Kontras memang. Dikhotomi antara perdamaian yang ingin dicapai, tapi justru caranya malah menyiapkan pasukan dan senjata demi misi jelas: pemusnahan dan penghancuran. Kedua hal ini tidak bisa tidak harus terjadi melalui mekanisme paling biadab dalam tradisi peradaban manusia: membunuh.
Membunuh tanpa ampun itulah ‘obat’ paling mujarab untuk bisa segera melenyapkan energi negatif bernama nafas bengis dendam kesumat. Dua orang bernama Vic Laszlo (Colin Farrell) dan Béatrice (Noomi Rapace) adalah contoh dua manusia yang tidak bisa hepi dalam kehidupan ini lantaran selalu dihantui rasa dendam kesumat.
Hanya dengan membunuh tanpa ampun –demikian dunia bawah sadar mereka—maka energi negatif dendam kesumat itu akan musnah dan dengan begitu mereka berharap bisa hidup tenang dan bahagia.
Cerita lama
Vic menyimpan cerita lama yang kelam atas kehidupan keluarganya berupa perasaan dendam kesumat lantaran istri dan anaknya dibunuh kelompok mafia pimpinan Alphonse Hoyt (Terrence Howard). Sementara, bara dendam kesumat sangat membara di hati Béatrice karena wajahnya dibuat rusak gara-gara ditabrak pengendara BWM. Lebih memilukan dia lagi: pengemudi itu hanya dihukum tiga pekan saja tanpa mendapat sanksi tambahan –semisal– kewajiban harus membayar ganti rugi kepada Béatrice.
Hanya dengan cara melenyapkan pengemudi BMW yang suka mabuk dan main perempuan inilah, hati Béatrice akan menjadi tenang dan hidup normal. Sementara bagi Vic, urusan gigi ganti gigi dan hutang nyawa harus mendapat imbalan ganti nyawa dengan cara membunuh harus segera dilakukan tanpa ragu.
Dua manusia malang dengan satu perasaan sama: dibebat tanpa henti oleh rasa dendam dan berpikiran akan merasa menjadi lebih bahagia dengan membunuh. Inilah tragedi kehidupan manusia modern yang dengan gamblang dan tanpa urakan ditampilkan dalam Man Dead Down garapan sutradara Neils Arden Opley.
Kepada Vic, harapan dan impian Béatrice bisa membuang dendam dengan cara membunuh mendapatkan tempatnya. Sementara bagi Vic, peluang bisa membunuh komplotan mafia Jamaika dan Albania pimpinan Christophe dan Ilir hanya bisa terjadi dengan cara infiltrasi.
Lagi-lagi seperti bunyi pepatah Jawa tumbu oleh tutup, maka Vic adalah penutup mimpi buruk bagi Béatrice; sementara hanya dengan menyaru menjadi pengawal mafia jahat inilah Vic bisa mendapat kesempatan melenyapkan ‘cerita lama’ berupa mimpi buruknya karena keluarganya dibantai mafia.
Meski tak seheboh film-film Hollywood lainnya yang banyak mengumbar dar-der-dor, Dead Man Down cukup mewakili semangat film ber-genre série noire yang merepresentasikan hidup manusia yang serba kelam. Dan kekelaman itu adalah dunia batin manusia yang terpenjara oleh emosi negatif bernama dendam kesumat.
Adegan berciuman saat di atas KA seakan mengisahkan babak baru kehidupan mereka. Dari yang saling tidak kenal, lalu menjadi kenal, saling memanfaatkan untuk bisa membunuh lawannya dan akhirnya saling membutuhkan untuk cinta.
Dead Man Down memanglah sifat kejam manusia yang tak peduli dengan nilai kehidupan, karena yang penting dendam lama sudah “terbayarkan”: gigi ganti gigi, hutang nyawa ganti nyawa.
Untuk cinta? Kalau yang ini, jelas sangat absurd dalam kehidupan riil sehari-hari.