GADIS bijaksana di sini dibedakan -kalau bukan dilawankan langsung- dengan gadis-gadis bodoh. Saya sendiri tidak yakin apakah sekarang ini masih ada gadis bodoh. Kecuali mereka yang dimabuk sesuatu. Dimabuk cinta, dimabuk agama, atau dimabuk harta, dimabuk kuasa. Gadis-gadis yang demikian biasanya sudah gak pakai akal lagi. Yang ada di pikirannya cuma satu: kemauannya terpenuhi. Berbeda dengan gadis bijaksana, yang terpenting adalah: kemauan-Nya terpenuhi.
Saya mengartikan “bijaksana” sederhana saja, yakni orang yang punya pemikiran ke depan, ke luar dari dirinya sendiri. Artinya, putusan dan tindakannya, tak hanya instan, spontan semata. Sebab, di zaman ini, siapakah yang sanggup melawan arus spontan dan instan?
Rasa-rasanya terlalu berat. Kehidupan dan kebutuhan di zaman ini serba dipenuhi oleh apa-apa yang instan atau spontan. Makan, minum, belajar, bekerja, sakit sehat, maunya semua serba instan. Proses atau rentang waktu dan rencana sudah tak dimaui lagi. Gaya hidup, pola hidup juga serba spontan. Tumbuh kembang seakan tak dibutuhkan lagi.
Contoh: untuk memenuhi kebutuhan makan minum orang sekarang akan lebih memilih beli makanan/minuman ‘jadi’ daripada memasak sendiri. Lebih gampang beli es teh, daripada masak air dan buat teh sendiri, walau lebih murah dan lebih sehat.
Rajin dan tekun belajar tak diperlukan lagi, tersedia bimbingan belajar untuk memasuki jenjang pendidikan atau profesi yang diminati. Untuk masuk kerja pun kalau bisa bayar, ya bayar aja. Untuk memperpanjang atau membuat surat izin apa pun, orang juga memilih bayar daripada ikutin prosedur normal yang bisa makan banyak waktu dan energi, serta tak ada janji terpenuhi.
Lalu bagaimana kita memaknai gadis bijaksana zaman ini? Apa beberapa hal yang kiranya dapat mulai kita biasakan atau lakukan.
- Meyakini bahwa di samping kuasa uang, harta atau kuasa manusia, masih ada kuasa Tuhan. Maka hiduplah seperti doa ajaran Yesus. “Berilah kami rezeki cukup untuk hari ini.” Nyatanya, burung pipit yang tak menanam pun menuai dan hidup damai. Jauhkan dari nafsu rakus, serakah demi mengumpulkan harta untuk hidupnya nanti.
- Meyakini bahwa meskipun cara menggemukkan ayam bisa dipercepat, tapi untuk menetaskan telur ayam tetap harus melewati proses waktu dan panas yang sesuai hukum alam agar telur menetas menjadi anak ayam. Artinya, sekeras dan secerdas apa pun usaha kita, buah sejatinya takkan siap dipetik sebelum saat-“nya” tiba. Jadi terkait dengan hidup dan kehidupan ini, kita perlu membiasakan diri sabar dan percaya pada proses yang memerlukan waktu dan suhu tertentu.
- Setinggi apa pun ilmu kita, manusia seluruh dunia, tetap belum mampu memecahkan misteri UFO. Artinya klaim diri bahwa kita telah jadi penguasa semesta ini, masih terganjal oleh entitas tak dikenal lain yang hadir di dunia hidup dan pikiran kita. Maka, sombong diri, tak sejalan dengan alam ciptaan Tuhan. Meskipun orang zaman ini difasilitasi teknologi untuk sombong dan egois.
- Musim kemarau dengan suhu tinggi, yang berkepanjangan, adalah bukti nyata bahwa hukum alam tak bisa menerima perilaku manusia yang serba instan. Artinya kerusakan lingkungan, kerapuhan alam semesta, adalah undangan agar manusia menyesuaikan kelakuannya dengan hukum alam. Kerakusan manusia atas nama kemajuan ilmu pengetahuan, harus dilawan dengan ilmu ugahari, ambil seperlu dan secukupnya saja. Musnakan segala bentuk arogansi dan eksploitasi alam serta sesama yang gila-gilaan. Arogansi kita, manusia, yang atas nama kehebatan otak-pikir dan teknologi, mestinya harus dapat menjawab pertanyaan sederhana: apa semuanya itu sungguh dapat membuat damai sejahtera jiwa raga manusia? Sebab, kesannya cara dan pola hidup suku asli yang masih mempertahankan tradisi mereka, justru hidup lebih damai dan bahagia jiwa raga. Bersahabat dengan ciptaan-Nya adalah lebih utama.
- Agama, yang dicipta untuk membantu kita manusia semakin mampu menyembah Allah, mengapa kesannya justru membuat banyak orang kehilangan Allah. Itu terjadi ketika menganggap dirinya seakan Allah. Mereka amat yakin dirinya sah dan berkuasa menyingkirkan, memusnakan pengikut agama lain. Semuanya itu tidak mengesankan adanya kedalaman, apalagi kebenaran agamanya. Kebenaran itu adanya di kenyataan, bukan di alam mimpi. Tambahan pula, bukankah penelitian ilmiah menunjukkan bahwa negara-negara yang “kurang beragama”, justru masyarakatnya lebih cerdas dan lebih sejahtera serta hidup lebih damai.
Akhirnya, menjadi gadis bijaksana itu bukanlah nasib atau takdir. Menjadi gadis bijaksana adalah pilihan yang merupakan buah kebiasaan mengembangkan keutamaan sejati manusia.
Jika Anda berkenan dan ingin membagikan tulisan ini, monggo, silakan. Terimakasih.
Jika Anda tergerak hati untuk menanggapi, goresan ini, terimakasih sebelumnya.
YR Widadaprayitna
H 231111 AA
Mat 25: 1-13