Kamis, 17 Februari 2022
- Yak. 2:1-9.
- Mzm: 34:2-3.4-5.6-7.
- Mrk. 8:27-33
SERING kali kita tanpa sadar dikelabui oleh roh jahat, hingga kita menjadi begitu konyol, memperjuangkan sesuatu yang tidak baik dengan sekuat tenaga.
Mata hati kita dibuatnya bebal hingga melihat yang penting dan baik menjadi lawan, sedangkan gengwi dan ambisi pribadi menjadi nilai tertinggi.
Lebih parahnya, kita mengajak orang lain guna mendukung apa yang kita yakini benar tetapi tidak mau membuka hati untuk mendengar suara kebenaran.
Kita dengan mudahanya memanipulasi kepentingan orang banyak demi ambisi dan kepentingan diri sendiri.
“Kami dulu menentang pembangunan gereja dan pastoran di tanah itu,” kata seorang bapak.
“Kami waktu itu berpikir bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan rencana pemindahan gereja yang ada. Apalagi menurut kami gereja yang ada itu tempatnya strategis di tengah kota,” lanjutnya.
“Padahal Bapak Uskup dan Pastor Paroki serta DPP telah menjelaskan kepada kami untuk membangun gereja di luar kota, karena untuk keperluan jangka panjang dan sekaligus untuk pastoran,” ujarnya.
“Namun kami tidak menuruti arahan mereka. Malahan kami menentang dan dengan segala cara membangun gereja di tempat semula. Padahal, tanahnya sempit dan tidak mungkin lagi menambah bangunan untuk pastoran maupun aula paroki bahkan untuk parkir pun tidak ada,” lanjutnya.
“Perkembangan kota begitu pesat hingga gereja tertutup oleh bangunan lain dan kegiatan umum lainnya,” lanjutnya lagi.
“Seandainya dulu kami lebih rendah hati dan mau mengikuti arahan Bapak Uskup dan Pastor Paroki, kami sudah punya bangunan gereja, aula dan pastoran yang terpusat di satu tempat,” katanya.
“Bapak Uskup dan pastor telah memikirkan masa depan seluruh umat, mereka berpikir panjang dan sungguh demi kebaikan bersama khususnya umat Allah di paroki kami. Namun sayangnya kami seakan dibutakan oleh rasa penasaran dan kecurigaan kami,” ujarnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
Petrus manusia yang gagal dengan pernyataan sendiri. Dia menjadi sangat egois ketika harapannya terhadap Yesus tidak sesuai dengan misi dan kehadiran Yesus di dunia ini.
Inilah ciri naif manusia karena kepentingannya terganggu dia bisa menjadi keras hati dan berusaha memanipulasi kepentingan bersama demi kepentingan pribadi.
Berhadapan dengan orang seperti ini, sikap Yesus begitu tegas seperti ketika mengoreksi sikap Petrus, sabda-Nya, “Enyahlah iblis.”
Hati manusia sulit diduga, bisa memuji dan mengagungkan Tuhan, tetapi juga dapat menjadi penghambat, mau menyelewengkan rencana Tuhan bagi Mesias, seperti dilakukan iblis di padang gurun.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah yang aku perjuangkan sesuai dengan kehendak Tuhan?