KOMUNITAS Relawan Grigak ikut nobar film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali.
Senin, 14 Februari 2022, di Studio Audio-Visual PUSKAT, enam anggota Komunitas Relawan Grigak mengikuti nonton bareng film dokudrama Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali.
Inilah sebuah film biografi almarhum Romo YB Mangunwijaya Pr yang mengisahkan perjalanan hidup Romo Mangun sejak masa anak-anak, remaja, hingga perjuangan di pinggir Kali Code bersama kaum duafa, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sekitar pukul 19.00 acara dimulai dengan pemutaran trailer dan video music clip film ber-genre dokudrama itu.
Pemutaran film Sang Manyar; Nyanyian Pinggir Kali di SAV PUSKAT ini merupakan yang pertama kali sejak Januari 2021 selalu ditunda karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) demi menekan ganasnya pandemi Covid-19 di Indonesia.
Pemutaran film biografi Rama Mangun ini dilaksanakan dengan mengikuti protokol kesehatan, yaitu; pembatasan jumlah penonton (hanya 30 orang), menggunakan masker, menyemprot tangan dengan hand sanitizer, dan menjaga jarak antar penonton.
Agenda pemutaran film berdurasi satu jam itu dilanjutkan dengan syering dan diskusi dari kru film dengan penonton.
Romo Mangun di pinggiran Kali Code
Film dokudrama ini mengangkat karya kemanusiaan Romo Mangun di Kali Code secara khusus. Namun secara lebih umum, riwayat hidup Romo Mangun sejak lahir hingga tiba di Kali Code.
Film adaptasi dari novel “Mangun: Sebuah Novel (2016)” yang ditulis Sergius Sutanto.
Sebagai penulis naskah dan sutradara film Sang Manyar; Nyanyian Pinggir Kali, Sergius Sutanto mengungkapkan bahwa pemutaran film ini bagian roadshow film Sang Manyar yang dimulai Yogya, sebelum ke kota lain seperti Jakarta dan Bogor.
“Sebenarnya kami berencana roadshow ke semua kota di Indonesia untuk memperkenalkan Romo Mangun, tapi kami memilih Yogja yang harus pertama.
Menurut saya, kenapa harus Yogya? Karena latar dan roh Romo Mangun dalam film ini ada di Yogya, khususnya Kali Code.
Sergius Sutanto juga menegaskan bahwa film ini berangkat dari kesedihannya terhadap Generasi Z atau Generasi Net yang tidak mengenal Romo Mangun sebagai tokoh arsitek, sastrawan, budayawan, konseptor pendidikan, dan pembela masyarakat kecil.
“Saya tergerak untuk membuat film ini karena anak muda kelahiran tahun 2.000-an tidak tahu Romo Mangun bahkan ada yang pernah bertanya: “Romo Mangun umur berapa sekarang?” atau “Romo Mangun sekolah SMA-nya di mana?”
Selain harapan memperkenalkan Romo Mangun sebagai salah satu tokoh nasional, Sergius Sutanto juga berharap film Sang Manyar dengan pendekatan dokudrama ini sebagai awal dari proyek besar film layar lebar tentang perjuangan kemanusiaan Romo Mangun.
“Jadi saya mau buat film ini sebagai awal dari linearisasi bagian-bagian tentang Romo Mangun dari sejak lahir di Ambarawa, menempuh pendidikan, jadi prajurit, jadi imam, dan berjuang demi rakyat di Kali Code.”
Selain mimpi-mimpi penulis, novel dengan sudut pandang pergulatan tokoh itu, ada sebuah deretan kalimat Romo Mangun yang paling menginspirasi dalam penulis novel dan penggarapan produksi film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali.
Yaitu, “Sebelum mempelajari surga dan malaikat, mbok ya belajarlah dulu menjadi manusia“.
Di mana Romo Yang Manusia?
Mengapa Rama Mangun digambarkan dalam film Sang Manyar sebagai tokoh yang begitu mulia? Di manakah unsur kemanusiaan Rama Mangun dalam film itu?
Dalam nada bercanda Sergius Sutanto berulang kali mengungkapkan bahwa malam ini adalah malam pembelaan seorang sutradara.
Sebagai seorang penulis novel dengan gaya bertutur filmis dan pendekatan humanis, Sergius Sutanto menanggapi salah satu pertanyaan menohok itu.
Dengan mengungkapkan bahwa unsur kemanusiaan di dalam film itu kurang ditonjolkan demi kepentingan linearisasi konsep film dengan tema dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: Harmoni dan Kebhinnekaan Indonesia.
“Memang benar, tidak ada akting Romo Mangun yang manusiawi banget. Dari riset saya tentang Romo Mangun di Jogja, saya menemukan bahwa sisi kemanusiaan Romo Mangun hanya bisa terlihat jelas dalam karya-karya novel seperti Romo Rahardi dan Roro Mendut.
Jadi, saya buat proposal dan film ini pun dengan penuh hati-hati berdasarkan tema dari Kemendikbud yaitu Harmoni dan Kebhinnekaan Indonesia”.
Satu lagi pertanyaan yang menarik dalam diskusi film Sang Manyar itu yakni; mengapa sutradara memilih judul film dengan frasa “Sang Manyar?“
Menanggapi pertanyaan itu, penulis novel Chairil Anwar: Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta (2017) menjelaskan bahwa pemilihan judul Sang Manyar untuk menunjukkan ikonitas Rama Mangun melalui karya novel Burung-burung Manyar.
“Saya melihat salah satu karya novel Rama Mangun yang paling ikonik adalah Burung-burung Manyar.
Kalo kita sebut nama Rama Mangun, maka asosiasi orang adalah novel fenomenal itu. Jadi saya hanya menambahkan kata ‘Sang’ untuk menunjukkan ikonitas Rama Mangun dengan Burung-burung Manyar.”
Gambar 1: Nonton Bareng Film Dokudrama “Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali” di Studio Audio- Visual PUSKAT Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta