DI dunia ini, setiap bangsa memiliki sejarah peradabannya sendiri-sendiri. Ketika hasil peradaban itu mewujud diri dalam bentuk produk budaya berupa tarian dan benda-benda seni, maka di situlah orang dibuat kagum akan apa yang disebut kebhinekaan. Indonesia adalah contoh bagus tentang sejarah kebhinekaan itu, lengkap dengan koleksi etnisitas, bahasa, produk seni, dan aneka macam ragam aksesori berbusana.
Ketika kebhinekaan ragam budaya itu mencuat dalam format produk busana, maka yang terjadi kemudian adalah semacam sintesis. Apa yang bagus di Spanyol, misalnya, lalu dikombinasikan dengan produk seni khas Indonesia yang mencerminkan indahnya kebhinekaan Negeri Nusantara ini. Produk sintesis inilah yang kemudian dikemas dalam format busana dengan citarasa campuran Spanyol-Indonesia melalui gelaran busana berlabel Flamenca di ajang Indonesia Fashion Week 2016 di Jakarta Convention Center, 10-13 Maret 2016.
Di hari Sabtu (12/3) siang, Flamenca naik panggung dalam satu sesi pergelaran busana bertajuk Etnic Wear bersama puluhan model busana terbaru hasil besutan para perancang busana lain yang semuanya mengadopsi kebhinekaan produk seni. Namun agak berbeda dibanding para desainer lainnya, gelaran Flamenca yang dibesut Lindy Ann Umarhadi ini terkesan lebih mengetengahkan konsep simbiosis produk etnisitas lintas global. Ia mensistensiskan produk budaya tarian khas Spanyol Flamenco dengan khasanah budaya etnik khas Indonesia dalam wujudnya sebagai produk seni.
Ketika nafas tarian Flamenco dari Spanyol ini dikemas dengan mengadopsi produk seni etnik khas budaya Indonesia, maka Flamenco bermetamorforis menjadi Flamenca. Kain tenun tapis khas Lampung lalu beradu-padu dengan bahan sifon, dan silk yang biasa membalut tubuh ragawi para penari Flamenco khas Andalusia tersebut. Warna-warna dominan seperti hitam, merah, putih, dan gold terasa mendominasi 10 buah jenis busana hasil kreasi rancangan terbaru Lindy Ann Umarhadi yang naik pentas mengusung label Flamenca di sesi Ethnic Wear di ajang Indonesia Fashion Week 2016.
***
Panggung pentas sengaja dibuat dengan suasana serba flat. Panggung utama justru ada di ‘belakang’ ketika para model itu keluar dari backstage menuju arena catwalk dengan mengambil posisi mengelilingi para penonton. Konsep panggung serba flat inilah lokasi dimana sesi Ethnic Wear dengan salah satu programnya gelaran Flamenca itu muncul di ajang Indonesia Fashion Week 2016.
10 gadis muda dengan postur tinggi dan leher jenjang satu persatu keluar dari back stage, berjalan mengelilingi catwalk dengan penonton duduk di sisi kanan-kirinya. Di sudut lain, dudulah para fotografer dan videografer lengkap dengan aneka peralatan rekamnya yang siap mengabadaikan lenggak-lenggoknya para model fashion ini. Di sudut garis lainnya ikut bergabung para fasionista yakni para ibu-ibu muda penuh gaya, gampang heboh bercuit-cuit mengomentari gaya para model ini ketika membawakan busana-busana terbaru hasil rancangan para desainer yang maju naik pentas melalui sesi Ethnic Wear.
Flamenca hasil besutan Lindy Ann Umarhadi tampil di urutan bontot di sesi Ethnic Wear ini. Menggebrak emosi fasionista dengan sebuah alunan musik Tango Santa Maria khas tarian Flamenco, gelaran Flamenca muncul dengan paduan busana rok berbahan kain tapis khas Lampung beradu-padan dengan blus berbahan baku lace, sifon, dan silk. Di sini warna-warna merah, hitam, putih, dan gold sangat mendominasi busana dan berikut aksesorinya seperti penutup kepala, dompet, dan lainnya.
“Saya senang karena respon positif dari publik yang menyukai busana rancangan desain saya,” ungkap Lindy Ann usai pentas menjawab Sesawi.Net.
Ia mengaku butuh waktu 10 hari kerja untuk menyiapkan perhelatan besar ini.
***
Ketika harus meletakkan Flamenca dan sesi Ethnic Wear itu pada kerangka besar tema Indonesia Fashion Week 2016 yang mengusung semangat Reflections of Culture, rasanya menjadi jelas bahwa Flamenca besutan Lindy Ann Umarhadi ini sepertinya mengadopsi semangat budaya lintas bangsa. Hal ini sangat kental terasa selama hampir 40 menit gelaran sesi Ethnic Wear dimana kreasi busana yang mengadopsi indahnya kebhinekaan peradaban dunia itu mengemuka dengan sempurna.
Di ujung pertama gelaran Ethnic Wear itu, misalnya, sang perancang menampilkan garis-garis budaya Timur Tengahnya yang eksotik. Serba etnik dan memanglah sangat etnik. Pada garis waktu yang lain, sang perancang lain begitu suka menampilkan indahnya busana khas Indonesia: batik. Kali ini, batik muncul di atas panggung dengan aksesori aneka topi berbahan dasar bambu tapi bukan caping.
Semangat minimalis juga muncul di sisi Ethnic Wear ini dimana para model hanya mengenakan celana pendek berbahan baku batik namun dengan ‘atasan’ ringkas ber-V amat lebar. Begitu pula dengan sesi Bateeq yang mengoleksi busana khas fall dan winter 2016 hasil besutan Michelle Tjokrosaputro dan kemudian O.Ver.Haul karya Sky.Inc yang mengadopsi indahnya kain ulos khas Tapanuli Utara.
Lengkap sudah gelaran Indonesia Fashion Week yang dibesut Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) dengan mengetengahkan konsep Reflection of Culture melalui setidaknya tiga sesi gelar busana di atas: Ethnic Wear, Bateeq dan O.Ver.Haul. Masih ada puluhan sesi gelaran busana lainnya di forum Indonesia Fashion Week 2016 ini.
Namun yang jelas, di gelaran Flamenca karya Lindy Ann Umarhadi di sesi Ethnic Wear, tersembullah indahnya peradaban seni tarian Flamenco asal Andalusia di Spanyol yang diformat baru dengan kemasan citarasa khas Indonesia melalui kain tapis khas Lampung. Maka, Flamenca pada hemat saya adalah sungguhan busana dengan mengambil inspirasi Spanyol, namun dengan citarasa Indonesia.
Kredit foto: Courtesy of Obession News.