SAYA baru tahu Frans adalah mantan Yesuit ketika saya main ke rumah Frans, setengah tahun setelah saya mengenalnya sekitar tahun 2003.
Di meja rumahnya ada banyak kartu nama, brosur-brosur MLM, buku rohani dan fotokopi buku Latihan Rohani Santo Ignatius Loyola.
Waktu melihat buku Latihan Rohani, saya pun menanyakan, “ Dapat darimana nih buku Latihan Rohani?”
Ia menjawab,” Oh, buku itu saya fotokopi dari seorang teman.”
Saya pun langsung nembak dia, “Pak Frans, pernah jadi Yesuit?
Hanya Yesuit dan mantannya lho, yang punya buku Latihan Rohani cetakan tahun 60-an dengan imprimatur dari Romo C. Orie SJ.
“Yang ada kata sambalewa, kosok balinya segala,” ujar saya.
Ia mengiyakan. “Dulu iya.”
Dari Frans, saya kemudian tahu juga kalau teman kami itu juga ternyata seorang mantan Yesuit. Frans tidak terkejut atau bertanya macam-macam ketika ia tahu bahwa saya juga mantan Yesuit.
Hanya saja semenjak itu persahabatan kami menjadi semakin intens, tidak terikat pada hal-hal yang berbau MLM saja tetapi juga menyangkut spiritualitas dan kehidupan.
Memang, dengan menjadi anggota MLM, saya mempunyai banyak kawan. Sebagian tidak berkontak lagi ketika sudah berganti dengan MLM lain.
Namun, sebagian lagi tetap menjadi kawan yang saling mengunjungi dan menyapa walaupun sudah tidak ada ikatan apa-apa lagi dengan bisnis MLM.
Rumah Frans sering jadi tempat “mangkal” para MLM-ers dan mantan MLM-ers. Kemeriahan mereka menjadi hiburan dan memberi kehangatan tersendiri bagi Frans yang memang hidup sendiri di rumahnya.
Bagaimana aku menebus dosamu?
Frans sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Ia memaafkan istrinya. Baginya yang penting adalah membawa kembali istri ke biduk perkawinan yang sudah dibangun. Namun, garis kehidupan berbicara lain.
Istrinya lebih memilih tetap pergi. Anak-anaknya pun mulanya tinggal bersama Frans. Hingga pada satu saat (di sekitar tahun 2000) istrinya minta agar anak-anak boleh mengunjunginya di tempat kontrakan.
Kakak Frans waktu itu melarang Frans membiarkan anak-anaknya mengunjungi istrinya. Namun Frans berujar. “Dia kan ibunya. Jadi dia berhak ketemu anak-anaknya juga!”.
Apa yang dikhawatirkan keluarga Frans terjadi. Istrinya pergi membawa anak-anaknya pergi tanpa Frans tahu lagi dimana mereka berada. Sampai akhirnya Frans tahu kalau istrinya sudah pindah ke Kalimantan dan hidup bersama anak-anaknya.
Oleh keluarganya, Frans sempat dikata-katai sebagai “Bapak yang bodoh. Anak di tangan malah dibiarkan lepas dibawa istri.”
Frans tidak menyesali apa yang telah terjadi.
Refleksi imannya positif. “Seandainya anak-anak tinggal bersama saya, anak-anak akan terlantar. Lebih baik mereka bersama ibunya.”
Setahu saya, sampai akhir hayatnya Frans benar-benar tidak tahu dimana tempat tinggal istri dan anak-anaknya.
Ia hanya menahan kerinduan. Kerinduan bertemu anak-anaknya yang tidak pernah terkabul selama ia hidup. Jangankan bertemu, surat, email, atau telepon dari anak-isterinya juga tidak ada.
Tahun 2004, saya diajak kawan ikut kelompok meditasi lintas agama. Semua orang boleh datang ke kelompok ini tanpa memandang latar belakang agamanya.
Ternyata Frans ikut juga kelompok ini.
Pada awalnya, saya enggan bergabung. Saya bilang, “Ngapain kamu ikut kelompok new age begini!”
Jawab Frans, “Di sini kita bisa berdoa bersama teman-teman dari agama lain. Lagi pula, banyak hal yang menjadi pertanyaan saya berkaitan iman, terjawab di sini. Di sini iman katolik saya semakin diteguhkan!”.
Bulan Desember 2011, menjelang Natal, Frans mengajak saya bertemu di sebuah mal di Tangerang.
Kami ketemu pukul 19.00 dan ngobrol sampai pukul 22.00. Di sini Frans mengungkapkan akan segera ikut inisiasi untuk menjadi anggota penuh kelompok meditasi ini.
Namun, mulai 2012, inisiasi di Indonesia tidak ada lagi. Mereka harus ke Taiwan untuk inisiasi. Biaya deposit untuk perjalanan ke sana sekitar Rp 6 juta.
Frans akan mengumpulkan uang sebesar itu agar inisiasinya tidak tertunda lagi.
Frans berharap, jika ia tidak bisa melakukan yang terbaik untuk istri dan anaknya di dunia ini, sekurang-kurangnya, inisiasinya Frans akan membebaskan istri dari dosa dan anak-anaknya.
Motivasi itu tampaknya “naïf”, namun bagi saya motivasi itu mulia dari seorang suami dan ayah yang sangat mencintai keluarganya.
Ia sudah jauh berpikir ke depan. Cintanya pada istri dan anak sudah bersifat rohani dan melampaui cinta fisik.
Ia tidak mau membebankan derita itu pada orang lain, tetapi ia mengambil beban itu dan membiarkan dirinya “terluka,” memikul “dosa” yang tidak dilakukannya. (Bersambung)
Syering Sebelumnya:
Frans: Pelari Hingga Garis Akhir (1)
Frans: Pelari Hingga Batas Akhir Bertahan dalam Kesusahan (2)
Frans: Pelari Hingga Batas Akhir yang Selalu Jaga Kesehatan (3)
Belajar Tegar seperti Frans (1)
Belajar Tegar seperti Frans (2)
Belajar Tegar seperti Frans: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula (3)
Belajar Tegar Seperti Frans: Menanti Datangnya Rekonsiliasi Keluarga (4)