Home BERITA Era Digital, Cara Baru Gereja dalam Evangelisasi

Era Digital, Cara Baru Gereja dalam Evangelisasi

0
Ilustrasi: Fruitful Business: Hikmat Allah dalam Era Disruption besutan Sekolah Evangelisasi Pribadi Shekinah Badan Pelayanan Pembaharuan Karismatik Katolik Keuskupan Agung Jakarta (BPK-PKK KAJ) di Hotel Mulia Senayan, Kamis malam (16/5/19) -- Mathias Hariyadi

Prolog

SUDAH sejak lama, orang berpandangan bahwa manusia adalah mahakarya untuk sejarahnya sendiri. Hal ini pernah dikatakan sebagai penegasan oleh Karl Marx tentang manusia sebagai subjek sejarah (Bdk. F. Budi Hardiman, 2019). Adanya perkembangan dan kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan telah menandai kecerdasan manusia.

Penemuan-penemuan yang diprakarasi oleh para ilmuwan dan cendekiawan menjadi bukti peran manusia di dalam sejarah.

Salah satu contohnya yakni penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell. Penemuan ini sekaligus mempertegas bahwa manusia membutuhkan alat bantu untuk menunjang proses komunikasi yang luas.

Seorang pemikir bernama Dohn Idhe mengklaim bahwa teknologi menjadi perpanjangan tangan manusia misalnya kompas, sistem navigasi, dan lain-lain (Bdk. Dohn Idhe, 1993:47).

Secara komprehensif, fakta kegunaannya tidak bisa dipungkiri dalam perziarahan hidup manusia. Hal demikian serentak memberi penekanan bahwa manusia adalah motor perubahan.

Basisnya terletak pada pengandaian bahwa manusia tidak hanya hidup di dalam waktu tetapi juga menjadi perancang yang handal. Lantas, pada titik inilah manusia adalah katalisator bagi peradaban dunia.

Posisi Gereja terhadap dunia

Kenyataan-kenyataan kemajuan iptek adalah bias dari kecerdasan manusia. Realitas inilah yang dihadapi Gereja sebagai satu institusi keagamaan yang ada di dalam dunia.

Gereja pada kenyataannya berjalan beriringan dengan perkembangan dan kemajuan, hasil kerja manusia. Gereja juga bukanlah institusi yang tertutup pada perkembangan.

Prinsipnya bahwa ada usaha untuk meninggalkan sifat “keterpencilan” yang dalam sejarah dihidupi pada masa Konsili Vatikan I.

Gereja masa ini melihat perkembangan dunia luar sebagai ancaman dan selalu tertutup dengan situasi perkembangan.

Pengalaman ketertutupan Gereja terhadap dunia luar adalah sejarah kelam Gereja dan perkembangan dunia di masa lalu. Sejarah juga membuktikan bahwa pada akhirnya Gereja menyadari keberadaanya di dalam dunia. Ia memiliki peran penting di dalam dunia dan hadir sebagai penjaga (keeper) keseimbangan.

Gereja masuk ke dalam dunia, berjalan berdampingan tetapi tidak hanyut. Lantas, pada posisi ini ditemukan gerak transisi yang luar biasa dari institusi tertutup menuju institusi yang inklusif.

Konsili Vatikan II menjadi dasar bagi pembaharuan dalam sejarah Gereja dan basis titik balik gereja untuk melihat dunia dengan seruan aggiornamento-nya.

Gereja yang senantiasa berubah dan diperbaharui (ecclesia semper reformanda) juga menjadi seruan yang menitikberatkan eksistensi Gereja di dalam dunia.

Seruan ini sekaligus melegitimasi adanya pemutakhiran dari pihak Gereja akan cara menghadirkan diri di dalam dunia.

Demikian semakin jelas bahwa dunia dan perkembangannya ada dalam perhatian Gereja. Gereja tidak egois tetapi sungguh-sungguh menunjukkan dirinya sebagai institusi yang mengalami situasi zaman.

Era digital, cara baru evangelisasi

Di lain sisi Gereja juga tiba pada satu era baru yakni era digital. Masa di mana manusia tidak hanya hidup pada ruang privat, tetapi juga berkecimpung dalam ruang publik (public sphere). Ruang publik yang tidak lagi pasif dalam bentuk non-virtual “face to face”, tetapi juga ruang virtual.

Segala macam aktivitas diperluas menuju benua yang memanfaatkan jaringan (networkspace). Teknologi digital menjadi medium bagi menusia untuk berinteraksi dan sarana yang menghadirkan ruang publik virtual (Bdk. Feriansyah dkk, 2019: 3).

Di dalam ruang virtual ini, proses transmisi informasi dapat dilakukan dengan cepat antar individu.

Ekosistem digital ini kemudian memberi kemudahan untuk mengakses dan menghadirkan informasi bagi khalayak umum. Lantas dengan munculnya ekosistem digital menjadi garansi bagi semua orang untuk menyampaikan aspirasinya melalui ruang virtual.

Proses komunikasi kemudian melebar, menjangkau semua tempat, dan bermuatan global. Pada titik ini kemudian dunia yang luas dalam istilahnya Josep Schumpeter disebut sebagai desa global – a global villages. (Bdk. Kasdin Sihotang, 2019:7).

Dunia yang yang luas terbingkai di dalam benua cyber.  

Ilustrasi

Berhadapan dengan kemajuan teknologi di era digital, tentu Gereja tidak menolak perkembangan. Gereja selalu memiliki cara pandang baru untuk melihat dunia yang sedang berubah (mutatis mutandis).

Perkembangan dan kemajuan adalah fakta yang bisa ditelisik dan dicari fungsinya bagi aktivitas pelayanan dan pewartaan Gereja.

Sejak Konsili Vatikan II, khususnya dalam Dekrit Inter Mirifica tentang “Upaya-Upaya Komunikasi Sosial”, Gereja sangat menghargai penemuan-penemuan teknologi hasil kecerdasan manusia.

Demikian ada legitimasi bahwa kemajuan teknologi yang ada melahirkan peluang-peluang baru. Peluang untuk menyalurkan dengan lancar berita, gagasan, dan pepedoman-pedoman (Bdk. Inter Mirifica, art.1).

Dalam kerangka evangelisasi, Gereja menanggapi kemajuan sebagai satu hal positif untuk menunjang misi.

Prinsipnya bahwa Sabda Allah adalah Kabar Baik (euangelion) bisa diwartakan kepada semua orang di segala zaman.

Demikian proses pewartaan mengalami pemutakhiran dimana tidak hanya dalam mimbar sabda. Gereja menemukan cara baru pewartaan dengan menggunakan alat bantu teknologi digital dan kemudian disebarkan di YouTube, Facebook, Google, dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar bisa diabadikan dan diakses oleh semua orang beriman, tanpa meniadakan pewartaan langsung secara liturgis yang lazim.

Pada posisi inilah, evangelisasi memiliki sifat misioner yang ada dan bergerak dalam zaman. Tujuannyaagar Kabar Baik keselamatan itu sampai kepada semua orang beriman.

Evangelisasi di sini menjadi jalan untuk memperkenalkan misi Yesus ke setiap zaman. Lantas, kemajuan teknologi digital memiliki nilai guna yang mutakhir bagi dunia termasuk Gereja.

Kegunaannya bahwa pewartaan yang disampaikan dapat didengar oleh semua orang di seluruh dunia.

Evangelisasi demikan menjadi aktus yang terus aktual, ada disetiap zaman, dan selalu dikondisikan dengan konteks zaman.

Ilustrasi: Evangelisasi di dunia maya. (Ist)

Epilog

Era digital adalah era baru untuk Gereja dalam pelaksanaan misinya. Gereja tentu tidak dapat menghindari gejolak kemajuan teknologi digital yang terus berubah. Gereja pasti mengambil jalan bijak agar menjadikan teknologi sebagai fasilitas dalam pewartaan.

Era digital adalah kondisi tanpa syarat (sine qua non) bagi lahirnya cara pewartaan baru. Gereja sebagai institusi keagamaan yang terbuka pada kemajua dan tentu sangat menghargai serta mengapresiasi kecerdasan manusia.

Selain itu, Gereja menunjukkan semangat “aggiornamento” untuk berevangelisasi. Aggiornamento berarti Gereja selalu menyesuaikan diri, memiliki semangat kekinian, dan tidak ketinggalan zaman (update).

Demikian evangelisasi di era digital adalah hal yang harus diterima sebagai cara berada Gereja yang baru. Gereja tidak bergerak di luar zaman, tetapi berjalan seiringan dengan zaman dan perubahannya yang konstan

Daftar Pustaka

  • Idhe, Dohn, Philosophy of Technology: An introduction, New York: Paragon House. 1993.
  • Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial “Inter Mirifica”, (21 November 1964) dalam Hardawiryana, R., (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor. 1993.
  • Sihotang, Kasdin, Berpikir Kritis Kecakapan Hidup Di Era Digital, Yogyakarta: Kanisius, 2019.
  • Feryansyah dkk, Kewarganegaraan Digital dalam Kepungan Hipnokrasi, Medan: Yayasan Kita Menulis, 2019.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version