BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN
Rabu, 7 Juli 2021.
Tema: Diperbaharui.
- Bacaan Kej 41: 55-57, 42: 5-7a, 17-24a.
- Mat. 10: 1-7.
ADA saat hidup terperangkap dalam ketidakpastian. Bukan karena kehilangan arah. Bukan pula kehilangan semangat.
Apalagi kekaburan cita-cita.
Ada sesuatu yang tak dapat dinalar. Antara taburan kelemahan kemanusiaan dan anugerah rahmat yang tak terkira.
Perjuangan mempertahankan hidup dan cita-cita surgawi. Di tengah-tengah dan di antara kedua titik itu, terkadang hidup limbung, tak berdaya.
Berpikir jernih pun tidak mudah. Bdk Kej 42: 21.
Bukankah manusia itu multi dimensi dan multi tafsir. Segala sesuatu terikat dan saling terkait satu sama lain.
Hati, pikiran, rasa. Cita-cita dan keinginan- keinginan yang datang silih berganti.
Hanya dengan kesadaran di hadapan Tuhan dan pemahaman jernih akan kehidupan, ia belajar membedakan keinginan-keinginan, gerakan-gerakan, kecenderungan-kecenderungan yang menyimpangkan dari tujuan ia diciptakan.
Salah duga
Saya sangat bersyukur, Tuhan membentuk saya dengan kesabaran-Nya.
Saya sangat berterima kasih pernah jatuh-bangun. Apalagi disertai pengalaman-pengalaman yang tak terduga.
Sebuah proses penjernihan.
Suatu saat ketika mengalami desolasi -pengalaman kekeringan dalam jiwa- maka pimpinan berkata, “Romo, bagaimana kalau ditugaskan ke Kalimantan. Misalnya ke Ketapang. Romo bisa merenungkan dan mempertimbangkan tawaran ini selama tiga hari,” kata pastor pimpinan.
Mak deg. Mak tratap. Hatiku tidak siap. Tak terduga. Tak pernah ada di dalam benak. Apalagi menginginkan.
Sebuah pulau dengan hutan lebat. Dengan tipikal masyarakat yang gampang mencurahkan darah. Juga tidak ada fasilitas yang memudahkan untuk hidup. Masih binatang-binatang khas hutan belantara yang mungkin saja buas.
Peristiwa Sampit konflik antar etnis sungguh sampai menciutkan nyali.
Sengaja dibuangkah diriku ke Kalimantan?
Hari-hari galau. Bunek. Tak dapat berpikir jernih, apalagi memaknai sebagai pengutusan baru.
Hati berat, tidak siap diutus. Alasan pun dicari-cari dan dilegitimasi.
Asal bukan saya. Juga jangan pula saat ini.
“Bapa Uskup, saya belum siap diutus. Hati saya berat meninggalkan kota ini. Juga orang-orang yang dekat dengan saya. Mental tidak siap berkarya ke luar pulau,” kataku memelas.
“Baiklah Romo. Siapkanlah dirimu di suatu saat,” kata Bapak Uskup yang mengerti pergulatan yang sedang kualami.
Beberapa tahun saya telah bertugas di paroki di mana suasana komunitas dan umat sungguh mengharukan.
Dengan segala kekuatan dan dukungan, dikokohkan kembali semangat dan api perutusan.
Semangat misi yang tak goyah. Meniti dan menimba semangat misi.
Rencana Tuhan tetap berlaku. Satu periode lebih tugas di paroki dijalani, lalu Bapa Uskup kembali bertanya, “Romo, apakah sudah siap bisa diutus kembali berkarya pastoral di luar Jawa? Ini ada dua keuskupan yang minta tenaga: Ketapang dan Banjarmasin,” kata Bapak Uskup menyapaku.
Tanpa pikir panjang dan spontan saya berkata, “Siap diutus kemana pun; mengubur ketidaktaatan saya pada waktu itu. Monggo, Bapa Uskup saja yang menentukan. Saya taat,” kali ini kataku menjawab super pede.
“Nah, Romo diutus berkarya pastoral ke Keuskupan Banjarmasin. Silahkan diurus segala sesuatunya. Kontaklah Keuskupan Banjarmasin, tanyakan kapan diharapkan bisa datang,” imbau Bapak Uskup menyemangatiku.
Tidak ada beban sedikit pun sekarang. Tidak takut sedikit pun tentang hutan lebat Kalimantan, budaya, dan masyarakatnya,
Misi yang meneguhkan.
Tuhan sungguh baik. Keindahan, kesederhanaan dan kepolosan itulah kesanku tentang masyarakat Kalimantan.
Saya sungguh dimanja, menikmati gairah seorang misionaris.
Bapa Uskup, romo-romo di Keuskupan Banjarmasin di Kalsel menyambut senang pengutusanku. Ada Romo Gross CM, Romo Teddy, Romo Sumartono, para romo lainnya dan banyak umat yang sungguh luar biasa memberi daya berpastoral.
Pulau Laut adalah sebuah pulau kecil. Dengan lokasi stasi-stasinya yang hanya bisa dijangkau dengan keharusan masuk hutan. Juga melewati jajaran kebun sawit berjarak ratusan kilometer. Tanpa ada penerangan sedikit pun di waktu malam. Plus minum sinyal HP.
Juga harus menumpang speedboat kecil. Yang membelah selat dengan gelombang tinggi pun membuat jantung kuat.
Menyenangkan. Surga pengalaman.
Saya belajar hidup. Berhimpun bersama mereka, dalam doa dan pelayanan; membangun kehidupan dan bersaudara.
Ada sukacita, ketika mengunjungi umat yang terpencil, keluarga-keluarga sederhana, ikut berburu, mencari durian di malam hari, memancing.
Kadang tidur pun tidak beralaskan apa-apa. Dan lintah pun sampai kenyang telah menghisap darah.
Saya belajar hidup sederhana dan taat pada tugas pengutusan menjadi imam misionaris domestik di Keuskupan Banjarmasin.
Kalimantan adalah surga kehidupan.
“Pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.” ay 6-7.
Tuhan engkau telah memanggil aku seturut rancangan-Mu. Utuslah. Mampukanlah. Amin.
Salah satu romo yang benar-benar meninggalkan kesan dalam di hati umat Kotabaru, terutama bagi saya sekeluarga.. bahkan suami yang tdk gampang akrab dng orang lain, sampai skrg masih mengingat Romo Sigit Pr… Kalau anak2 mungkin tidak begitu ingat dengan jelas, namun bila kita bilang : itu loh Romo yang sering kasih donat atau coklat, mereka langsung paham, Romo Sigit kata mereka. Semoga selalu sehat dimanapun Romo berkarya ?
Syukurlah Bu Vonny, segala sesuatu yang baik itu pasti akan dikenang
Keuskupan Banjarmasin saya langsung ingat waktu saya bekerja sebagai wartawan SKM Dian di Flores. Saya ditugaskan pada Okttober 1998 ke Kalimantan Selatan. Saya meliput kehidupan para transmigran asal Flores yang ada di Surianmahe Kabupaten Tabalong. Selama tiga bulan saya merasakan keseharian mereka pagi hari menderes karetyt dan demikian sore hari juga menderes karet. Waktu itu Surianmahe hanyalah sebuah stasi. Terakhir saya tahun sudah jadi Paroki St. Yoseph sejak dua tahun lalu.
Siip Pak Agust.