Tabuhan nomor-nomor gamelan seakan tak putus tersaji, tiga penari perempuan merespons tarian dengan nomor-nomor geraknya sedangkan tembang-tembang Jawa seperti “Ilir-Ilir”, “Caping Gunung”, dan “Sluku-Sluku Bathok” dilantunkan berturut-turut oleh penembangnya, Subiyanto sambil berdiri di tengah panggung.
Sejumlah anggota mereka hiruk pikuk menjaga dan mengawasi para penari yang ekstase. Bahkan Warsidi dengan gerak tarian kesurupan berjalan mendekati dua kenong di pojok panggung.
Keringat keluar dari tubuh mereka yang menari hingga ekstase itu. Sejumlah orang lainnya yang bertugas menjaga para penari yang ekstase itu pun ketularan kesurupan, beberapa penari perempuan juga mengalami hal serupa.
Terkesan bahwa tiga seniman yang ekstase dengan gerakan tariannya masing-masing, memimpin penari putri mementaskan tarian warok. Dengan masing-masing menggunakan kuda kepang para penari putri itu pun memberikan sajian “Warok Putri” di hadapan penonton, hingga akhirnya satu demi satu mereka yang ekstase disembuhkan dari kesurupan.
Sutanto yang juga budayawan itu menjelaskan bahwa hal mereka memasuki puncak ekstase –bukan ekstasi– melalui tarian petani itu sebagai bahan studi yang menarik. Para penari itu adalah pekerja keras, berbadan sehat, dan setiap hari bergelut secara akrab dengan alam pertanian gunungnya yang subur.
“Tetapi kesurupan ini tidak menjelaskan kekerasan sama sekali, ini berbeda dengan ’kesurupan’ ciu, bahkan tidak minum ciu pun di kota-kota membuat takut, kalau melihat orang membawa pedang dan pentungan di jalan-jalan,” katanya.
Pada kesempatan itu ia juga menjelaskan tentang pemahaman khalayak atas kesurupan yang selama ini dimengerti sebagai kerasukan setan dalam tarian tradisional.
“Tolong diterjemahkan kesurupan itu, ekstase itu, menjadi pelepasan, penyembuhan. Salah satu faktor lain adalah soal roh. Masyarakat desa itu ada pelepasan lewat kesenian. Kalian besok jadi imam, juga peneliti, anda tidak sekadar mengirim pesan-pesan dari Tuhan. Anda harus terjun di masyarakat untuk melihat kejiwaan,” katanya.
Romo Saptono yang berbicara dengan bahasa Jawa langgam “krama inggil” malam itu memang mengajak para seminaris menyimak dengan gembira tarian lengger yang disajikan seniman petani Gunung Sumbing itu.
Akan tetapi, mereka tak cukup hanya gembira sebagai penonton tarian lengger. Mereka juga perlu memanfaatkan kesempatan gembira itu untuk belajar lebih mendalam tentang kebudayaan yang dihidupi masyarakatnya.
“’Gamelan sampun dipun tabuh, kita saget ngraosaken laras, sakeca sanget tetabuhan punika. Dalu punika kita saget ngraosaken kabungahan. Ingkang rawuh menika dados sedherek-sedherek kita, mila para seminaris saget sinau langkung kathah malih’,” demikian Romo Saptono.
Kredit Foto: Kominfo
ARTIKEL TERKAIT :
Pementasan Tari “Lengger Sumyah Kolbu” Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (2)
Pementasan Tari “Lengger Sumyah Kolbu” Jelang 100 Tahun Seminari Mertoyudan (1)