PADA hari Senin, 13 Februari 2023, Gereja Katolik Indonesia akan menjadi saksi satu lagi pengakuan terhadap kontribusi besar Gereja Katolik di dalam membangun dialog.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa kepada Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot, M.C.C.J., Prefek Dikasteri Dialog Antarumat Beragama (DID)
Bersama dengan Kardinal Ayuso, dianugerahkan juga gelar yang sama kepada Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf dan kepada Dewan Advisory Board (Dewan Pakar Hublu PP Muhammadiyah) Sudibya Markus.
Dari keterangan Humas UIN Sunan Kalijaga, ketiganya mendapat gelar kehormatan ini atas karya dan kontribusi mereka dalam membangun solidaritas dan kemanusiaan antar bangsa dan agama.
Bagi Gereja Katolik, penghargaan kepada seorang pejabat dari Vatikan oleh institusi Islam di negeri ini merupakan sebuah penghormatan sekaligus tantangan.
Gereja Katolik sebagai aktor dialog
Dikasteri untuk Dialog antar agama (Dicastery of Interreligious Dialogue/DID) adalah nama yang diberikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 28 Juni 1988.
Nama ini menggantikan lembaga yang sebelumnya bernama Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID) yang didirikan oleh Paus Paulus VI pada 19 Mei 1964.
Hadirnya badan khusus di Kepausan yang membidangi bidang dialog antar agama ini menjadi awal perhatian khusus Gereja kepada usaha dialog antar agama. Kelahiran lembaga ini adalah kelanjutan dari semangat Konsili Vatikan II yang membas tentang dialog dengan agama-agama lain dalam deklarasi Nostra Aetate.
Lembaga ini bertugas untuk:
- Mempromosikan kesalingpemahaman, penghormatan dan kerjasama antara umat Katolik bersama dengan saudara-saudari yang berasal dari tradisi keagaman lain;
- Mendorong terjadinya pembelajaran atas agama-agama;
- Mendorong terjadinya formasi/pendidikan bagi pribadi-pribadi yang mendedikasikan hidupnya untuk dialog.
Hadirnya lembaga ini adalah kemajuan penting bagi Gereja Katolik. Karen sebelum Konsili Vatikan II, dialog agama tidak menjadi prioritas Gerjea.
Perubahan pola pikir itu tertuang dalam Deklarasi Nostra Aetate:
“Pada zaman kita bangsa manusia semakin erat bersatu dan hubungan-hubungan antara pelbagai bangsa berkembang. Gereja mempertimbangkan dengan lebih cermat, manakah hubungannya dengan agama-agama bukan kristiani.
Dalam tugasnya mengembangkan kesatuan dan cinta kasih antarmanusia, bahkan antarbangsa, Gereja di sini terutama mempertimbangkan manakah hal-hal yang pada umumnya terdapat pada bangsa manusia, dan yang mendorong semua untuk bersama-sama menghadapi situasi sekarang.” (NA Art 1).
Kehadiran lembaga khusus PCID yang kemudian berubah menjadi DID telah menghadirkan banyak sekali bentuk-bentuk promosi dialog, baik dalam dokumen maupun dalam bentuk kegiatan.
Paus Paulus VI mengeluarkan Ensiklik Ecclesian Suam di mana beliau mengatakan bahwa dialog menjadi hal yang penting bagi dunia dan diinginkan oleh Gereja Katolik.
Penerusnya, Paus Yohanes Paulus II mengadakan Pertemuan Doa Assisi untuk Perdamaian pada tahun 1986. Kegiatan itu mengundang 50 perwakilan dari Komunitas Kristen dan 60 perwakilan dari agama lain untuk berdoa bersama untuk kedamaian dunia di tengah situasi genting pada waktu itu.
Pada masa Paus Benediktus XIV, ajakan berdoa ini dilakukan kembali, tepatnya pada tahun 2011, bersamaan dengan peringatan 25 tahun doa bersama itu.
180 perwakilan dari berbagai agama hadir dalam acara tersebut. Pada masa Paus Fransiskus, salah satu peristiwa pentingnya adalah ditandatanganinya Document of Human Fraternity (Dokumen Tentang Persahabatan Manusia) atau yang dikenal sebagai “Dokumen Abu Dhabi” oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Ahmed El-Tayeb yang merupakan otoritas Islam Sunni tertinggi di Mesir.
Dalam konteks inilah Kardinal Ayuso memiliki peran penting dalam perannya sebagai perwakilan utama Vatikan dalam memulihkan dialog bersama dengan Imam Besar Ahmed El-Tayeb.
Beberapa poin penting dari pembicaraan mengenai dialog tersebut adalah inisiatif bersama untuk mempromosikan perdamaian, hak untuk beragama, pendidikan, isu kebebasan beragama, dan hak kewarganegaraanuntuk semua, tidak peduli agama mereka. Karyanya memuncak dalam pernyataan bersama, Deklarasi Persaudaraan Insani yang ditandatangani bersama oleh Imam Besar dan Paus Fransiskus pada Februari 2019 di Abu Dhabi.
Dokumen Persaudaraan Insani
Membincang mengenai Dokumen Persaudaraan Insani, kita bisa melihat bagaimana harapan kuat untuk tumbuhnya budaya baru hidup bersama.
Di sana digagas mengenai hak bagi mereka yang terpinggirkan oleh arus perkembangan dunia dan juga oleh munculnya radikalisme atas nama agama.
Dalam salah satu bagian diungkapkan komitmen bersama untuk mencapai damai,
“Iman menuntun orang beriman untuk memandang dalam diri sesamanya seorang saudara lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi.
Melalui iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan, dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-Nya), umat beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia ini dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.”
Di dalam tulisan itu tersirat sungguh keinginan untuk bersama-sama membincang soal persaudaraan antar manusia.
Dalam dokumen bersama ini tidak ditemukan terminologi khusus agama tertentu, tetapi lebih kepada ajakan umum bagi umat manusia untuk menyadari peran penting persaudaraan.
Di akhir dokumen, demi menjamin tersebarnya ajaran dari dokumen ini, kedua lembaga menyatakan kehendak Gereja Katolik dan Al-Azhar untuk mengumumkan dan berjanji untuk menyampaikan dokumen ini kepada pihak-pihak berwenang, pemimpin yang berpengaruh, umat beragama di seluruh dunia, organisasi regional dan internasional yang terkait, organisasi dalam masyarakat sipil, lembaga keagamaan dan para pemikir terkemuka.
Gerakan dokumen ini bergulir dalam berbagai bentuk. Di tingkat internasional, muncullah Zayed Award for Human Fraternity, sebuah penghargaan global independen yagn diberikan oleh Higher Committee of Human Fraternity yang diberikan kepada individu, organisasi, dan entitas lain yang berkontribusi mendalam demi persaudaraan manusia.
Penghargaaan ini sekaligus sebagai bentuk peringatan atas ditandatanganinya Dokumen Persaudaraan Insani yaitu diadakan tiap tanggal 4 Februari.
Bahkan, pada 21 Desember 2020, PBB mensahkan tanggal 4 Februari sebagai Hari Internasional untuk persaudaraan Umat Manusia.
Di tingkat lokal Indonesia, UIN Sunan Kalijaga menjadi salah satu yang melihat peran dokumen ini.
Bersama dengan Tangaza University College, Umma University, Global Ministries University dan Harmonny Institute mereka menyelenggarakan konferensi Internasional bertajuk Fratelli Tutti-Ukhuwwah Insaniyyah: Membangun Jembatan Solidaritas Kemanusiaan.
Fratelli Tutti adalah ensiklik Paus Fransiskus tentang “Persaudaraan dan Persahabatan Sosial” yang di dalamnya digaungkan kembali pesan-pesan dari Dokumen Persaudaraan Insani.
Honoris Causa, sebuah pesan persaudaraan
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 43 Tahun 1980 Pasal 2 ayat 2 dikatakan bahwa salah satu syarat mendapatkan doktor honoris causa adalah mereka yang sangat bermanfaat bagi kemajuan atau kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia pada khususnya serta umat manusia pada umumnya.
Dalam penganugerahan kepada Kardinal Ayuso, kiranya peran pentingnya untuk perdamaian dunia dianggap menjadi hal yang mendukung kesejahteraan manusia pada umumnya.
Di tengah arus mengentalnya identitas yang menjadi sumber konflik di berbagai tempat dengan berbagai alasan, senjata dialog tetaplah menjadi senjata penting yang menjamin terwujudnya perdamaian antar umat manusia.
Baca juga: Damai Kita Bersama Berkat Kardinal Ayuso, Gus Yahya Staquf, dan Pak Sudibya Markus (2)
Kardinal Ayuso, menjelang peringatan pertama Hari Internasional untuk Persaudaraan Manusia, menyatakan demikian.
“Dunia sedang menjalani periode sulit yang membutuhkan respon yang tepat atas permasalahan masa ini.
Dalam hal ini, sangat penting bahwa setiap 4 Februari kita merayakan Hari Internasional Persaudaraan Manusia yang ditetapkan pada pada 21 Desember 2020 oleh Majelis Umum PBB.
Semakin terbukti bahwa tidak ada orang yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Oleh karenanya, adalah suatu keharusan bagi Gereja untuk menghidupi nilai persaudaraan antar manusia untuk bersama-sama dalam semangat persaudaraan dan melalui persahabatan untuk mengembangkan tanggungjawab untuk menghadapi permasalahan yang kita hadapi bersama.
Para pemimpin agama secara khusus harus membantu menyebarkan harapan dan memberi kesaksian di tengah masyarakat bahwa mereka hidup untuk mengembangkan kesatuan, solidaritas dan persahabatan.”
Dalam konteks Gereja Indonesia hari ini, rasanya penganugerahan doktor honoris causa ini menjadi sebuah panggilan untuk terus menerus menggunakan senjata dialog di dalam merawat persaudaraan di berbagai tempat.
Di tingkat global kontribusi kita diakui oleh berbagai agama dan kalangan, di tingkat lokal hal yang sama juga diupayakan bersama dengan Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan yang ada dari tingkat Konferensi para uskup sampai di tingkat paroki-paroki dan berbagai kelompok dialog dalam berbagai macam bentuknya.
Syukur atas penganugerahan gelar ini dan mari terus bergandengan tangan menggunakan senjata dialog demi menjamin hidup bersama penuh persaudaraan.
Terngiang pesan indah Paus Fransiskus tentang ‘senjata” dialog ini:
“Yang penting adalah memulai proses perjumpaan, proses yang bisa membangun bangsa yang mampu menerima perbedaan-perbedaan. Mari kita mempersenjatai anak-anak kita dengan senjata dialog! Mari kita ajari mereka perjuangan yang baik untuk perjumpaan!” (Fratelli Tutti, Art 217). (Berlanjut)
- Rm. Martinus Joko Lelono Pr, imam diosesan Keuskupan Agung Semarang; Pengajar Kajian Agama dan Dialog Fakultas Teologi Universtias Sanata Dharma.
Baca juga: Yogyakarta: Islamic university awards honorary doctorate to Card Guixot