“HAL itu sekarang telah telah dikabulkan Allah. Bahkan lebih daripada itu. Allah telah menggerakkan engkaumempersembahkan dirimu sama sekali kepada-Nya dalam pengabdian yang tulus.
Sekarang, apa lagi yang kuharapkan?”
Percakapan Monica dengan Augustinus di Ostia inilah yang menjadi akhir perjalanan panjang Monika. Ia hanya seorang ibu dan janda yang suci.
Terinspirasi kisah akhir hidup Santa Monica, seorang ibu dan janda, Liem Tjay lalu mengingat kembali peristiwa kematian Mica, pembuat bakpao. Juga memori akan almarhumah Ibu MM Sri Indrati, pembuat rengginang.
Beginilah kisah Liem Tjay
Kusapa hari ini, untuk Ibu Hartati Widjaja, almarhumah mamaku.
17 tahun yang lalu, 25 agustus 2004, Mica alias Tjan Swan Nio (78), nama mama-ku telah berpulang ke rumah Bapa. Saat Mica menghembuskan nafas terakhirnya, ia berbaring di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo.
Sakit tua mengantarkan Mica menghadap Sang Khalik. Ia tidak mendapat gelar “MKC” (Meninggal Karena Corona).
Setiap hari kudoakan dalam misa, walau Mica sampai meninggalnya bukan Katolik.
Hari ini, doaku secara khusus dalam misa, meditasi dan Rosario-ku.
Untuk Ibu Maria Asumpta Sri Indrati
Beberapa hari lalu, tepatnya, 25 Agustus 2021, ketika aku sedang mendoakan Ibu Maria Asumpta Sri Indrati dalam perayaan misa, Tuhan menjemput Ibu Sri di rumahnya di Dusun Sikenong, Klaten, pukul 06.30 WIB.
Berita duka ini kuterima lewat WA Mas Trias “Dinuk” Dwi Nugroho pukul 07.18 WIB, setelah misa harian di Gereja Maria Imakulata Banyumas selesai.
Sakit sepuh (tua) mengantarkan Ibu Sri Indrati untuk menghadap Sang Khalik. Dia tidak mendapat gelar “MKC” (Meninggal Karena Corona), walaupun saat ini kehidupan manusia sedang diguncang “Corona”.
Selama satu pekan itu, Trias, teman dan sahabatku sejak di Seminari Mertoyudam mohon doa khusus buat Ibu Sri Indrati, bunda Trias Dwi Nugroho tercinta.
Malam itu – 24 Agustus lalu- aku dengan Romo Niko Ola OMI sempat mendoakan Ibu Sri Indrati via video call. Ketika Romo Niko Ola memberkati, Ibu Sri mengangguk menerima berkat Tuhan dengan senyum damai.
Pasrah dan pasrah.
Itulah iman Ibu Maria Asumpta Sri Indrati Kusno Widodo (86).
Bakpao–Rengginang, persaudaraan Cina–Jawa
Liem Tjay menengok sejenak relasi Mama Tjan Swan Nio (Mica) dengan Ibu Maria Asumpta Sri Indrawati.
Relasi Mica dengan Ibu Sri terungkap dan menyatu dalam perpaduan makanan khas tradisional Cina dengan Jawa: bakpao dan rengginang.
Bakpao adalah makanan tradisional dari Negeri China dan rengginang adalah makanan tradisional Jawa.
Filosofi bakpao
Bentuk bakpao yang bulat dikaitkan dengan kepercayaan bangsa Tiongkok sebagai lambang kesempurnaan.
Filosofi rengginang
Rengginang adalah sejenis kerupuk tebal yang terbuat dari beras ketan yang dibentuk bulat. Dikeringkan dengan cara dijemur di bawah panas matahari; lalu digoreng panas dalam minyak goreng.
Di balik rasanya yang gurih dan renyah, ternyata ada filosofi.
Rengginang merupakan simbol ‘persatuan’. Karena makanan ini tersusun dari butiran beras ketan yang saling berhimpitan. Satu sama lainnya saling bersatu dan tidak mudah dipecah belah.
Selain itu, rengginang juga simbol ‘kemakmuran’, karena bahan dasarnya terbuat dari nasi atau beras ketan yang menjadi makanan pokok bangsa Indonesia.
Momen HOT awal persatuan
Aku, Liem Tjay, dengan Trias pernah hidup satu atap di Seminari OMI kurun waktu tahun 1982-1989. Kuingat momen Hari Orangtua (HOT) itulah yang membuat akrab keluarga Liem Tjay dengan keluarga Trias.
Setiap kali ada Hari Orangtua (HOT) di Seminari OMI Condong Catur Yogyakarta, keluarga setiap frater berkumpul sebagai satu keluarga besar OMI Indonesia.
Untuk apa? Perayaan ekaristi, makan bersama, saling berkisah, bersantai ria itulah kegiatan di HOT.
Setiap keluarga, frater, karyawan dan staf seminari lebur menjadi satu dalam suasana persaudaraan dan penuh kekeluargaan.
Yang khusus dan mendalam.
Mica membawa oleh-oleh Bbakpao buatan sendiri dari Solo. Ibu Sri Indrati membawa oleh-oleh rengginang buatan sendiri dari Klaten.
Di satu unit bangunan seminari, kamarku dengan Trias saling berhadapan dan posisi pintu terbuka satu sama lain.
Yang membahagiakan dan membanggakan bagi setiap frater adalah keluarga boleh masuk dan santai berbincang-bincang untuk melepaskan rindu di kamar tidur.
Liem Tjay masih ingat peristiwa HOT 1983.
Di kamarku, ketika Mica sedang membongkar tas berisi bakpao, tiba tiba Ibu Sri Indrati menyeberang dan masuk ke kamarku langsung berkata: “Mah, niki wonten rengginang saking Klaten. Kula damel piyambak (Bu, ini ada rengginang dari Klaten. Saya buat sendiri.”
Dengan spontan dan polos, Mica menerima bingkisan rengginan dan langsung menjawab:“Nuwun, kok repot-repot. Niki enten bakpao, dodolane piyambak, mangga dicicipi mawon. (Terimakasih, kok repot-repot. Ini ada bakpao, jualan sendiri. Silahkan dicicipi dulu).”
Berawal dari saling memberi bakpao dan rengginang, lahirlah persaudaran, kekeluargaan antara Mica dan Ibu Sri Indrati. Antara keluargaku dengan keluarga Trias. Sejak dulu sampai sekarang.
Makna bakpao dan rengginang
- Bakpao dan rengginang mengalirkan kasih persaudaraan yang menembus batas suku, bahasa, adat, dan kebiasaan.
- Bakpao dan rengginang adalah kekuatan batin, keihklasan, cinta seorang ibu yang empuk, halus, dan renyah.
- Sosok ibu itu bagaikan bakpao dan rengginang yang dikunyah oleh anak-anaknya, sebagai sentra nafas kehidupan untuk tumbuh dan berkembang menuju pribadi yang matang dan baik.
- Ibu tetap berharap dan mendoakan anak-anak nya menikmati kemakmuran dalam hidup (filosofi rengginang), akhirnya mencapai hidup yang bulat dan putih bersih bersama Sang Khalik (filosofi bakpao).
Kini Mica dan Ibu Sri Indrati sudah purna mencapai kepenuhan, kehidupan yang bulat, sempurna dalam peristiwa kematian, bagaikan bakpao yang bulat sempurna.
Mereka berdua sudah menyelesaikan panggilan hidup sebagai seorang perempuan, seorang ibu rumahtangga, seorang nenek, sampai tuntas.
Mereka pergi dengan menaburkan sejuta kasih Ibu yang renyah, gurih, padat menyatu bagaikan rengginang. (Berlanjut)