dirinya. Namun pemuda itu tetap punya tekad baja. Ia tidak mau menyerah. Ia mulai belajar sendiri matapelajaran-matapelajaran dasar. Ia juga mencari buku-buku untuk menjadi bahan bacaan baginya.
Setelah pemuda itu merasa mampu mengajar, ia mengumpulkan anak-anak usia sekolah itu di rumahnya. Ia mulai mengajar mereka. Ia memanfaatkan kemampuan yang ada pada dirinya untuk mengajar anak-anak itu. Ruang tamu rumahnya itu ia sulap menjadi sebuah kelas. Meski sempit, anak-anak usia sekolah itu tampak sangat bersemangat. Mereka boleh mendapatkan pendidikan dalam masa pertumbuhan mereka.
Suatu hari, kepala kampung berkunjung ke rumah pemuda itu. Ia kagum terhadap ide yang dikerjakan oleh pemuda itu. ”Apa yang mendorong Anda melakuan semua ini?” tanya kepala kampung itu
”Saya kasihan melihat anak-anak di kampung ini tidak bersekolah. Mereka mesti mendapatkan pendidikan yang memadai. Mereka tidak boleh dibiarkan tumbuh tanpa pendidikan,” kata pemuda itu.
Daya dorong
Sahabat, masih banyak anak negeri ini yang belum mendapatkan pendidikan yang baik. Keterbelakangan menjadi salah satu sebab terjadinya hal seperti ini. Namun ada hal lain yang menjadi penyebab, yaitu kerelaan dari sesama untuk membantu anak-anak negeri ini mendapatkan pendidikan.
Kisah kerelaan pemuda di atas menjadi salah satu contoh betapa kerelaan berkorban menjadi salah satu daya dorong dalam memulai suatu tindakan. Orang tidak hanya prihatin terhadap situasi yang ada. Tetapi orang berani menyerahkan diri untuk membantu sesamanya. Orang berani mempertaruhkan hidupnya untuk sesamanya.
Inilah yang disebut dengan cinta. Cinta menuntut korban. Cinta menuntut orang mampu membaca tanda-tanda zaman. Pemuda dalam kisah di atas mampu membaca tanda-tanda zaman. Ia mencintai anak-anak di kampungnya. Ia ingin agar masa depan mereka punya tujuan dan arah. Tidak hanya berhenti di kampung terbelakang. Tidak hanya digerus oleh kemiskinan.
Ia tidak ingin anak-anak itu tumbuh seperti dirinya yang tidak punya pendidikan yang baik. Karena itu, ia berani mengorbakan dirinya. Dalam keterbatasannya, ia menjadi sahabat bagi mereka. Ia menemani perjalanan anak-anak itu meraih masa depan yang lebih baik.
Sebagai orang beriman, kita diajak untuk mampu membaca tanda-tanda zaman. Artinya, kita mesti mampu menemukan kebutuhan-kebutuhan sesama yang ada di sekitar kita. Kita berusaha memenuhi kebutuhan sesama itu dengan rela berkorban dengan penuh kasih. Tuhan memberkati.