DI MANA-mana, keberagaman itu akan selalu menjadi “ciri umum” setiap bangsa atau negara yang mewadahi sekumpulan elemen masyarakat yang secara politik nasional menyatakan ingin bersatu untuk sebuah maksud dan tujuan politik dibentuknya negara tersebut.
Tidak ada sebuah bangsa di negara mana pun yang elemen-elemen masyarakatnya hanya “serumpun” atau terdiri dari komunitas satu etnik.
“Selalu dan di mana-mana setiap bangsa itu akan menampilkan ciri heterogen,” papar Prof. Sumanto Al Qurtuby dalam tesis perdananya mengawali acara diskusi Kopdar “Yuk, Bersatu Bangun Indonesia” di Griya Gus Dur, Jl. Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Jumat petang, 19 Juli 2019.
Indonesia paling beragam
Dalam soal kemajemukan dan keberagaman itu, kata Sumanto, Indonesia bolehlah dibilang layak menjadi “juaranya”.
Tidak hanya karena Indonesia ini terdiri dari berbagai macam etnik, bahasa dan budaya lokal yang kemudian membentuk “menjadi Indonesia”, tetapi bahkan koleksi agamanya pun juga beragam.
Meski secara resmi negara hanya mengakui enam agama –setelah sebelumnya hanya lima agama di era Pemerintahan Orba—namun sejatinya banyak keyakinan-keyakinan religius warisan budaya lokal tetap eksis, meski pada akhirnya para penganutnya lalu mengadopsi agama resmi sebagai identitas nasionalnya.
Kemajemukan dan keberagaman dalam banyak hal juga eksis di Timur Tengah, termasuk negara-negara kaya di kawasan Semenanjung Arab seperti UEA, Qatar, Bahrain, Kuwait, Oman, dan tentu saja Saudi Arabia.
Di sana hidup berbagai elemen masyarakat dari macam-macam etnis karena urusan pekerjaan atau kepentingan lainnya. Dan yang lebiih menyenangkan lagi, semua eleman masyarakat di Semenanjung Arab yang makmur itu pada umumnya rukun satu sama lain.
Menyikapi keberagaman
Di Indonesia, keberagaman dan kemajemukan itu sangat “dinamis” dan karenanya penting sekali untuk dikelola dan diatur dengan serius dan baik agar tidak menjadi “pencetus” bibit-bibit disintegrasi.
Pemerintah Orba zaman Presiden Suharto menyikapi keberagaman dan kemajemukan itu sebagai hal penting yang harus dijaga dan “diawasi” terus-menerus. Alih-alih merawat keberagaman itu sebagai “warna indah” dalam hidup bernegara dan berpolitik, Pemerintah Orba memilih sikap menyeragamkan semuanya.
Maka, demikian tesis kedua Prof. Sumanto Al Qurtuby, lalu lahirlah “bahasa penyeragaman” itu dalam bentuk Korpri, penyamaan asas tunggal sebagai platform berpolitik, seragam sekolah, dan lainnya.
“Mereka yang berani menampilkan diri berbeda dengan keinginan pemerintah atau tegas mau memperlihatkan sifat radikalnya, ya harus minggir atau melarikan diri ke negeri jiran,” papar Sumanto.
Barulah setelah Pemerintah Orde Baru tumbang dan bersemi kemudian eforia Reformasi, kelompok-kelompok “beda warna” yang dahulu berseberangan dengan rezim Suharto barulah berani “mudik” dan kemudian bersemi kembali. Fenomena ini antara lain ditengarai dengan munculnya elemen-elemen yang dulu “berseberangan” itu dengan baju-baju keormasan atau lainnya.
Memanfaatkan demokrasi
Prof. Sumanto juga mengingatkan tentang cara pikir umum yang kadang dianggap “sesat”.
Sejatinya, kata dia, ormas-ormas radikal yang sering mengekspresikan identitas ideologinya sebagai kelompok anti demokrasi itu justru malah menangguk untung dengan berseminya euforia reformasi dan berkembangnya demokrasi di Indonesia.
Di negara mana di Eropa, gugat Sumanto, di mana ormas radikal berbasis agama itu bisa hidup nyaman dan subur berkembang?
Tidak lain justru di negara maju di mana demokrasi berkembang subur dan dijamin kebebasannya, begitu jawaban Sumanto Al Qurtuby.
Sumanto lalu dengan tegas menyebut Inggris sebagai salah satu contohnya di mana demokrasi di negeri itu dijunjung tinggi sehingga kelompok-kelompok radikal berbasis agama juga dibiarkan tumbuh subur di situ.
Justru di negara-negara wilayah Semenanjung Arab, ormas-ormas radikal berbasis agama itu selalu dan di mana-mana akan diberangus habis atau setidaknya masuk dalam monitoring pengawasan tanpa henti.
Yang serba “aneh” dan cara pikir tidak logis malah terjadi di Indonesia.
“Justru di negara kita ini, mereka itu sering mengatakan anti demokrasi. Padahal it merupakan sebuah narasi kebohongan,” papar Prof. Sumanto Al Qurtuby.
Di Indonesia, ormas-ormas radikal berbasis agama itu justru malahmenikmati atmosfir demokrasi yang kini berkembang dengan bebas pasca Reformasi dan tumbangnya Orde Baru.
Andaikata di Indonesia berlaku rezim pemerintahan otoriter seperti Orba, maka sudah pastilah ormas-ormas radikal berbasis agama itu akan digilas habis seperti yang pernah dipraktikkan oleh rezim Orba dengan Pak Harto sebagai pucuk pimpinannya.
Yang terjadi di Indonesia ini sungguh menarik.
Ormas-ormas itu memainkan isu demokrasi sebagai hal yang bertentantangan dengan keyakinan agamanya. Padahal sejatinya, mereka itu justru bisa hidup dan berkembang, karena Indonesia mempraktikkan demokrasi secara luas dan bebas.
“Di situlah, kita sering kali terjebak dalam ketidaktahuan,” pungkasnya dalam diskusi kopdar kebangsaan yang dirajut bersama Komunitas Universal (KU) dan Komunitas GusDurian dengan dukungan Bina Swadaya. (Berlanjut)