BERIKUT ini tulisan almarhumah Helena Dewi Justitia yang tiga tahun yang lalu dia toreh di laman FB.
Mengingat dalamnya permenungan pribadi yang baik, maka kami ingin menuliskannya kembali untuk para pembaca sekalian.
Helena Dewi Justitia meninggal dunia di Jakarta, Senin tanggal 6 Juni 2022 setelah sekian lama mengalami sakit tumor otak.
————–
Ketika dokter itu menghempaskan hasil MRI dan PET Scan di meja, aku hanya memandangnya tanpa bicara.
“Kalau sudah seperti ini, situasinya seperti balapan. Tumor sudah sebesar dua per tiga otak kanan. Karena balapan, maka kalau obatnya menang tumor akan mengecil.
Kalau tumornya menang, otaknya akan habis. Situasi ini sudah berlangsung dua setengah tahun lamanya.”
Aku masih memandangnya dengan diam, namun kuterima rencana pengobatannya.
Balapan.
Balapan antara otak dan tumor. Keduanya punya peluang yang sama untuk menang atau kalah.
Jadi, situasinya 50:50.
Dalam perjalanan pulang, aku merenung. Situasi 50:50, bagi manusia mungkin memang hanya berarti menang atau kalah.
- Tapi apakah Tuhan membiarkan manusia kalah?
- Apakah Tuhan membiarkan manusia mati sia-sia?
- Bukankah manusia diciptakan seturut citra-Nya sendiri?
- Lalu, bagaimana situasi 50:50 itu sendiri bagi Tuhan?
Aku merenung, dan merenung.
Tuhan adalah Sang Pemilik Kehidupan. Situasi 50:50 pasti dimiliki semuanya oleh Tuhan. Lalu mengapa kita tidak mengambil bagian dari kepunyaan-Nya itu?
Menang atau kalah, kita milik Tuhan.
Sejak itu hatiku tenang, jiwaku tak gelisah.
Jika aku hidup, aku hidup untuk Tuhan. Jika aku mati, aku mati untuk Tuhan. Hidup dan matiku untuk Tuhan.
Tidak ada yang perlu digelisahkan. Jiwaku, selamanya bersama Tuhan.
Disposisi batin itulah yang tampaknya membuatku mampu tenang, gembira, ceria bahkan lucu hingga produktif.
Aku masih tetap bekerja, menulis, bahkan beberapa tulisan malah lebih kreatif, lucu bahkan konyol.
Aku tak kehilangan selera humor, meski otak dan syaraf-syarafku error. Bagiku malah banyak hal yang lucu, dan kegembiraan terbesar adalah mampu menertawakan diri sendiri.
Banyak orang yang sakit, terutama yang berat, mengalami disposisi batin yang sangat mempengaruhi sikap-sikap hidup mereka.
Ada yang stres, syok, histeris.
Hal itu dapat dipahami. Mereka hanya perlu ditemani untuk menjalani kehidupan yang lebih berpengharapan.
Tidak mudah juga bagi yang menemani karena dia sendiri pun harus punya pengharapan, yang jauh melampaui kecemasan.
Mengapa engkau gelisah, wahai jiwaku? Berharaplah pada Tuhan, maka engkau akan bersyukur lagi.