Mengapa harus servant leadership (jiwa kepemimpinan yang mau melayani daripada mengeruk keuntungan)?
Gagasan ideal ini sepertinya memang melawan arus, terutama ketika para pemimpin justru ingin dilayani daripada melayani. Mereka menjadi pangreh praja daripada pamong praja.
Yang pasti, kata GSC, kini etos pribadi servant leadership dalam diri para pemimpin malah semakin perlu didengungkan terutama ketika tendensi umum para pemimpin masyarakat –terutama di panggung politik— hanya ingin dan berkecenderungan mau mengeruk keuntungan, kekuasaan.
Seperti kata Lord Achton (1834-1902) dengan sesantinya yang sangat terkenal yakni ‘Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, maka GSC merasa perlu harus meletupkan semacam ‘virus’ kesadaran umum di tengah umat beriman tentang pentingnya ‘menternakan’ bibit-bibit servant leadership di kalangan masyarakat.
Groaming atau simpelnya usaha menelorkan dan mengembangbiakkan etos kepemimpinan yang melayani adalah tugas mulai yang perlu ditindaklanjuti. Terutama upaya bisa menemukan para calon-calon pemimpin bermoralitas tinggi, punya integritas penuh dan yang tak kalah penting yakni etos kerja servant leadership.
Fenomena Jokowi
Dalam sebuah diskusi ringan, gagasan tentang membumikannya gerakan mengembangkan etos servant leadership itu makin terasa, setelah jagad politik Indonesia seakan ‘dikejutkan’ dengan Fenomena Jokowi. Semua sepertinya sepakat bahwa Jokowi adalah tipikal pemimpin baru di Indonesia yang menawarkan ‘resep’ dan ‘etos kepemimpinan’ yang baru pula.
Forum diskusi GSC di Jakarta Pusat, Sabtu (8/12) pekan lalu mengamini bahwa kebiasaan blusukan yang hingga kini dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ini bukan sekedar hobi ingin melihat-lihat sikon riil masyarakat.
“Saya melihatnya sebagai sebuah etos kerja seorang pemimpin yang ingin mendengarkan ‘suara rakyat’ untuk kemudian tahu persis apa persoalannya yang ada di masyarakat dan lalu memutuskan sebuah kebijakan publik yang berguna untuk masyarakat kebanyakan (bonnum commune),” kata Paul Soetopo, penggagas dan CEO Gaudium et Spes Community (GSC) dalam introduksinya mengawali sebuah diskusi ringan dengan beberapa kalangan awam katolik dan kristen di Jakarta Pusat, akhir pekan lalu.
Servant leadership tawaran Greenleaf
Tommy Kastanya yang menjadi nara sumber dalam diskusi ini mengamini urgensi mengadakan groaming terhadap potensi munculnya kwalitas pemimpin beretos servant leadership ini. Dengan mengambil analisis Robert K. Greenleaf tentang gagasan besar mengenai “Servant Leadership”, Tommy pun lalu menerangkan fenomena kepemimpinan ‘baru’ yang pernah dirintis dan juga dipraktikkan sendiri secara konsekuen dan serius oleh Mr. Greenleaf di organ korporasi bisnisnya.
Tommy Kastanya –seorang trainer kepemimpinan dan direktur sebuah lembaga ekonomi mikro—ini kemudian menerangkan, sudah di tahun 1970-an Robert K. Greenleaf sudah menerapkan apa yang mereka yakini sebagai etos servant leadership.
Secara singkat, kata Tommy mengutip ‘credo’ Robert K. Greenleaf, maka karakteristik terbagus dari seorang pemimpin adalah sikap dan kerelaan hati untuk melayani. Mengadaptasi pemikiran Robert K. Greenleaf, demikian paparan Tommy, maka CEO Greenleaf Center Larry Spears pun kemudian meyakini beberapa 10 hal penting yang menjadi ciri terbaik dari seorang pemimpin beretos kerja servant leadership.
Ke-10 hal penting itu adalah sebagai berikut:
- Listening: Kesediaan menyimak, mendengarkan, memperhatikan orang lain;
- Empathy: Memiliki empati yang besar;
- Healing: Menghasilkan pemulihan;
- Awareness: Meningkatkan kesadaran;
- Persuasion: Mampu melakukan persuasi;
- Conceptualization: Mampu membuat konsep yang jelas;
- Foresight: Mampu membuat prakiraan ke depan;
- Stewardship: Mampu melakukan penatalayanan;
- Commitment to the Growth of People: Punya komitmen untuk mengembangkan orang;
- Building community: Mampu membangun komunitasnya
(Bersambung)
Photo credit: Diskusi GSC bertema Servant Leadership di Jakarta 8 Desember 2012 (Mathias Hariyadi)
Artikel terkait: