ENTAH percaya atau tidak, ada opini yang mengatakan bahwa dalam masyrakat kita, ada budaya dalam keluarga yang selalu menempatkan anak bungsu sebagai anak yang diistimewakan oleh orang tua.
Apakah ini sebagai bentuk kecenderungan sikap manusia yang berorientasi kepada faktor pilih kasih karena didikte oleh rasa suka, atau dimotivasi oleh kesadaran lain?
Ini yang belum dipahami orang. Atau jangan-jangan sikap seperti itu, memang merupakan warisan dari sananya.
Pendapat lain lagi mengatakan, tidak hanya dalam kehidupan berumahtangga orang memiliki kecenderungan sikap seperti itu, tetapi dalam lingkaran kekuasaan dan lembaga rohani juga ada oknum yang memraktekkan sikap-sikap seperti itu.
Atau sangat mungkin sekali, jangan-jangan kita semua mempunyai kecenderungan seperti yang diopinikan oleh para pengamat tersebut.
Lantas, bagaimana pola kerja dari kecenderungan tersebut?
- Pola kerjanya pada tingkat keluarga,tampak dalam pemberian perhatian lebih atau khusus kepada anak tertentu, daripada anak yang lain.
- Pola kerjanya di wilayah lingkaran kekuasaan yang erat dengan birokrasi, tampak dalam perekrutan orang yang memiliki latar belakang kesamaan suku, agama, golongan, ras dan budaya untuk mengisi posisi yang kosong di bagian “kadis” tertentu. Di sana pengangkatan tenaga kerja tidak lagi didasarkan pada keahlian, tetapi semata-mata karena faktor “SARA”.
- Pola kerjanya di level lembaga rohani seperti Gereja Keuskupan, komunitas biara dan semacamnya hampir sama dengan yang terjadi pada lingkaran kekuasaan yang erat dengan birokrasi. Hanya di sini, ada sedikit tambahan yaitu, kecenderungan mengangkat orang-orang yang memiliki minat yang sama dan memilih orang satu angkatan dari sekolah yang sama untuk duduk di ring satu dan komisi-komisi yang ada.
Apa motivasi utama orang melakukan hal seperti itu?
- Di tingkat keluarga, pelaku melakukan hal itu sebagai upaya untuk mendapat imbalan balas jasa di hari tua. Kritikannya, kalau itu yang mau dituju oleh si pelaku, mengapa dia membuat anak lebih dari satu?
- Di level lingkaran kekuasaan dan lembaga rohani, pelaku melakukan hal seperti itu karena didesak dan didikte oleh rasa minder dan rendah diri terhadap keberadaan “SARA”-nya yang nasib hidup mereka berada distagnasi, sehingga ketika mempunyai kesempatan menjabat di birokrasi, dia berupaya mengangkat nama suku, agama, budaya dan ras pada level yang lebih tinggi dengan goal terakhir yaitu, pengakuan publik. Kritikannya, apakah upaya semacam ini, bisa menjamin orang untuk tidak melakukan KKN? Toh gelagat dan bau pelakunya sudah KKN.
- Di level lembaga rohani, pelaku melakuan hal itu, sangat mungkin sebagai bagian dari upaya menjaga hal-hal yang bersifat rahasia di internal Gereja. Kritikannya, apakah upaya pelaku dalam upayanya menjaga rahasia internal Gereja, tidak menimbulkan pertanyaan dan penafsiran dari luar?
Dalam penilaian moral Kristiani, kecenderungan manusiawi yang belum bisa membuahi sebuah tindakan belum bisa dinilai secara moral.
Moral Kristiani akan berperkara langsung dengan hasil kecenderungan manusia yang menyerupai tindakan yang merugikan orang lain.
Di sini, pilih kasih sudah masuk dalam penilaian moral Kristiani.
Mengapa? Karena sikap pilih kasih sudah merupakan sebuah tindakan yang diterapkan langsung pada pihak² yang dituju. Dan oleh moral sikap pilih kasih adalah tindakan yang secara sadar melawan dan mencederai martabat keadilan. Dan oleh Kitab Suci kita, hal ini sudah masuk dalam kategori dosa.
Sekarang, pertanyaan kita adalah, apakah sikap irihati dan kemarahan anak-anak Yakub yang lain kepada Yusuf, bisa kita sebut sebagai bentuk sikap perlawanan mereka terhadap sikap ketidakadilan yang dilakuan oleh bapa mereka Yakub terhadap mereka?
Orang bijak berkata, “Kalau kita tidak mau dibakar oleh irihati dan kemarahan, maka jangan mempermainkan kasih sebagai barang mainan”.
Jangan main-main api dengan kasih, nanti kita terbakar.
Renungan: Apakah Aku termasuk orang yang mempermainkan keadilan dengan tindakan pilih kasih?
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 22.03.2019