KISAH panggilan Nantes kecil itu berawal di masa kanak-kanaknya.
Ia lahir sebagai anak sulung dengan tujuh bersaudara; buah cinta pasangan Bpk. Homer Nantes dan Ny. Juanita Caguiat.
Kedua orangtuanya bekerja sebagai pegawai bank milik pemerintah bernama Central Bank of the Philippines – mirip Bank Indonesia (BI) di Indonesia. “Ayah bekerja sebagai analis di Central Bank of the Philippines,sedangkan mama bekerja di bagian Economic Research Department. Mereka berdua bekerja di bank yang sama,” ungkapnya.
SD Dominikan Filipina
Sudah di awal tahun 1960-an, Nantes sudah bersekolah di Sekolah Dasar bernama Colegio de San Juan de Letran di Manila (1960-1971) milik Ordo Dominikan.
“Sekolah kami dekat dengan pusat kantor di mana orangtua bekerja, supaya satu arah kalau kami pergi ke sekolah,” ungkapnya seraya menerangkan lebih lanjut bahwa siswa mayoritas yang bersekolah di situ adalah orang Spanyol.
Penyuka olahraga renang yang lahir di Manila pada tanggal 3 Juli 1954 ini mengatakan bahwa di sekolah yang berdiri tahun 1620 tersebut jumlah pastor Dominikan asal Eropa yang menjadi tenaga pengajar lebih dari 20 orang.
“Ketika mereka keluar dari refter dengan jubah putih panjang, wah saya kagok dengan tampang wajah brewokan dan badan besar-besar, namun sekaligus mempesona,” ujarnya, terkekeh.
“Tapi hanya itu sekilas exposure saya sebagai anak kecil dengan para pastor Dominikan, karena belum mengerti juga, belum sampai pada tahap ada rasa tertarik untuk menjadi seperti mereka,” ungkapnya mengingat masa kecil.
Retret sekolah
Satu pengalaman menarik bagi Nantes kecil terjadi ketika ia mengikuti retret sekolah. Pengalaman yang sungguh mengesankan baginya adalah suasana hening yang diwujudkan dengan “pantang ngomong”.
Ternyata itu berlanjut di rumah.
Bahkan ketika pulang ke rumah, ia harus berlatih ‘mengunci’ mulutnya rapat-rapat agar jangan sampai ada percakapan “harus lapor” dengan orangtua dan saudara-saudarinya.
“Mamma mia … saya betul-betul tidak boleh omong dengan orangtua, ketika pulang ke rumah. Suasana hening betul-betul dijaga ketat, silentium magnum,” ungkapnya disertai gelak tawa lepas.
Bergaul dengan Frater Dominikan
Ketika menginjak masa remaja, relasi persahabatan dengan para pastor Dominikan tetap terjalin baik. Sebagai orang muda pada umumnya, Nantes kerap mengikuti kegiatan rohani yang diampu oleh para frater Dominikan.
“Para frater dari Santo Domingo ini sering mengadakan aksi panggilan untuk kaum muda dan mahasiswa. Mereka juga mengadakan seminar tentang kepemimpinan dan banyak teman sekelas saya juga mengikutinya,” ungkapnya.
Ikatan emosional yang terjalin sangat erat dengan para frater membuat ia sering berkunjung ke Biara Santo Domingo.
“Ketika tidak ada kuliah, saya pasti berkunjung ke biara. Dan saya sering ikut pelayanan para frater untuk orang miskin, gelandangan dan para pecandu narkoba. Selain itu ada rekreasi juga misalnya ke hutan dan nonton film dan dengan itu saya merasa senang,” ungkapnya.
Cita-cita menjadi dokter
Pengalaman berpastoral bersama para frater Dominikan yakni berinteraksi dengan orang-orang kecil, miskin dan para pecandu narkoba, membuat Nantes muda tergerakuntuk membaktikan diri dalam pelayanan kemanusiaan ini.
“Selain masuk semacam gerakan mahasiswa katolik bernama Student Catholic Action (SCA)untuk menolong orang lain, saya juga bergabung masuk kelompok Confraternity of Christian Doctrine (CDD) di mana kami mengajar katekese kepada orang miskin. Saya menyukai kegiatan ini. Oleh karena itu, saya ingin membaktikan diri, tetapi saat itu belum terpikirkan akan menjadi pastor,” ungkapnya seraya mengungkapkan waktu itu cita-citanya adalah menjadi dokter.
Belajar teologi di Universitas Santo Thomas
Semasa berstatus mahasiswa, demikian isiCurriculum Vitae-nya, Nantes cukup cemerlang dalam bidang akademik. Ia kerap menyabet predikat cum laude.
Sebagai mahasiswa di Universitas Santo Thomas, ia pun wajib belajar Summa Theologica.
“Bayangkan kami harus membaca Summa Theologica, belum lagi dosennya yang memiliki karakter strength … ha… ha…,” ungkapnya seraya mengingat “kengerian” studi teologi klasik pada masa itu.
Beruntung ia sudah terlebih dahulu membaca buku-buku karya St. Thomas Aquinas ini, ketika berkunjung ke biara Dominikan.
“Saya dipinjami buku Summa Theologica oleh para frater dan saya sudah sering membacanya sehingga saya punya nilai tertinggi. Dosen memuji saya, sehingga saya tertarik juga untuk belajar bahasa Latin,”ungkapnya.
Masuk Ordo Dominikan
Ketika ia mengungkapkan niatnya untuk belajar bahasa Latin, orangtuanya terkejut. Karena pandangan mereka bahwa yang mempelajari bahasa Latin adalah orang-orang yang mau menjadi imam.
“Orangtua saya waktu itu khawatir jangan-jangan saya mau menjadi imam. Sebab saya ini anak sulung dan punya beasiswa menjadi dokter,” ungkapnya.
Namun berkat dukungan sang kakek, akhirnya Nantes mendapat izin dari kedua orangtuanya untuk belajar bahasa Latin dan terlebih menjadi seorang pastor.
“Kakek saya adalah mantan frater dan beliau mendukung saya. Namun ia mengatakan demikian kepada saya: ‘Kalau engkau memang benar-benar ingin menjadi imam, maka jalanilah dan ingat jangan keluar’ dan itu meneguhkan,” ungkapnya meniru pesan terahkir mendiang kakeknya.
Itulah saat terkahir bagi Nantes berbicara dengan kakeknya, karena ketika sang kakek meninggal, ia sudah menjadi Novis Dominikan.
Persahabatan dengan para frater Dominikan membuat penyuka menu ikan patin masak tempoyak ini tertarik menjadi seperti mereka. Perkenalannya dengan para frater Dominikan-lah yang membelokkan panggilan dan cita-citanya yang awalnya ingin menjadi seorang dokter.
Sekedar tahu saja, tempoyak adalah “bumbu” menu khas masakan Dayak terbuat dari olah durian hasil fermentasi.
“Saya tidak menyangka bahwa saya akan menjadi Dominikan, karena saya ini orangnya pemalu. Namun para frater Dominikan kerap membisikan kata-kata ini kepada saya, “Mengapa kamu tidak menjadi pastor saja” dan itu juga meneguhkan,” ungkapnya.
Bisikan tersebut ternyata menggelitik di hatinya, untuk ikut kata hati menjawab panggilan Tuhan melalui Ordo Dominikan.
Akhirnya Nantes muda memulai masa Postulat pada tahun 1971. Satu tahun setelah itu ia pun lanjut ke jenjang formasi berikutnya yakni Novisiat pada tahun 1972.
Pada tahun 1973, ia mengikrarkan kaul kebiaraan untuk pertama kalinya. (Berlanjut)