Renungan Harian
Kamis, 1 Juli 2021
- Bacaan I: Kej. 22: 1-19
- Injil: Mat. 9: 1-8
SORE itu saya menerima calon pengantin yang minta saya untuk memberkati perkawinan mereka. Seluruh proses administrasi dan bimbingan untuk calon pengantin sudah dilakukan di paroki asal mereka.
Saya menerima pelimpahan untuk memberkati perkawinan mereka.
Sebagaimana biasa, saya meminta mereka untuk bertemu dan ngobrol-ngobrol agar saya mengenal calon pengantin itu.
Dalam pembicaraan itu, mereka menyatakan sudah mantap dan sudah siap untuk menjalani hidup berkeluarga.
Mereka sudah pacaran cukup lama. Keluarga mereka sudah saling mengenal dan sudah menyetujui perkawinan mereka, dan secara ekonomi mereka sudah siap untuk mengaruhi bahtera rumah tangga.
Ketika saya bertanya soal anak, spontan mereka berdua kompak ingin mempunyai dua orang anak.
Namun ketika saya bertanya seandainya mereka tidak mempunyai anak bagaimana, mereka tampak terkejut dan terdiam.
“Romo, dalam sejarah keluarga saya tidak ada yang mandul. Jadi saya yakin bahwa saya bisa mengandung dan melahirkan anak-anak buah cinta kami,” kata calon pengantin perempuan.
“Di keluarga kami juga semua punya anak Romo. Jadi kami mampu untuk punya anak,” jawab calon mempelai pria.
“Baik, itu semua menunjukkan bahwa secara genetik tidak ada alasan untuk tidak mempunyai anak. Namun seandainya tidak mempunyai anak?” tanya saya lebih lanjut.
“Kalau tidak mempunya anak pasti bukan karena saya mandul Romo,” jawab calon mempelai perempuan agak ketus.
“Pasti juga, bukan karena saya. Dan dalam keluarga saya, kalau tidak punya anak akan menjadi aib,” jawab mempelai pria.
“Apalagi di keluarga saya, tidak ada sejarah dalam keluarga saya ada perempuan yang mandul,” timpal mempelai perempuan.
Mereka malahan menjadi ribut berdua di depan saya. Bahkan muncul ucapan, kalau tidak punya anak lebih baik pisah.
Saya terkejut mendengar kata-kata itu.
Dalam pembicaraan lebih lanjut saya menangkap ada banyak persyaratan yang diajukan oleh mereka dalam perkawinan ini.
Mempelai perempuan tidak mau pindah dari kota asalnya. Sedangkan mempelai pria kalau mengatakan bahwa mereka harus tinggal di keluarga mempelai pria, pun kalau pindah, keluarga mempelai pria harus ikut.
Pembicaraan menjadi semakin memanas, karena soal persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi saat mereka menikah nanti.
Saya sudah memberi penjelasan bahwa dalam perkawinan Katolik tidak mengenal adanya persyaratan-persyaratan qitu.
Cinta itu utuh sepenuhnya tidak bersyarat.
Apalagi dengan “ancaman”, kalau syarat itu tidak terpenuhi atau dilanggar mereka lebih baik pisah.
Maka saya meminta mereka untuk berbicara berdua dengan lebih serius berkaitan dengan rencana perkawinan mereka.
Sepekan kemudian, saya mendapatkan berita bahwa mereka menunda perkawinan mereka sampai waktu yang belum ditentukan.
Saya bersyukur bahwa mereka berani mengambil keputusan itu agar mereka dapat memurnikan cinta mereka dan semakin terbuka satu sama lain.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Kejadian memberi teladan tentang cinta tanpa syarat berserah penuh.
Abraham yang mencintai Allah berserah sepenuhnya pada Allah memberikan dirinya kepada Allah tanpa syarat.
Bahkan ketika Allah meminta anak tunggalnya yang diperoleh di masa tua, ia dengan rela menyerahkan anaknya bagi Allah.
Abraham rela memberikan apapun bagi Allah.
Sabda Tuhan: “Ambillah anak tunggal kesayanganmu, yaitu Ishak, pergilah ke Tanah Moria, dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku mencintai Tuhan tanpa syarat?