Home BERITA Dolan ke Probolinggo bersama Forsino (Forum Komunikasi Realino)

Dolan ke Probolinggo bersama Forsino (Forum Komunikasi Realino)

1
Reunian Forsino di Probolinggo. (Ist

JUMAT pagi, 23 Agustus 2019, suasana peron Stasiun Lempuyangwan Yogyakarta sangat riuh.

Stasiun Lempuyangan adalah stasiun kereta api kelas besar tipe B, yang terletak pada ketinggian +114 meter. Ini diresmikan pada tanggal 2 Maret 1872 oleh perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), sebagai titik akhir jalur kereta api rute Semarang–Solo–Yogyakarta.

Apa yang menarik?

Pagi itu, saya mengantar kaos, tiket KA, dan nasi dus sebagai konsumsi untuk 17 orang Forsinowan senior. Saat saya mengangkut perbekalan tersebut, saya jadi ingat bahwa pembangunan stasiun Lempuyangan ini dilatarbelakangi oleh kebijakan pengangkutan gula, dengan menggunakan moda transportasi kereta api, terlebih karena pada dekade 1870-an telah banyak industri gula bermunculan di Yogyakarta, yang kesemuanya dikelola oleh Kolonial Belanda.

Nama stasiun ini berasal dari nama kampung yang terletak di selatan stasiun, yakni Kampung Tegal Lempuyangan dan dijadikan sebagai stasiun keberangkatan KA kelas ekonomi dari Yogyakarta, yaitu KA Progo jurusan Jakarta Pasar Senen dan KA Sri Tanjung jurusan Banyuwangi.

Bertolak dari Stasiun KA Lempuyangan.

Pagi itu, saya mengantar perbekalan untuk para Forsinowan penumpang KA Sri Tanjung, yaitu:

  • Bapak FX Ronny Dwi Agusulistyo (SeV 79, dosen USD).
  • Bapak Thomas Dicky Hastjarjo (SeV 67, guru besar FPsi UGM).
  • Bapak Eduardus Bambang Susetyo (SeV 82).
  • Bapak Robertus Setiawan (SeV 67, dokter hewan Wonosari).
  • Bapak Jacobus Joseph Lelyemin (SeV 82, arsitek) dan isterinya Ny. Servatia Herlina.
  • Bapak C. Agus Haryanto (SeV 76, wiraswastawan).
  • Bapak Frans Bunandi (SeV 68, wiraswastawan).
  • Bapak Leonard M.H. Hutapea (SeV 82, Lurah Bumijo).
  • Bapak Agus Sujono (SeV 67, dosen UNS) dan isterinya Ny. Enny MS.
  • Bapak August Tristiyono (SeV 81, pensiunan banker nasional).
  • Bapak FX Eddy Arinto (SeV 75, dosen UJAY) dan isterinya Marie Ning Murdiyanti (arsitek).

Para Forsinowan yang sudah saya belikan tiketnya, tetapi batal berangkat adalah Bapak Gunawan Hari Sutopo (SeV 80), Bapak Suyoto HS (SeV 65) dan isteri Ny. Dwi Setyowati Suyoto, Bapak Apriadi Ujiarso (SeV 84) teman seangkatan saya, dan Bapak Bambang Trenggono (SeV 67).

Para bapak tersebut adalah anggota Forsino (Forum Komunikasi Realino), yaitu asosiasi dari para mantan penghuni Realino.

Realino adalah nama asrama untuk mahasiswa Indonesia, yang dikelola oleh para pastor Jesuit. Didirikan pada tahun 1952 di Yogyakarta, asrama mahasiswa akhirnya ditutup pada tahun 1991.

Totalnya telah menampung sekitar 1.400 orang dalam waktu 39 tahun keberadaannya dengan slogan “Sapientia et Virtus” (kebijaksanan dan keutamaan), sehingga tahun masuk setiap warganya ditulis di belakang huruf SeV.

Tujuan pendirian asrama adalah untuk mendidik mahasiswa Indonesia pada saat NKRI yang relatif masih muda, untuk hidup dalam lingkungan komunitas Indonesia kecil yang nyata, atau Bangsa Indonesia kecil.

Warga asrama terdiri dari mahasiswa dari berbagai latar belakang etnik, agama, dan lintas disiplin, dengan mempraktikkan moto Bangsa Indonesia “Diversity in Unity”.

Para Forsinowan tersebut akan menghadiri reuni akbar Realino di BJBR (Bee Jay Bakau Resort) Probolinggo, Jawa Timur, sedangkan saya akan menyusul naik bis PATAS pada siang hari, setelah isteri saya pulang bekerja.

Setelah melepas semua Forsinowan dalam lambaian tangan diiringi suara gesekan roda besi KA Sri Tanjung di atas rel, saya langsung bergegas pulang, untuk bersiap visite pasien di RS Panti Rapih dan mengemas barang.

Setelah makan siang, akhirnya kami naik bis Cepat EKA dari Terminal Giwangan Yogyakarta, tepatnya di Jalan Imogiri Timur Km 6, di dekat perbatasan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul.

Terminal Bis Giwangan merupakan terminal tipe A terbesar di Indonesia yang merupakan tempat singgah bus dari seluruh kota besar di Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Terminal ini diresmikan pada tanggal 10 Oktober 2004, dengan rata-rata jumlah penumpang yang dilayani berkisar 20.000 per hari, sedangkan jumlah bus yang melaluinya, berdatangan maupun bertujuan ke provinsi lain, mencapai 850 buah per hari.

Bis Cepat EKA jurusan Purwokerto Surabaya PP yang kami naiki adalah sebuah bis Hino new RN 285 air suspension berplat nomer Sidoarjo, yaitu S 7853 US, berangkat pk. 13.10 ke Surabaya bertarif Rp. 105 K/orang.

Bis ini sempat masuk Tol Trans Jawa di gerbang Karanganyar dan keluar di gerbang tol Sragen, dengan beristirahat makan malam di RM Duta Ngawi pk. 17.35, dan lewat Kota Madiun yang ramai dan setelah menempuh 325 km, kami mencapai Terminal Purabaya, atau lebih populer dengan nama Terminal Bungurasih di Surabaya pada tengah malam.

Naik bus AKAP ke Bungurasih Surabaya.

Terminal Bis Purubaya merupakan terminal bus tersibuk di Indonesia, dengan jumlah penumpang hingga 120.000 per hari, dan merupakan terminal bus terbesar di Asia Tenggara. Terminal ini berada di luar perbatasan Kota Surabaya, tepatnya berada di Desa Bungurasih, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Terminal ini melayani rute jarak dekat, menengah, dan jauh AKAP (Antar Kota Antar Provinsi).

 Pada saat beristirahat sejenak di Terminal Bis Purubaya pada pergantian hari Jumat ke Sabtu, 23 Agustus 2019, saya jadi teringat akan Peraturan Asrama Realino  yang diterbitkan Tahun 1957.

Kata-katanya jelas, yaitu MUKADIMAH:

“Dengan ini kami, penghuni Asrama Mahasiswa Realino yang sedang mempersiapkan diri untuk masyarakat Indonesia dengan tugas tertentu, terutama belajar dan memperkembangkan diri sebaik-baiknya, karena sadar dan insaf akan perlunya dan adanya suatu pegangan dalam kekeluangaan kami, menyatakan mengakui sebagai asas dan dasar Asrama Realino adalah Ketuhanan yang Maha Esa dan Rasa tanggungjawab terhadap kepentingan dan kebaikan sesama teman, di dalam asrama khususnya dan terhadap sesama manusia umumnya.”

Detil isi aturan sudah lupa, tetapi saya masih ingat akan hal tidur sesudah makan siang sampai pk. 16. Tidur malam mulal pk. 22 dan sesudah pk. 23 semua lampu harus dipadamkan. Pada pk. 05.30 dan pk. 16 tanda bangun dibunyikan.

Kemudian saya juga ingat hal makan pagi pk. 06-7.30, siang pk. 12.30-13.30, dan malam pk. 19.30-20.30. Di sela-sela itu ada kesempatan untuk minum teh pk. 10–11.30 dan pk. 16-17.30. Warga asrama yang terlambat datang di ruang makan karena alasan apa pun, wajib menanti gelombang pertama selesai makan.

Bila ada mahasiswa yang tidak dapat hadir makan, hendaknya memberitahu terlebih dahulu kepada Pemimpin.   

Segera kami melanjutkan perjalanan dari Terminal Bis Purubaya, naik Bis PATAS Surabaya Jember. Pada pagi buta itu, suasana terminal dan bis tetap ramai penumpang.

Bis PATAS AKAS RK keluar dari gerbang Terminal Purubaya Surabaya dengan kecepatan sedang, masuk ke Gerbang Tol Sidoarjo, yang merupakan bagian dari Jalan Tol Trans-Jawa. Tol trans-Jawa sepanjang ±1.000 kilometer tersebut  termasuk dalam Asian Highway 2 (AH2) atau Jaringan Jalan Asia yang menghubungkan Asia dari Denpasar, Bali, Indonesia hingga Khosravi di Iran.

Pada tanggal 20 Desember 2018, Jakarta dan Surabaya resmi tersambung dengan jalan tol ini. Kami memasuki jalan tol di Solo, lanjut menuju Kertosono dan Mojokerto, terus ke utara menuju Surabaya. Dari situ kembali ke arah Gempol, keluar tol menuju Probolinggo.

Reunian bersama para alumni Asrama Realino.

Di dalam bis yang melaju di atas ruas tol itu, saya kembali teringat akan kehadiran Asrama Realino (1952–1991) yang tidak dapat lepas dari pergumulan yang dialami oleh UNGM (Universitas Nasional Gadjah Mada), yang sekarang disebut UGM.

Realino dan UGM lahir dalam kancah revolusi kemerdekaan, meski tanpa fasilitas yang memadai, tetap dengan semangat yang menggelora.

Ruang kuliah UGM dipinjami oleh Sultan Hamengku Buwono IX, terpencar dari Ngasem dan Pagelaran sampai Jetis. Mahasiswanya pun hanya beberapa ribu, tetapi sudah kewalahan mencari pondokan.

Sebenarnya, saat itu Yogyakarta sebagai “kota pelajar” belum siap menjadi “kota universitas”.

Dalam situasi sederhana penuh tantangan seperti itulah REALINO lahir. Para pastor memohon kepada ‘Rama Kanjeng’ Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (Uskup Agung Semarang) agar didirikan asrama untuk mahasiswa Katolik.

Pada tahun 1952 Pastor Yoop Beek SJ ditunjuk menjadi Pator Mahasiswa Yogyakarta, Direktur Kongregasi Maria Mahasiswa dan Moderator PMKRI sambil memulai suatu asrama untuk mahasiswa Katolik.

Dengan dibantu oleh Bruder Yakobus van Zon SJ, Pastor Beek mengelola asrama Realino menggunakan separuh gedung di Jl. Code (sekarang disebut Jl. Amat Jajzuli) No. 2 Kotabaru, Yogyakarta yang bagian utaranya digunakan untuk Seminari Tinggi.

Di gedung itulah, pada tanggal 3 Juli 1952, ASRAMA MAHASISWA REALINO mulai membuka pintu bagi 34 mahasiswa UNGM sebagai angkatan pertarna.

Sejak tahun 1947 ketika ia bersama Yohanes de Britto SJ dinyatakan orang kudus dan diberi gelar ‘Santo’, umat Katolik pada tanggal 3 Juli itu memperingati Bernardinus Realino SJ (1530-1616).

Ia seorang Italia, yang semula menjadi seorang sarjana hukum cerdas dengan sukses meniti karirnya. Pada umur 34 tahun, selaku pejabat dan pemerintah kota Ferrara, ia sudah dinilai begitu ‘bijaksana’ hingga diutus mewakili kotanya dalam perundingan dengan kota Napoli.

Sukaria bersama.

Di sana ia bertemu dengan Ignatius dari Loyola Spanyol, yang mengajaknya menjalani Latihan Rohani. Realino menemukan arah “kebijakannya’: ia masuk Ordo Serikat Jesus, menjadi imam, rektor, pelayan umat yang tak kenal lelah

Pada tahun 1956 “ASRAMA REALINO UNTUK MAHASISWA UNGM” pindah ke bangunan baru di Jl. Gejayan, Mrican, Sleman DIY dan melandaskan peraturannya pada:

  • Ketuhanan Yang Maha Esa dan
  • Rasa Tanggungjawab, seperti penuh semangat suci dirumuskan dalam MUKADIMAH (lihat hal. 11).

Dengan demikian, REALINO menjunjung tinggi PANCASILA sebagai ‘asas tunggal’ jauh sebelum diundangkan oleh Pemerintah Indonesia.

‘Kerukunan umat beragama’ pun dihayati benar, misalnya dalan ibadah puasa Ramadhan dinjamin bahwa para warga yang melaksanakannya dapat (bangun dan) ‘sahur’ dan ‘buka puasa’ pada waktunya.

Di kompleks Jl. Gejayan itu para warga asrama menempati dua unit, masing-masing disebut Villa Utara dan Villa Selatan dengan 20 kamar berukuran 4 x 4 m, untuk 3 orang mahasiswa yang berbeda agama, suku dan fakultasnya.

Sebuah pelaksanaan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sistim ‘pengurus’ dan ‘ketua kamar’, dengan 3 orang warga setiap kamar disebut anak buah (warga baru masuk), kakak buah (pertengahan) dan bapak buah (paling senior), sehingga memungkinkan latihan kepemimpinan dan mengesankan adanya ‘demokrasi’.

Gembira bersama.

Asrama REALINO pada tahun 1962 mulai mempunyai kelompok koor atau paduan suara, bahkan juga suatu grup orkes.

REALINO lahir dan bertumbuh dalam masa ‘Orde Lama’, dipacu oleh retorik Bung Karno yang menuntut kita berpikir ‘progresif revolusioner’.

Mungkin gagasan Pater Beek sebenarnya juga sedikit terlalu maju dan berani. Konsepnya tentang ‘Kerasulan Intelektual’ melalui asrama yang serba terbuka dan penuh dialog.

Usaha itu dilanjutkan oleh pemimpin ke-5, Pastor Johan Casutt SJ (1967-1971) yang memberi impuls baru melalui proyek kerjasama REALINO-UGM, yakni pembuatan saluran air minum di lereng Gunung Merapi.

Projek ini memberi inspirasi terbentuknya LSM “Dian Desa”, dan juga mempengaruhi pelaksanaan program KKN di semua perguruan tinggi. Prestasi ini sesuai dengan tujuan Realino semula didirikan, yakni menunjang, menggenapi dan ‘menggarami’ dunia perguruan tinggi di Yogyakarta dan sekitarnya.

Sejak tahun 1971 itu asrama Realino tidak terbatas untuk mahasiswa UGM saja, tetapi juga terbuka untuk IKIP Negeri Karangmalang yang sekarang disebut UNY (Universitas Negeri Yogyakarta).

Selain itu, IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma mulai 1974, UAJY (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) sejak tahun 1976, UPN (Universitas Pembangunan Nasional) Veteran mulai tahun 1980, dan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta mulai tahun 1988, mahasiswanya dapat mmenjadi warga Asrama Realino.

Asrama Realino tetap terjaga perannya sebagai lembaga pendidikan, yang melatih para penghuni untuk hidup tertib dan bertanggungjawab, yaitu melalui aneka kegiatan wajib seperti RDC (Realino Discussion Club), fungsi ‘bapak buah’ dan khususnya interaksi antara suku, agama dan disiplin ilmu dan kampus PT yang berbeda-beda.

Semuanya diatur untuk usaha menggembleng para warga menjadi calon pemimpin yang “berpengetahuan luas, berpendidikan tinggi, bertanggungjawab, dan berguna bagi masyarakat”.

Setelah bergulat dengan semua pergolakan, tantangan dan dinamika dalam aspek pendidikan, kehidupan, dan kepemimpinan mahasiswa DIY, pada hari Sabtu, 30 Juni 1991, ASRAMA MAHASISWA REALINO secara resmi ditutup. Pada malam itu, dibacakan puisi perpisahan: “ada malam rembulan di balik awan, ada realino membara dalam kenangan  yang penuh harapan’.

Karya pembinaan generasi muda yang selama 39 tahun telah berdampak sebagus itu, digagas tidak boleh pupus dengan begitu saja, tetapi harus mengalami peningkatan sebagai bagian integral dan proyek pelayanan akademik lebih menyeluruh, sehingga diteruskan oleh karya baru yang secara resmi dinamakan LEMBAGA STUDI REALINO, di bawah koordinasi USD Yogyakarta.

Namun demikian, para mantan warega Asrama Mahasiswa Realino tetapi bertumbuh dalam kesatuan baru yang disebut Forsino (Forum Komunikasi Realino), yang dalam usianya yang semakin senja, tetapi ingin memberikan sumbangsih bagi negeri.

Misi Forsino adalah menggali dan mensosialisasikan nilai-nilai Sapientia et Virtus (kebijaksanaan dan keutamaan), mempersiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin bangsa, mewujudkan kepedulian kepada mereka yang kurang beruntung, dan mempererat kebersamaan sesama alumni.

Salah satu kegiatannya adalah reuni setiap 2 tahun dan pada tahun 2019 ini akan diselenggarakan di Probolinggo, Jawa Timur.

Malam itu kami masih tetap terjaga di atas roda bis PATAS Suarabaya Jember, saat mengingat terpilihnya kembali Jokowi menjadi presiden periode 2019-2024, karena memberikan kepastian berlanjutnya program pembangunan infrastruktur yang mengkoneksikan jalur-jalur perekonomian, termasuk Probolinggo.

Pembangunan infrastruktur jalan adalah salah satu ikhtiar pencapaian tujuan pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pada tataran teknis, tujuan pembangunan masih meneruskan nomenklatur Millenium Development Goals (MDGs) dengan menerapkan konsep Sustainable Development Goals (SDGs).

Pada hari Sabtu, 24 Agustus 2109 menjelang pk. 1 dini hari, bis kami meluncur keluar dari pintu tol Probolinggo Barat.

Kosakata “Probolinggo”

Kota Probolinggo terletak sekitar 100 km sebelah tenggara Surabaya, ibukota Jawa Timur, yang kami tempuh tidak sampai 1 jam.

Probo dalam bahasa Sanskerta berarti sinar, sedang Lingga berarti tanda, dalam hal ini adalah tanda perdamaian.

Pada zaman Pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) raja Majapahit yang ke IV (1350-1389), Probolinggo dikenal dengan nama “Banger”, nama sungai yang mengalir di tengah daerah Banger ini.

Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”.

Pada tahun 1746, VOC Belanda mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo”.

Kota Probolinggo merupakan daerah transit yang menghubungkan kota-kota di sebelah timur, yaitu Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dengan kota-kota di sebelah barat, yaitu  Pasuruan, Malang, dan Surabaya.

Setelah berkoordinasi dengan para panitia dan senior di WAG Forsino, kami segera turun di terminal bis Probolinggo, berjalan kaki keluar ke pinggir jalan, serta menunggu di sebuah gerai Indomaret yang masih padat pengunjung pada dini hari itu.

Segera kami bergabung dalam sebuah bis pariwisata, bersama sekitar 60 orang warga Forsino yang masih terkantuk dan kedinginan, untuk menuju ke area pendakian Gunung Bromo.

Nama Gunung Bromo berasal dari bahasa Sanskerta: Brahma, yaitu salah seorang Dewa Utama dalam agama Hindu, atau dalam bahasa Tengger dieja “Brama”, adalah sebuah gunung berapi aktif di Jawa Timur.

Gunung Bromo

Gunung ini memiliki ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut dan berada dalam empat wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang.

Gunung Bromo terkenal sebagai objek wisata utama di Jawa Timur dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Sebagai sebuah objek wisata, Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.

Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.

Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Setelah kami mencapai areal parker di samping Polsek Sukapura di lereng Gunung Bromo, segera kami dibagi ke dalam 18 buah Jeep 4×4 Toyota Land Cruiser Hard Top atau pun Daihatsu TAFT, menuju ke lokasi berikutnya. Malam itu hampir sekitar 1250 buah Jeep dan 261 sepeda motor secara bersama-sama mendaki punggung gunung.

Kami turun dari Jeep Daihatsu TAFT di spot Dingklik, lanjut naik ojek motor dengan 2 orang penumpang sekligus, mendaki ke pos Penanjakan 1. Kemacetan lalu lintas karena padatnya pengunjung, membuat kami berdebar dalam jalan zig zag yang mendaki, oleh pengojek lokal warga Tengger, yang dapat kami kenali dari logatnya bicara, kain sarung yang dikenakan di wajah, bukan di pantat dan pipinya yang kemerahan karena hemokonsentrasi adaptif.

Setelah melawan hembusan angin dingin pada suhu 3 derajad, juga mengambil foto panoramik Gunung Bromo, Batok dan Semeru yang ikonik, kami bergegas turun gunung.

Perjalanan kami menuju area pasir berbisik, sebuah dataran luas dengan pasir vulkanik yang terhampar sangat luas, sangat menantang adrenalin bagi pengemudi dan penumpang. Kami segera berkumpul untuk melakukan flashmob yang direkam dari semua sisi, termasuk menggunakan drone, untuk menunjukkan kekompakkan Keluarga Besar Forsino Nusantara.

Kami segera menuju Bukit Teletubbies di samping Kawah Bromo, untuk melakukan sesi dokumentasi dengan Gunung Batok yang ikonik dan Jeep yang berjajar, sebagai bagian dari panorama wajib.  Selanjutnya kami segera kembali ke bis di dekat Polsek Sukapura, untuk menuju areal reuni di dalam Kota Probolinggo.

 Reuni Realino 2019 yang sudah dibuka saat kami sedang memulai perjalanan dari Yogyakarta, diselenggrakan di Bee Jay Bakau Resort (BJBR), di Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Berawal dari kawasan bakau yang dipenuhi oleh sampah dengan bau yang menyengat, kini kawasan ini telah disulap menjadi kawasan ekowisata yang sangat indah.

BJBR atau Mangrove BeeJay Bakau Resort yang merupakan sebuah wisata hutan bakau, dengan luas 5 hektar dan terletak di pesisir pantai Probolinggo, di dekat Pelabuhan Mayangan.

BeeJay Bakau Resort ini tidak hanya menawarkan eksotisnya hutan bakau.

Setelah berkumpul dalam kemeriahan, kami segera santap pertengahan pagi dan siang (breanch) pada hari Sabtu, 24 Agustus 2019. Santap breanch itu kami selengi dengan sesi foto bersama, karena Prof. DR. Mardiasmo, Akt, SeV 79 yang saat ini menjabat Wakil Menteri Keuangan RI, telah hadir di BJBR, yang juga memiliki Mejangan Bakau Beach.

Atau zona pantai pasir buatan seluas 8.000 m2 yang dilengkapi dengan berbagai wahana bagi wisatawan.

Wahana Bee Jay Bakau Resort di antaranya flying fox, waterboom, watersplash, Futsal Pantai dan voli pantai. Juga ada fasilitas lain seperti Fantasy Land, The Caterpillar, Gedung Serba Guna, Rest-O-Tent Resto, Kafe Tenda, Kedai Digital BJ Mart, dan Mushola.

Sedangkan untuk ekowisatanya ada Study Lingkungan, Outbond Pantai, Ekowisata Bakau, Ladang Bunga Matahari dan banyak lagi yang lainya. Wisatawan juga dapat menyusuri Lorong Seribu Payung dan Jalur Bersepeda.

Setelah selesai santap breanch, kami memasuki sesi bebas yang kami gunakan untuk menikmati fasilitas yang ikonik BJBR, yaitu patung kuda raksasa yang terbuat dari bagian luar kayu kelapa. Patung kuda itu dinamai Kuda Cipta Wilaha yang terinspirasi dari mitologi Yunani.

Wisatawan juga dapat berfoto dari atas patung kuda ini dengan naik melewati tangga di sisi belakang. BeeJay Bakau Resort masih memiliki spot foto instagramable seperti Spot Gembok Cinta, Piramida BJBR dari kumpulan botol bekas dengan kolam yang berisi ikan hiu hidup.

Selanjutnya kami masuk bungalouw di Griya Hinggil 2 kamar atas, untuk mandi dan beristirahat.

Setelah puas beristirahat dan mandi sore, segera kami kembali ke area reuni di dalam resto, yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki menyusuri jalanan dari kayu kelapa di atas air laut.

Dalam hembusan angina laut di sela-sela pohon bakau, kami harus menempuh hamper 100 m dari bungalow ke resto, untuk makan siang dan mengobrol dengan para peserta reuni Realino.

Dari sekitar 102 orang peserta, sebagian besar sempat menikmati spot foto di hutan bakau yang juga bagus, karena merupakan jalur pejalan kaki dari papan kayu, yang melewati kawasan hutan bakau.

Tepat pk. 16 dimulai acara RDC (Realino Discussion Club) yang dipimpin oleh Mas Budiman Tanurejo (SeV 83), Wakil Pemimpin Umum KKG (Kelompok Kompas Gramedia Group) dan host acara Satu Meja di Kompas TV.

RDC menampilkan topik Medis oleh Dr. Iwan Kristian, SpBD dari FK UNAIR Siurabaya (SeV 82) dan topik Kebijakan oleh Prof. Mardiasmo. Acara yang santai tetapi berbobot tersebut, diakhiri untuk istirahat sore dan sholat mahrib.

Setelah acara makan malam, acara reuni dilanjutkan dengan sesi kesenian, karaoke, polonice, joget poco-poco dan diakhiri dengan pemilihan pengurus Forsino periode selanjutnya. Mas Yohanes Turyanro SeV86 terpiliha menjadi Ketua Pengurus dan akan menyelenggarakan reuni selanjutnya di tahun 2021 di Yogyakarta.

Malam itu kami segera menikmati jalan-jalan dalam hembusan hawa di lokasi resort yang sangat nyaman. Lebih indah lagi pada malam hari, karena pengunjung akan serasa berjalan di atas lampu laser. Juga ada Globe BJBR yang tidak kalah indah dibandingkan Singapura, karena air dingin murni yang mengalir dan dapat digunakan untuk terapi kesehatan.

Spot foto kekinian lainnya ada Ikon I Love BJBR, Lampion Karakter, Lukisan 3D dan Foto Booth. Bee Jay Bakau Resort juga menyediakan wahana Becak Wisata dan Perahu Catamaran. Dengan wahana ini wisatawan dapat puas menikmati keindahan area hutan bakau di BJBR.

Rombongan Forsinowan dan keluarga, sebelum berangkat misa kudus hari Minggu pagi

Minggu pagi, 25 Agustus 2019, kami segera bangun dalam bugar untuk menikmati matahari terbit di ufuk laut, dengan Patung Kuda Cipta Wilaha sebagai latar depan. Segera kami naik bis Pariwisata, yang mengalami banyak kendala aur, karena adanya sesi car free day, untuk mencapai Gereja Katolik Maria Bunda Karmel.

Diselingi berjalan kaki sambal berlari karena bis tidak dapat mencapai areal gereja dalam car free day zone, kami memasuki gerbang gereja yang digunakan sejak dan 24 Februari 1944 dan beralamat di Jl. Suroyo No. 5, Probolinggo, Jawa Timur.

Meskipun sedikit terlambat mengikuti misa kudus hari Minggu dan dalam keringat yang tertahan karena AC yang telah terpasang, kami tetap mampu menikmati Gereja Maria Bunda Karmel yang mempunyai konsep filosofis agak berbeda dengan Gereja Katolik yang lain, tetapi tetap berpedoman pada liturgi Gereja Katolik sesuai dengan Konsili Vatikan II.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ‘metaphore intangible’, baik dalam bentuk bangunan ataupun seragam liturgi para petugas yang lebih formal, yaitu jas dan rompi.

Setelah misa kudus yang dipimpin oleh Romo Toto Hartaja SJ (SeV 74), kami sempatkan berfoto bersama dengan Pastor Paroki Maria Bunda Karmel Probolinggo, Romo Hugo Sudiyanto O.Carm, di depan gerbang gereja.

Kami segera bergegas kembali ke BJBR, untuk menikmati sarapan menu khusus, yaitu ikan baronang hitam dalam olahan tangan dingin Bang Benjamin Mangitung (SeV 76), owner BJBR yang penuh semangat dan baik hati.

 Kami bersama 106 penumpang dalam sebuah gerbong kelas ekonomi Di KA Ekonomi Sri Tanjung yang meninggalkan Probolinggo.

Selanjutnya kami diantar ke Stasiun Probolinggo, bersama ke 14 orang peserta dari Yogyakarta, untuk naik KA Ekonomi Sri Tanjung dari Banyuwangi, pulang kembali ke Stasiun Lempuyangan Yogyakarta, melalui Stasiun Gubeng, Surabaya dan akan tiba di tujuan hari Minggu, 25 Agustus 2019, pk. 19.30

Terima kasih atas semua kebersamaan, dukungan dan koordinasi semua pihak, sehingga acara Reuni Realino 2019 dapat kami ikuti. Sampai jumpa dalam petualangan dan reuni selanjutnya.

Ditulis di kursi 22D Gerbong D KA Ekonomi Sri Tanjung, yang melaju di atas rel meninggalkan Stasiun Probolinggo Jawa Timur.

Salam kompak SeV

-wikan

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version