BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Senin, 12 Juli 2021.
Tema: Sukacita Golgota.
- Bacaan Kel 1: 8-14, 22.
- Mat. 10: 34 – 11: 1.
MANUSIA adalah satu keluarga. Sebuah cita-cita, kesadaran dan kerinduan. Agar dunia menjadi tempat dan rumah bagi semua
Belajar dari sejarah pertikaian, permusuhan antar suku, bangsa bahkan agama. Semua itu hanya membuahkan derita dan penghilangan kehidupan.
Bukankah dunia full gosip, hoaks yang dibentuk oleh orang-orang yang suka mengkritik dan merusak tidak membawa kedamaian. Mereka musuh perdamaian. Sama sekali tidak bahagia.
Sejauh setiap pribadi terikat pada egoisme sektoral, tidak nyaman dan menerima diri apa adanya. Tambah lagi masa kecil tidak mengalami kehangatan kasih, kelembutan dalam keluarga, ia cenderung menjadi pribadi “pemuas diri sendiri”.
Iri, khawatir, syak-wasangka.
“Kemudian bangkitlah seorang raja baru memerintah tanah Mesir yang tidak mengenal Yusuf. Berkatalahraja itu kepada rakyatnya: “Bangsa Israel itu sangat banyak dan lebih besar jumlahnya daripada kita. Marilah kita bertindak dengan bijaksana terhadap mereka, supaya mereka jangan bertambah banyak lagi, dan -jika terjadi peperangan- jangan bersekutu nanti dengan musuh kita dan memerangi kita, lalu pergi dari negeri ini. Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka untuk menindas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Raamses.” ay 8-11.
Awal penindasan dan kekerasan.
Jalan buntu
“Mo, saya tidak tahu lagi bagaimana mendidik anak-anak. Mereka sudah dewasa, tidak mandiri. Selalu menyalahkan saya. Tetapi, mereka tidak mau jauh dari saya.
“Apa yang bisa saya bantu?” kataky.
“Doakan saja. Kalau senggang, nasehati mereka ya, Mo?” pintanya.
“Saya single parent. Saya membesarkan anak-anak semampu saya. Saya juga harus mencari rezeki bagi mereka. Apa pun saya lakukan. Saya tidak pernah kecewa. Saya bersyukur. Saat-saat sulit, Tuhan membantu.
Dari segi keuangan cukup, asal diatur. Saya ingin mereka menjadi pribadi yang punya hati satu sama. Tuhan campur tangan,” kisahnya.
“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku.
“Sepeninggal ayahnya. Saya merasa ada sesuatu. Saya tidak tahu persis. Firasat saya mengatakan demikian.
Anak saya yang pertama menikah tanpa persetujuan saya. Saya tidak sreg dengan pilihannya. Ia minta bagian warisan untuk usaha. Saya berikan.
Tiga adiknya laki-laki, kuliah sampai selesai.
Ada rasa bangga. Kadang sedih juga, saling iri. Awalnya saya menengahi sebagai seorang ibu dalam kelembutan. Mereka ungkit-ungkit keroyalan almarhum papanya. Lalu salahkan saya. Saya tidak tahan. Kalau mereka meminta, saya bilang, tidak punya,” lanjutnya.
“Lama-lama mereka lebih banyak menuntut daripada mengerti kesulitan saya. Saya mulai tidak sabar. Terjadilah adu mulut. Saya bilang, ‘Kalau kalian terus begini, Mama tidak tahan. Mama mau pergi saja. Terserah kalian maunya apa’.
Ancaman itu selalu saya katakan. Saya lelah, capek dan tidak ada pengertian dari mereka,” jelasnya.
Kaget dan terpaksa.
Suatu saat mereka bertengkar satu sama lain.
“Saya mengatakan hal yang sama. Tak terduga, anak nomor tiga lalu berkata, ‘Ya sudah Mi. Mami capek dan kami pun lelah. Bagi aja warisan. Biar jalani hidup masing-masing. Daripada kumpul bersama dan bertengkar.’”
Yesus memberi ketegasan pilihan hidup akan salib, tanda kasih. Berani belajar percaya dan berserah. Berani berbuat baik, sukacita memberi dan melayani bukan untuk mengumpulkan pahala.
“Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” ay 39.
Tuhan, jangan biarkan kami menjadi bagian dari musuh kehidupan. Amin.