MIMPI kadang dimaknai negatif”. Karena hanya dianggap sebagai “bunga” tidur. Padahal, bermimpi atau berfantasi dengan membayangkan hal-hal “mustahil” dijadikan nyata itu penting. Karena hanya dengan bermimpi atau berfantasi, maka keinginan-keinginan besar di masa depan itu bisa terwujud.
Bermimpi dan berfantasi bisa menjadi energi jiwa. Untuk melakukan sesuatu yang semula dianggap mustahil menjadi riil. Mewujud jadi nyata dalam bentuk melahirkan sebuah prakrasa, inisiatif, dan ide kreatif.
Berasal dari mimpi-mimpi baik inilah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kemenag RI lalu memprakarsai sebuah acara. Berupa kegiatan bertajuk “Sosialisasi Pengembangan Bakkat kepada Keuskupan Agung Seluruh Indonesia di Jakarta”.
Judul kegiatan di atas bisa menimbulkan banyak pertanyaan. Padahal, idenya sangat baik. Karena berbagai alasan berikut ini:
- Prakarsa ingin mendirikan Bakkat (Badan Amal Kasih Gereja Katolik) itu memang idenya datang dari Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kemenag. Tapi eksekusi gagasan itu nantinya akan dipraktikkan dan ditindaklanjuti oleh setiap keuskupan. Bimas Katolik Kemenag dalam hal ini hanya menjadi pemantik semangat saja.
- Sampai sekarang ini, lembaga Bakkat itu baru ada hanya di Keuskupan Agung Jakarta. Ada baiknya, eksistensi Bakkat itu juga bisa tumbuh dan berkembang di keuskupan-keuskupan lain di luar KAJ.
- Pertanyaan yang sempat muncul di tengah audiens para peserta pertemuan sosialisasi antara lain demikian: Apakah sebaiknya setiap keuskupan punya lembaga Bakkat-nya masing-masing? Atau, sebaiknya keberadaannya nanti di masing-masing keuskupan itu nantinya boleh “nginduk” saja pada Bakkat KAJ?
Belajar dari sebelah
Dalam sambutan pembukaan kegiatan empat hari sosialisasi tentang perlunya membangun Bakkat di setiap keuskupan, Dirjen Bimas Katolik Suparman menegaskan, dirinya sangat “kagum” dengan lembaga pengumpulan dana amal kasih milik umat beragama lain.
Karena dalam praktiknya, operasional lembaga tersebut sudah dilakukan dengan baik. Bahkan disertai laporan program diseminasi donasi amal; dengan berikut laporan auditing dan aplikasi penggunaan dana.
Sementara di Gereja Katolik, lembaga Bakkat itu hanya ada di KAJ saja. Di keuskupan-keuskupan lain, keberadaan lembaga Bakkat belum ada.
Karena itu, kata Dirjen Bimas Katolik Suparman, “Saya bermimpi alangkah baiknya kalau lembaga Bakkat ini juga dapat eksis di setiap keuskupan,” ungkapnya di hadapan audiens peserta sosialiasi, Rabu petang 4 Juni 2024.
Sebelumnya, FX Rudy Andrianto selaku Kasudit Pemberdayaan Umat di bawah Direktur Urusan Agama Katolik menyampaikan kepada audiens peserta tentang sekilas sejarah berdirinya lembaga Bakkat.
“Pembicaraan mengenai hal itu sudah dilakukan Direktorat Bimas Katolik Kemenag RI dengan hierarki Gereja. Terjadi sejak tahun 2016,” papar Rudy Andrianto.
“Sehubungan dengan gagasan ingin mendirikan lembaga Bakkat misalnya di setiap keuskupan, maka yang diperlukan adalah manajemen regulasi agar lembaga sosial keagamaan ini bisa dikelola dengan baik, transparan, dan akuntabel,” tandas Rudy Andrianto.
Mimpi bersama wujudkan hormat pada martabat manusia
Kalaupun nanti gagasan baik yang dilontarkan oleh Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kemenag itu berhasil mewujud nyata, maka ide baik itu baru akan terjadi bilamana keuskupan memang sungguh menghendakinya.
Keberadaan lembaga Bakkat sejatinya memang dimaksudkan sebagai saluran berkat bagi umat Katolik di wilayah pastoral keuskupan masing-masing. “Singkatnya, Bakkat itu sebaiknya memang harus ada. Karena keberadaannya untuk dan karena ingin melayani umat,” papar Suparman.
Dua hari kemudian dan karena ingin merespon ajakan baik dari Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kemenag RI tersebut, Vikjen Keuskupan Agung Pontianak Romo Prof. Dr. William Chang OFMCap mengatakan gagasan pribadinya.
Menurut Romo William Chang OFMCap, keberadaan Bakkat pada intinya merupakan wujud kontribusi umat dalam upaya mewujudnyatakan “Kerajaan Allah” (baca: kesejahteraan umat) di masyarakat. Ini disampaikan Romo William Chang OFMCap saat memberi homili Perayaan Ekaristi, Kamis pagi tanggal 6 Juni 2024.
“Keberadaan Bakkat -kalau pun nantinya bisa terwujud di setiap keuskupan- merupakan bentuk dan wujud nyata kontribusi Gereja bersama umat untuk menghormati martabat manusia.
Keberadaan lembaga sosial Bakkat itu merupakan wujud nyata dari hukum utama: Cinta Kasih kepada diri sendiri dan sesama,” tutur imam Ordo Fransiskan Kapusin Provinsi Pontianak dan penulis buku produktif ini.
Bisa mengurangi jumlah kewajiban bayar pajak
Dalam paparannya, Dirjen Bimas Katolik Kemenag Suparman mengungkapkan sedikit “sejarah” munculnya Bakkat. Pemantik munculnya lembaga resmi gerejani untuk menghimpun dan mengelola dana sosial amal kasih adalah kondisi sosial ekonomi umat Katolik yang secara umum masih belum “sejahtera”.
Dari sumbangan amal kasih hasil pemberian umat Katolik inilah, Gereja Katolik kemudian punya dana sosial untuk dikembalikan lagi kepada umat melalui berbagai program kegiatan.
Yang menarik, dana sosial pemberian umat Katolik itu bisa mengurangi jumlah penghasilan brutto yang harus dipotong pajak. Singkatnya, bisa mengurangi beban jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
Ibarat kata begini. Misalnya saja kita harus bayar pajak sebesar Rp 1 juta. Tapi kalau sebagian penghasilan personal itu kemudian disumbangkan kepada Gereja Katolik melalui lembaga Bakkat, maka besaran donasi amal kasih itu bisa mengurangi kewajiban bayar banyak yang sedianya harus dibayarkan kepada negara sebesar Rp 1 juta.
Donasi sosial amal kasih itu juga bisa dipraktikkan oleh perusahaan-perusahaan. Namun di sini ada catatan penting yang harus kita pahami. Yakni adanya semacam “keharusan” bahwa mayoritas kepemilikan perusahaan-perusahaan bisnis itu wajib dimiliki orang-orang Katolik.
Dengan demikian, sumber dana lembaga Bakkat itu harus datang dari individual-individual Katolik dan perusahaan-perusahaan milik orang Katolik.
Tapi ada pertanyaan, bagaimana kalau ada orang non Katolik ingin berbuat baik dengan sekadar mau menyumbang saja.
Dijawab oleh Tedjo Endriarto dari Bakkat KAJ kurang lebih demikian. “Bisa, tapi sumbangan amal kasih itu tidak dicatatkan sebagai pengurangan dari jumlah kewajiban bayar pajak. Jadi murni sumbangan amal kasih semata,” jawabnya.
Mengapa demikian? Karena kalau menyangkut dikurangkan pembayaran pajaknya, maka Bakkat sangat berkepentingan untuk mendapatkan data donatur publik dengan sebenar-benarnya: identitas diri nama lengkap, alamat tempat tinggal, tempat dan tanggal lahir, agama jelas harus Katolik, NPWP, dan lainnya.
Dari kita untuk kita
Pada kesempatan membuka kegiatan sosialisasi, Dirjen Bimas Katolik Suparman menegaskan, lembaga Bakkat itu sangat bagus karena misinya adalah “dari kita semua dan juga untuk kita semua”.
“Melayani umat itu butuh strategi. Bila perlu, kita harus berpikir dan bertindak out of the box. Bakkat menjadi salah satu alternatif solusi untuk membantu Gereja Katolik,” ungkap Dirjen Bimas Katolik Suparman.
“Saya bermimpi agar keberadaan lembaga Bakkat ini bisa berkembang di seluruh keuskupan. Bahkan ke depan, eksistensi lembaga Bakkat ini bisa semakin diperkuat dengan regulasi melalui Peraturan Menteri Agama,” lanjut Suparman.
“Kita semua ingin maju; juga semakin sehat dan kuat, karena dan berkat kontribusi dari umat,” tandas Suparman mengakhiri paparannya di atas panggung. (Berlanjut)