Pada waktu itu, Orang yang menderita penyakit kusta dianggap sebagai kutukan. Oleh karena itu, mereka harus tinggal terasing dan orang lain tidak boleh mendekatinya, termasuk keluarganya sendiri. Dalam film yang berjudul Ben Hur, Esther dan Mariam menderita kusta karena dibuat oleh orang-orang Romawi.
Judah Ben Hur, meskipun sangat rindu pada ibu dan adiknya, tidak bisa berjumpa, karena mereka selalu menghindar. Orang ini sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Sudah sakit fisik (kusta) masih sakit psikis (diasingkan). Penderitaan yang amat sangat.
Waktu saya bertugas di Merauke, Papua (2003 – 2011), pernah saya mendampingi orang yang kena penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus)/ AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome ). Penderita itu kurus dan pucat. Yang lebih menyedihkan lagi, tidak ada keluarga yang mau menerimanya lagi.
Pengalaman lain juga saya dapatkan ketika mengunjungi Panti Jompo di Bantarbolang, Pemalang, Jawa Tengah (1999 – 2001). Waktu itu bersama kelompok Assosiasi MSC, PBHK mengunjungi seorang ibu yang belum begitu tua. Semua penghuni wisma itu bergembira-ria melihat Televisi.
Tetapi saya perhatikan ibu tadi selalu melihat pintu masuk para tamu. Kemudian saya dekati ibu itu. Dia berkata, “Romo, hatiku sakit merindukan datangnya cucu-cucu. Saya kangen sekali kepada mereka. Di tempat ini saya amat terasing.”
Atau belum lama ini, saya bertemu dengan seorang pengusaha di bilangan kota Manado. Dia mengeluhkan bahwa keluarganya juga ingin diperhatikan oleh Gereja. Sapaan dari sang gembala bisa memberi siraman kesejukan bagi keluarganya.
Bapak itu berkata, “Pimpinan Gereja hanya datang kepada saya ketika mereka membutuhkan saya.” Memang, secara fisik keluarga tersebut sudah tercukupi, namun mereka juga miskin perhatian.
Di sini kita lihat bahwa perhatian itu amat memberi arti bagi orang-orang. Orang bisa sakit dan menderita karena kurang dan tidak diperhatikan.