DUNIA nyata menyebut begini, “Orang
kecil atau miskin kerap menjadi polemik keraguan bagi orang besar yang
mempunyai banyak pengaruh”.
Malah dalam banyak survei, “orang kecil” lebih condong percaya kepada kata-kata mereka yang mempunyai jabatan, kekuasaan dan uang.
Bahkan ada orang yang berslogan begini, “Hanya mereka yang punya uang yang bisa didengar orang, sedang mereka yang tidak mempunyai apa-apa, akan dianggap bukan siapa-siapa”.
Inilah kenyataan hidup yang dunia ini perlihatkan kekita.
Adalah Tuhan Yesus yang menyebut diri-Nya, bukan warga orang sini tetapi, oleh musuh-musuh-Nya Dia dinilai dengan cara berpikir orang dunia.
Musuh-musuh-Nya, mamandang Dia, sebagai bukan siapa-siapa.
Identitas keluarga asuh-Nya di Nasaret yang sangat sederhana dan sikap belarasa-Nya terhadap orang miskin, membuat ulama-ulama Yahudi mengelompokkan Dia dalam kawanan orang miskin.
Tatkala keraguan dan bahasa sindirian yang mereka alamatkan kepada-Nya, tidak lebih dari upaya mereka untuk mengolok-olok dan mempermalukan Dia di depan publik.
Setidaknya, di dalam kesadaran mereka yang tersembunyi tersimpan kata-kata,” Ah… Orang miskin sok belagu lu, tidak tahu diri”.
Rupanya, kemiskinan Tuhan Yesus itu, tidak hanya Dia menanggung malu diobok-obok oleh musuh-musuh-Nya, karena keberadaan pengetahuan dan ekonomi orang tua asuh-Nya tetapi, oleh dan melalui keadaan itu, kehadiran dan kata-kata-Nya bukan sesuatu yang berguna bagi mereka yang mapan dalam banyak hal.
Tidak mempunyai apa-apa saja, orang merasa hampa. Apalagi kalau pendapatnya tidak dianggap dan tidak didengarkan oleh orang lain, maka rasa malunya lebih hina lagi.
Padahal kalau dipikir menggunakan logika Tuhan Yesus adalah orang dunia yang mesti tahu diri dan malu.
Mengapa? Karena bagi Tuhan, manusia itu bukan apa-apa, dia cuma debu dan abu. Apa yang mau manusia banggakan di hadapan Tuhan?
Tidak ada. Tuhan paham bahwa manusia itu, sia-sia belaka.
Pemazmur berkata, “TUHAN mengetahui rancangan-rancangan manusia; sesungguhnya semuanya sia-sia belaka” (Mzm 94:11).
Malah bukan cuma manusia yang bernasib sia-sia tetapi, semua jerih payahnya di bawah kolong langit ini, ikut sia-sia bersama hidupnya.
Pengkhotbah berseru, “Aku telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, tetapi lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin” (Pkh 1:14).
Bila saat itu, mereka merenungkan kata-kata hikmat ini, kemungkinan hidup manusia sesudah mereka memiliki kisah yang indah bersama Tuhan Allah. Namun, faktanya berkata lain. Di tangan kita saat ini, hidup menjadi lebih serba hati-hati.
Renungan: Apa reaksiku soal kemiskinan?
Tuhan memberkati.