PELBAGAI kebiasaan dan adat di dunia mengajarkan supaya orang bersikap ramah terhadap tamu. Ada pelbagai bentuk dan cara dalam melakukannya.
Menjamu tamu dengan santapan yang lezat sering dilakukan. Lihatlah bagaimana tamu-tamu negara diperlakukan. Di samping itu, berbincang-bincang dengan sang tamu bisa menjadi ungkapan rasa hormat dalam menyambut tamu.
Sikap ramah tamah membuka ruang bagi seorang asing untuk menjadi sahabat dan mengundang berkat.
Itulah yang kita baca dalam liturgi sabda hari ini (Kej 18: 1-10ab; Luk 10: 38-42).
Abraham secara ramah menyambut tiga orang asing dan menjamu mereka. Sikap itu mendatangkan berkat baginya yang belum punya keturunan.
“Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan dan mendapatkan engkau. Pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki.” (Kej 18: 10ab).
Demikian kata sang tamu kepada Abraham.
Injil Lukas menceritakan tentang Marta dan Maria yang menyambut Yesus ketika Dia berkunjung ke rumah mereka. Marta sibuk melayani, sedangkan Maria duduk mendengarkan Yesus.
Banyak yang mempertentangkan dua cara menyambut tamu itu. Para aktivis dan pekerja memuji Marta. Sedangkan kaum kontemplatif lebih mengapresiasi sikap Maria.
Perlukah keduanya dipertentangkan? Bukankah keduanya menunjukkan sikap terbuka dan apresiatif terhadap sang tamu? Bukankah keduanya menjadi sahabat Yesus?
Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk menjadi tuan rumah yang baik. Siapakah tamu utama yang sering mengetuk rumah kita dan ingin masuk (Why 3:20)?
Tuhanlah tamu kita. Bagaimanakah kita menyambut-Nya?
Sudahkah kita menjadi tuan rumah yang ramah?
Minggu, 17 Juli 2022