DI sebuah titik kelokan di jalur pelayaran dengan speedboat menyusuri Sungai Pawan di Ketapang, Kalimantan Barat, sejenak rekan Molly menghentikan laju kapal motornya. “Mancing ya,” katanya penuh keyakinan.
Untuk penduduk lokal asli dari Ketapang, barangkali ucapan itu bernada sungguhan. Namun, bagi orang asal Jawa yang jarang melihat sungai nan lebar dengan arus sangat deras, hal itu terasa sebagai gurauan tidak lucu.
Ternyata, Molly tidak sedang bergurau.
Ia segera menepikan kapal motornya dan kemudian mengikatnya di salah satu pohon besar agar tidak terseret arus kuat Sungai Pawan. Ia lalu mengeluarkan semua peralatan pancingnya dan sekejap kemudian mak plung ..bunyi umpan dengan pemberat logam masuk ke kedalaman air.
Kami berempat –satu pria dan tiga perempuan paruh baya—terkesiap sekaligus bertanya-tanya: memangkah ada banyak ikan di situ?
Airnya sangat deras. Mana mungkin ada ikan di situ. Kurang lebih 30 menit berlalu, tak seekor ikan pun sudi melahap greneng pancing Molly. “Iya, arusnya terlalu deras,” katanya menghibur diri.
Padahal, kata pegawai negeri sipil Kabupaten Ketapang ini, ketika musim-musim tertentu di sebuah titik di Sungai Pawan tersebut boleh dibilang termasuk ‘gudang ikan”. Sekali tebarkan pancing, kata dia, maka dalam sekejap mata pancing akan mengikat ikan. Tinggal tarik dan angkat, maka di tangan akan ada ikan.
“Bapak Uskup (waktu itu Mgr. Blasius Pudjaraharja Pr) sudah sering saya bawa ke sini untuk mancing,” ujar Molly.
Tak apalah. Kali ini saja, dia kurang beruntung. Di ujung titik kelokan air deras itu ada rumah sederhana. Di situ sudah ada beberapa ekor ikan air tawar tersedia untuk Molly dan rombongan kami.
Dari titik kelokan air deras di Sungai Pawan itulah, kami meluncur kemudian ke arah Tanjung Pura, sebuah permukiman pedalaman nun jauh di hutan Kalimantan Barat.