Senin, 14 April 2025
Yes 42:1-7.
Mzm 27:1.2.3.13-14.
Yoh 12:1-11
MARIA dari Betania memecahkan buli-buli minyak narwastu yang mahal dan mengurapi kaki Yesus, lalu menyekanya dengan rambutnya.
Maria tidak menghitung harga minyak narwastu; bagi dia, yang terpenting adalah menunjukkan cinta dan penghormatannya kepada Yesus.
Hal ini mengajarkan kita tentang pengorbanan, bahwa kadang-kadang kita dipanggil untuk memberikan yang terbaik yang kita miliki sebagai bukti cinta kita kepada Tuhan dan sesama, tanpa menghitung kerugian atau keuntungan material.
Maria menunjukkan bahwa perbuatan baik sering kali dinilai tidak hanya dari tindakannya, tetapi juga dari niat dan hati di balik tindakan tersebut.
Bagi Yesus, apa yang dilakukan Maria adalah persembahan cinta yang paling tulus. Maria menunjukkan kesetiaan dan pelayanan tanpa pamrih kepada Yesus, suatu sikap hati yang harus kita teladani.
Ini mengingatkan kita bahwa Tuhan melihat apa yang ada di dalam hati kita, lebih dari apa yang bisa dilihat oleh mata manusia.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, bagaimana kita dapat menunjukkan kesetiaan dan pelayanan yang sama, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama kita?
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”
Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.”
Sepintas, pertanyaan Yudas Iskariot terdengar mulia dan bijak. Ia seolah peduli pada orang miskin, berbicara atas nama keadilan sosial.
Tapi ayat berikutnya membongkar hati yang sebenarnya: “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri.”
Yudas mengajarkan kepada kita satu hal penting: tidak semua yang terdengar baik berasal dari hati yang baik. Ada orang yang menggunakan bahasa kebaikan untuk menutupi niat tersembunyi. Ada yang memakai kedok kepedulian untuk menutupi kerakusan.
Yesus tidak tertipu oleh kata-kata Yudas, dan Ia juga tidak tertipu oleh kata-kata kita. Ia melihat sampai ke dalam hati. Dan justru di sanalah ukuran iman dan kasih kita dinilai.
Tuhan tidak mencari kata-kata manis, Ia mencari hati yang jujur. Lebih baik kita datang dengan hati yang rapuh tapi tulus, daripada menyembunyikan ketulusan di ballik kepura-puraan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah kata-kata dan tindakanku sungguh lahir dari hati yang tulus?