SEPINTAS kisah sahabatku. Katanya, “dulu ketika bercita-cita menjadi imam, yang muncul di kepala waktu itu adalah hal-hal yang indah dan menyenangkan.
Nyaris waktu itu tidak sedikit pun memikirkan hal-hal yang susah.
Namun, ketika mulai masuk formasi, studi dan menjadi imam, semakin ke sini semakin “gegana” (gelisah galau merana).”
Mengapa bisa begitu?
Karena setelah menjadi imam, kita sudah di utus di medan karya. Dan di medan karyalah imam memulai dan mengalami banyak hal.
Bila medannya “subur”, mungkin di sisi kenyamanan fasilitas bisa terjamin.
Akan tetapi, di sisi menu harian? Penyakit sedang menanti anda melalui makan, minum dan polusi udara. Belum lagi, penyakit lidah yaitu, gosip miring yang setiap
saat akan mengintai perilakumu dan ini akan menggerogoti psikis anda.
Bagaimana dengan medan karya di lahan yang tidak “subur”? Tetap saja ada plus minusnya.
Dari segi fasilitas listrik, media dan sinyal, pedalaman memang suram dan gelap. Akan tetapi, pedalaman menyediakan kenyamanan batin dan pikiran. Makan dan minum juga serba alami. Digosipin miring oleh ini dan itu juga, nggak seheboh di kota.
Sisi paling kelamnya berkarya di pedalaman adalah, anda akan bergaul sekaligus bergumul dengan medan karya yang sulit.
SDM umat yang terbatas, jalan lumpur dan banjir, panas dan dingin di hutan, kelelahan fisik berjalan kaki dan kehabisan tenaga menuntun motor di lumpur, tertidur di kubangan lumpur karena jatuh dari motor, masuk angin, lapar dan haus, masak dan cuci baju sendiri, kesepian, sakit pun jarang diperhatikan umat, teman dan atasan.
Berkarya di pedalaman serasa seperti nasib anak yang tidak diharapkan lahir oleh kedua orang tuanya. Jalan hidupnya seperti anak buangan yang mengalami nasib tinggal di pembuangan.
Seringkali kesan umat menyatakan bahwa imam itu anggun dan mulia saat di altar, tetapi saat di luar gereja dan saat bergumul sendirian, dia nyaris tidak tertangkap oleh kesan siapa pun.
Hanya iman menyatakan, satu-satunya orang yang bisa menerima dan memahami dia secara total adalah Allah sendiri. Pengalaman seperti ini, dulu sudah dialami oleh Tuhan Yesus.
Dia tidak hanya menanggung banyak derita, tetapi melalui dan dalam Dia penderitaan itu menjadi bagian dari hidup manusia yang saat ini, siap dia pukul setiap saat.
Dan kita tidak mungkin menolak hal itu. Kita tidak hanya siap menanggung derita, tetapi kita diharapkan juga menjadi guru derita.
Renungan: Apakah setiap derita yang aku pikul hanya berakhir dengan slogan “gegana”?
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 28.92019