KALAU ada yang berubah dalam Gereja Katolik di Indonesia ini, maka inilah untuk yang pertama kalinya ada seorang uskup boleh brengosan (berkumis tebal).
Begitulah sebuah contoh disrupsi yang benar-benar terjadi, demikian pengantar guyon Mgr. Robertus Rubiyatmoko, ketika memberi ilustrasi tentang Gereja Katolik Semesta yang ikut terkena dampak disrupsi.
Persisnya, demikian kata Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang ini, adalah ketika Gereja Katolik Semesta dituntut harus berani berubah, membiarkan angin dari luar masuk menghembuskan aliran angin segar ke sekat-sekat tembok Gereja, biara, dan keimanan Umat Katolik Semesta.
Angin segar dari luar
Aggiornamento adalah nyawa baru yang berhembus masuk “menerangi” Gereja Katolik Semesta berkat terjadinya Konsili Vatikan II yang digagas oleh Paus Johannes XXIII dan kemudian diteruskan dan diimplementasikan oleh penggantinya yakni Paus Paulus VI.
Gereja mengalami disrupsi di segala bidang; tanpa kecuali juga ajaran iman, tata liturgi ekaristi dan inkulturasi, pandangan keselamatan di luar Gereja, hubungan Gereja Katolik dengan dunia dan komunitas beriman lain, dan masih banyak lagi.
Ada rentang tahun yang begitu panjang selama tiga abad dari Konsili Trente di tahun 1545 dan tahun 1563 menuju Konsili Vatikan I (1869-1970) yang dibesut Paus Piux IX. Lalu kemudian muncul Konsili Vatikan II (1963-1965) yang implikasi perubahannya di banyak hal itu kini mewujud pada format Gereja Katolik seperti sekarang ini.
Tantangan serius yang dihadapi oleh Gereja Katolik adalah bagaimana pewartaan iman itu bisa tetap dilakukan secara efektif dan tepat-guna.
Mengapa demikian? Anak-anak zaman sekarang lebih suka ngendon di rumah nonton film kartun atau main HP daripada misalnya diajak orangtuanya pergi ke gereja.
Bagaimana Gereja itu harus tetap hadir di tengah masyarakat –sesuai amanat Konsili Vatikan II—salah satu inovasi yang dicetuskan Mgr. Rubiyatmoko, menciptakan pola pewartaan baru dengan gambar atau kartun.
“Saya pun berusaha mengajak para imam agar mereka menciptakan sistem, misalnya, profil paroki itu bisa langsung tersaji secara real time, begitu kita klik HP. Juga keinginan bisa menyapa umat melalui paparan virtual di jalur Instagram,” papar Mgr. Rubiyatmoko.
Intinya adalah bagaimana kita bisa mengelola reksa pastoral Keuskupan Agung Semarang itu melalui teknologi modern.
Terhadap tantangan ini, yang perlu diambil oleh Gereja Katolik sebagai sikap adalah sebagai berikut:
- Rendah hati yakni kemauan dan keterbukaan untuk berani bertanya kepada orang lain dan mau belajar dari mereka tentang hal-hal baru yang barangkali tidak menjadi domain keahlian para tenaga pastoral gerejani.
- Adaptif yang berarti kita harus senantiasa mau menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
- Selektif yang artinya kita mesti memilih sarana yang tepat-benar dan berguna.
- Diskretif yang berarti kita mesti memilah-milah mana yang cocok dengan iman hakiki dan moralitas Kristiani.
- Inovatif yang berarti mampu menemukan cara dan pola baru untuk keperluan pewartaan.
Yesus: tokoh disrupsi
“Kalau harus menyebut siapakah tokoh panutan dalam Gereja yang terkena disrupsi dan kemudian melakukan shifting inovatif, maka tiada lain, ya Yesus sendiri,” demikian kesimpulan Mgr. Robertus Rubiyatmoko.
Yesus sebagai tokoh disrupsi itu sangat mencolok mata dan jelas.
Orang kusta yang dijauhi orang, eh malah didekati Yesus dan disembuhkan. Si pemungut cukai bernama Zakeus dia sapa dan malah berkenan singgah di rumahnya.
Menghadapi berbagai perubahan zaman ini, demikian kesimpulan Mgr. Rubiyatmoko, Gereja Katolik perlu belajar dan meneladan Yesus sendiri.
Yakni, senantiasa tetap rendah hati, mampu “menyesuaikan diri” (adaptif), tapi juga harus bisa menemukan inovasi secara tepat-benar dan tidak salah (diskretif). (Berlanjut)