Home BERITA Film “The Two Popes”, Konservatisme Paus Benedictus XVI vs Perubahan Paus Fransiskus...

Film “The Two Popes”, Konservatisme Paus Benedictus XVI vs Perubahan Paus Fransiskus (1)

0
Film "The Two Popes" tentang diskusi mengenai membangun tembok atau mau berubah antara Paus Benedictus XVI dan Kardinal Bergoglio yang kemudian menjadi Paus Fransiskus. (Ist)

PAUS Benedictus (Sir Anthony Hopkins) dulu bernama Kardinal Joseph Ratzinger. Budaya, alam pikir Jerman, dan terlebih jabatannya sebagai Kepala Kongregasi Ajaran Iman Vatikan telah menjadikan Ratzinger sosok konservatif.

Pendek kata –sesuai julukan negatif yang tersemat padanya sebagai “Rotweiller” penjaga iman Gereja—Ratzinger ibarat tembok super kokoh.

Dua tokoh berseberangan

Gereja mesti membangun tembok ini agar tak mudah roboh oleh rongrongan zaman. Taruhlah itu “pertahanan” untuk melawan arus relativisme Barat dan berbagai isu masa kini yang menghantam Gereja. Yakni, kasus-kasus skandal para imam yang melanggar praktik hidup wadat (selibat) karena melakukan pelecehan seksual.

Konservatisme Ratzinger berlanjut saat dia menjadi Paus Benedictus XVI. Satu kata tetap melekat pada Uskup Keuskupan Roma ini, yakni tak ada ruang kompromi untuk menjaga tradisi ajaran Gereja.

Karena itu, dia sangat “berseberangan” dengan Kardinal Jorge Bergoglio (Jonathan Pryce), Uskup Keuskupan Agung Buenos Aires di Argentina.

Mantan Provinsial Jesuit untuk Ordo Serikat Jesus Provinsi Argentina ini sejak lama memang telah dikenal berani “menyeberang” dan rela meninggalkan “tradisi”. Asalkan hal itu untuk sesuatu yang bernilai dan demi sebuah perjuangan mempertahankan martabat manusia dari segala rongrongan zaman. Spiritualitas khas Ignatian yang tak lengkang oleh sejarah, ketika setiap Jesuit ditantang untuk menemukan (jalan) “Tuhan” dalam setiap peristiwa atau menemukan Tuhan dalam “segalanya”.

Kardinal Bergolio berani menghancurkan “tembok” tersebut.

Kompromi untuk alasan mulia

Dalam kapasitasnya sebagai Provinsial SJ Provinsi Argentina –jauh hari sebelum menjadi Uskup dan kemudian Kardinal– Pastor Jorge Maria Bergoglio SJ muda telah berani melawan “arus”. Ia gagah mendatangi pemimpin junta militer Argentina dan melakukan kompromi politik.

Para pemeran tokoh Kardinal Jorge Maria Bergoglio muda, Paus Benedictus XVI, dan Kardinal Bergoglio saat sudah menjadi Uskup Keuskupan Agung Buenos Aires, Argentina. (Ist)

Ini demi menyelamatkan nyawa para pastor dan aktivis politik yang waktu itu sangat berseberangan ide dan pemikiran politik dengan junta militer Argentina.

Kompromi itu akhirnya terjadi. Ia memerintahkan karya-karya sosial SJ segera dihentikan. Atas nama ketataan ala Jesuit bak “mayat di tangan orang buta”, Pastor Jorge Bergoglio SJ muda (diperankan oleh Juan Minujín) memaksa dua pastor Jesuit di permukiman kumuh untuk menghentikan karyanya.

Alih-alih menurut, kedua imam Jesuit itu menolak mau taat. Mereka bahkan menuduh Bergoglio pengkhianat, lantaran sudi memenuhi permintaan juncta militer agar memberangus buku-buku beraliran “Kiri” dari seluruh perpustakaan seminari dan rumah-rumah SJ di seluruh Argentina.

Kompromi Bergoglio terjadi untuk tujuan mulia dan strategis secara politik. Yakni, demi bisa menyelamatkan ribuan nyawa dari kemungkinan ditembak mati atas tuduhan melawan rezim pemerintahan otoriter Argentina di tahun 1970-an.

Namun di film itu, Bergoglio mengaku menyesal bahwa dia pernah melakukan “kompromi” tersebut dan dia menganggap hal itu sebagai “dosa terberat” yang mesti dia sesali.

Kedua Jesuit yang menentangnya dengan tegas menuduhnya “lembek” hanya karena sebagai Provinsial SJ Provinsi Argentina terlalu mementingkan “kepentingan” Ordo Serikat Jesus daripada kepentingan masyarakat banyak.

“Jadi, kita sekarang hanya ‘fokus’ pada diri sendiri (Jesuit), dan bukan rakyat kebanyakan?,” begitu protes dua imam Jesuit yang mengemban karya sosial berlawanan haluan politik dengan kaum juncta militer Argentina.

Perubahan vs tembok

Dialog mendalam dan sangat intens itu terjadi di Castel Gandolfo, istana musim panas kepausan. Tema besar yang tengah “dipergunjingkan” antara Kardinal Bergoglio dan Paus Benedictus XVI tidak lain adalah persoalan bagaimana membangun “tembok” pertahanan iman dan bagaimana sekarang ini Gereja harus juga pintar melakukan “reformasi” alias menggelorakan denyut semangat perubahan.

Tema besar lainnya adalah permintaan Kardinal Bergoglio untuk mundur dari jabatannya sebagai Uskup Keuskupan Agung Buenos Aires. 

Ngobrol sangat serius tentang pengunduran diri, perubahan dan tembok zona nyaman di Castel Gandolfo. (Ist)

Permintaan itu ditolak Paus Benedictus XVI dengan alasan dia masih sehat, meski Bergoglio diketahui hanya punya satu paru-paru. Juga belum sampai berumur 75 tahun, syarat administratif seorang uskup boleh mengajukan pensiun.

Semula, kedua tokoh Gereja itu “tertib” bicara dalam koridor diskusi hangat dan tajam tentang konservatisme vs pembaruan pastoral Gereja Katolik.

Confessio

Simpul pembicaran itu berakhir dengan confessio –pengakuan dosa atau Sakramen Tobat.

Paus Benedictus XVI terus-terang menyatakan ingin mundur. Inilah keputusan, katanya, yang sudah lama dia timbang-timbang. Itu juga seiring dengan redupnya cahaya lilin yang asapnya lari “turun ke bawah” dan bukan ke atas.

Oleh Paus Benedictus, kejadian itu merupakan sinyal simbolis sekaligus tanda jelas bagi dia bahwa Tuhan sudah tidak lagi berkenan dengannya.

Diskusi soal Paus boleh mundur itu seakan mendapatkan urgensinya, demikian “argumen” Paus Benedictus XVI. Soalnya, Vatikan baru saja didera Skandal VatiLeaks.

Wartawan Gianluigi Nuzzi telah membuat heboh dunia, lantaran bukunya His Holiness: The Secret Papers of Benedict XVI yang menguliti dokumen internal memo Vatikan atas berbagai persoalan. Di antaranya, kasus-kasus korupsi para pejabat Vatikan dan praktik penyimpangan seksual para imam yang melakoni hidup homoseksual.

Aktor Inggris Sir Anthony Hopkins sebagai Paus Benedictus XVI dan aktor Wales Jonathan Pryce memerankan tokoh Kardinal Bergoglio. (Ist)

Namun, atas nama “tradisi” Gereja, Kardinal Bergoglio menolak gagasan pengunduran diri Paus. Ia bahkan mengecam hal itu sebagai pintu masuk bagi kehancuran Gereja di masa depan.

Tapi, kali ini “atas nama” ingin ingin melakukan perubahan, Paus Benedictus XVI membela keputusannya ingin secepatnya mundur. Ia berharap Gereja Katolik bisa tetap eksis di tangan Paus anyar yang mampu menghadapi berbagai tantangan zaman.

Untuk itu, kata dia, Vatikan butuh seorang Paus baru yang berjiwa progresif dan berani “melawan arus”. Kardinal Bergoglio adalah “harapan” tersebut.

Gagasan itu, kata Paus Benedictus XVI, dinilainya tidak mengada-ada.

Konklaf tahun 2005 sesuai data sejarah Gereja pada akhirnya “dimenangkan” oleh Kardinal Ratzinger. Sementara, dalam film tersebut, Kardinal Bergoglio berhasil menempati posisi runner-up. Sesudah kedua nama itu, barulah muncul nama Kardinal Carlo Martini SJ dari Keuskupan Agung Milan.

Ini setidaknya “isi” kisah yang muncul dalam film The Two Popes ini.

Tentang urutan perolehan suara dalam Konklaf ini tidak ada “sumber sejarah” yang meyakinkan untuk menguji kebenarannya. Proses eleksi dalam Konklaf berlangsung rahasia dan tidak pernah bocor keluar dari tembok Kapel Sistina. Namun, sejarah memang punya validitas dengan mengatakan Kardinal Josehp Ratzinger memenangkan proses eleksi tersebut.

Silentium incarnatum

Keinginan mundur Paus Benedictus XVI itu disampaikan kepada Kardinal Bergoglio di saat-saat akhir diskusi mereka yang sangat intens di Castel Gandolfo dan kemudian di Istana Vatikan.

“Harus jaga mulut dengan silentium incarnatum,” demikian pesan penting Paus Benedictus XVI kepada Kardinal Bergoglio.

Artinya, informasi tentang rencana pengunduran diri itu harus tetap dirahasiakan sepenuhnya.

Pembaruan bergulir

Film The Two Popes berakhir dengan happy ending.

Sebuah perubahan besar dalam kebijakan pastoral dalam Gereja Katolik kini mulai bergulir.

Paus Fransiskus yang asli dan Kardinal Bergoglio dalam film “The Two Popes”, namun hampir mirip.

Itu sudah terjadi di hari pertama. Yakni, ketika Kardinal Jorge Bergoglio dari Argentina resmi dinyatakan sebagai paus baru dalam pengumuman bertitel Habemus papam (Kami punya Paus) di balkon jendela Kapel Sistine Vatikan.

Paus Fransiskus, nama baru Kardinal Bergoglio, menolak memakai mozetta, mantel merah kepausan tanpa lengan. Juga tidak mau memakai kalung salib kepausan. Terakhir, Paus Fransiskus juga tidak mau memakai “sepatu merah” kepausan.

Semangat pembaruan itu dihayati Paus Fransiskus, sesaat setelah resmi dinyatakan Paus baru pengganti Paus Benedictus XVI. Alih-alih memberkati kerumunan massa yang menyesaki Lapangan Santo Petrus saat itu, Paus Fransiskus mohon doa dari mereka.

Langkah-langkah semangat pembaruan itu kian gencar dilakukan oleh Paus Fransiskus. Ia mengunjungi Lampedusa di Kepulauan Pelagia di Italia Selatan untuk menyapa para imigran dari Afrika.

Lalu, ia merayakan Kamis Putih di penjara. Dan yang baru-baru ini menjadi hot issue adalah Vatikan mulai mengizinkan orang bercerai boleh menerima Komuni. Lalu juga tengah mempertimbangkan orang yang sudah menikah diizinkan boleh menjadi imam atas dasar kebutuhan mendesak di hutan Amazon, Brasil.

Film “The Two Popes” tentang cara pikir berbeda antara Paus Benedictus XVI dan Kardinal Bergoglio yang kemudian menjadi Paus Fransiskus. (Ist)

Di alam nyata, gagasan tentang “peluang” pria sudah menikah boleh menjadi pastor ini ditentang habis-habisan oleh Paus Emeritus Benedictus XVI.

Bersama Robert Kardinal Sarah dari French Guinea di Afrika dan kini Kepala Kongregasi Suci Vatikan untuk Ibadat dan Tatatertib Sakramen, sikap membangun “tembok” itu telah jelas diperlihatkan Paus Emeritus Benedictus XVI dalam buku baru bertitel From the Depths of Our Hearts yang dirilis Januari 2020.

“Tentang hal ini,” kata Benedictus XVI sebagaimana dirilis oleh Harian Le Figaro terbitan Paris, “Saya tak bisa hanya berdiam diri saja.”

Namun, kontroversi silang pendapat tersebut akhirnya mencapai antiklimaksnya. Hanya sehari setelah buku kontroversial itu muncul di pasaran, Mgr. Georg Ganswein, Sekretaris pribadi Paus Emeritus Benedictus XVI, menyatakan nama “Paus Benedictus XVI” sebaiknya dicopot sebagai co-author buku baru ini.

Ini jelas sebuah politik “kompromi” agar tidak memberi kesan ada dua “Paus” di Vatikan: satunya sudah emeritus, lainnya masih berkuasa. Padahal, ketika memutuskan pensiun 2013, Paus Benedictus XVI sudah berjanji akan “menghilang” dari peredaran publikasi.

Kisah nyata dan rekaan semata

Harap dicatat ini sebagai hal penting. Beberapa “adegan” dan materi pembicaran dua Paus dalam film The Two Popes ini konon diambil dari kisah nyata.

Namun, dalam sejarah asli, tidak pernah ada “peristiwa” di mana Kardinal Bergoglio sampai pergi ke Roma hanya untuk menyampaikan surat pengunduran dirinya kepada Paus Benedictus.

Sekali lagi, The Two Popes garapan sutradara Fernando Meirelles dan penulis naskah Anthony McCarten hanyalah film produksi Netflix.

Layaknya film dengan dua bintang papan atas yakni Jonathan Pryce dan Anthony Hopkins, unsur “rekayasa” peristiwa selalu saja ada.

Tentu saja, hal macam ini  dipaksa harus ada demi dramatisasi peristiwa. Juga untuk mendongkrak intensnya percakapan “dua paus” dengan materi diskusi yang berat dan menantang.

Satu tentang ide mundur atau tidak mundur sebagai Uskup Keuskupan Agung Buenos Aires dan tahta kepausan di Vatikan.

Isu lainnya adaah pertanyaan: Masih perlukah Gereja tetap mau mempertahanan “tembok” kekuasaan dan hidup tenang dalam zona nyamannya? Atau, kini boleh membiarkan terjadi pembaruan sana-sini yang malah kian menjadikan Gereja semakin membumi.

Atas pertanyaan ini, film The Two Popes memberi jawabannya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version