TOPIK ini baru muncul di sesi-sesi akhir menjelang Forum Cripingan Alumni Seminari Mertoyudan di Jakarta hari Rabu malam (6/12/17) rampung.
Beberapa alumni Seminari Mertoyudan melemparkan pertanyaan kritis-reflektif kurang lebih seperti ini:
- Bagaimana masa depan Gereja Katolik (di Indonesia) dimana komposisi umatnya sebagian besar berasal dari kalangan anak-anak muda kategori Generasi Millenial “Zaman Now”?
- Apakah hierarki sudah mengantisipasi model pewartaan iman seperti apa yang mampu menjawab ‘tantangan zaman’ ke depan dengan target audiens yang kini semakin ditandai perubahan sangat cepat di banyak segi kehidupan?
- Masih merasa diri laku ketika mempromosikan cara hidup bakti kepada Tuhan dengan menjadi seorang imam religius maupun diosesan atau menyandang status sebagai bruder dan suster?
Atas pertanyaan terakhir ini, Th. Wiryawan yang banyak berkecimpung di dunia konsultasi bisnis perbankan dan finansial menjawab dengan memaparkan ilustrasi pengalamannya bertemu dengan Uskup dan para imam formator (pendidik calon imam) dalam sebuah pertemuan.
Masih perlukah promosi panggilan?
Kurang lebih diungkapkan demikian. Pada pertemuan antara para imam formator bersama Uskup yang membidangi kegiatan promosi panggilan hidup bakti (dengan menjadi imam, bruder, suster), muncullah refleksi atas model promosi panggilan yang secara konvensional hingga kini masih berlangsung.
Baca juga: Bingung Hadapi Generasi “Now” Milennial? Jangan Sampai Terkena Enam Kutukan (4)
Seperti banyak terjadi di mana-mana, setiap kali berlangsung dan bertepatan dengan Hari Minggu Panggilan, maka di mimbar altar akan muncul beberapa tokoh imam, bruder atau suster yang ‘bersaksi’ atas perjalanan panggilannya. Paparan testimonial seperti itu diharapkan bisa melentingkan api kecil yang hidup di hati orang agar di kemudian hari bersedia menanggapi panggilan Tuhan dengan masuk seminari, novisiat, atau tahun rohani untuk menjadi calon imam, bruder dan suster.
Kali lain, dibangunlah sejumlah booth dimana diekspose aneka pernak-pernik sejarah panggilan beberapa tarekat religius agar sejenak bisa ‘dilihat’ orang usai misa dan –siapa tahu– para ‘penonton dadakan’ itu merasa terpanggil mengikuti jejak para frater, suster dan bruder ‘penjaga’ booth tersebut.
Kalau melihat sejarah panggilan teman-teman alumni Seminari Mertoyudan dan juga Novisiat Serikat Jesus di Girisonta, mayoritas teman-teman itu tertarik masuk seminari bukan karena forum publik ‘paparan testimonial’ di panggung altar atau karena melihat ‘pameran panggilan’ di halaman gereja usai misa. Lebih dari itu semua, teman-teman itu tertarik menjadi imam karena hatinya pernah dibuat ‘tersentuh’ atau ‘terkesan’ oleh sosok imam tertentu. Biasanya terjadi pada usia muda, ketika teman-teman itu aktif menjadi misdinar. Lingkup perjumpaan itu ada di seputaran pastoran dan gereja.
Kerasulan kunjungan pastoral
Seorang teman di Purwakarta bernama YB Sutarno mengaku dirinya amat terkesan dengan sosok alm. Romo Stormmersand SJ, imam Jesuit berpostur tinggi besar namun setia mengunjungi umat katolik sederhana di Baturetno, Wonogiri dan sekitarnya. Sutarno sendiri bukan seorang mantan, tapi kesan mendalam akan sosok imam sederhana nan ramah itu sangat membekas di hatinya.
Nah, pertanyaannya, sekarang ini masih adakah kerasulan kunjungan keluarga yang dulu sering dilakukan para imam? Lalu, masih adakah sesi pengajaran iman katolik untuk anak-anak dan remaja oleh imam dan bukan oleh awam di paroki atau tempat lain dimana para pastor paroki itu bertugas?
Seorang tokoh katolik yang kini sudah berumur di atas 70 pernah mengeluhkan betapa imam-imam sekarang ini terlalu ‘jaim’ dan lebih suka mengurung diri di kamar pastoran berlama-lama daripada menyediakan diri keluar pastoran dan berkeliling ‘pasar’ mengunjungi umatnya. Anak-anak bapak ini sama sekali tidak kenal lagi siapa pastor parokinya, termasuk nama pastor parokinya pun tidak pernah ‘nyangkut’ di memori mereka.
Makin kurang intensifnya ‘perjumpaan’ antara pastor dan umatnya bisa jadi menjadi salah satu faktor mengapa banyak orang merasa bahwa hidup bakti sebagai imam itu tidak terlalu menarik hati bagi mereka.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana harus menemukan ‘strategi’ baru guna mampu membetot atensi umat agar satu-dua di antara mereka mengikuti ‘jejak’ menjadi pewarta iman sebagai imam, bruder, dan suster?
Terhadap pertanyaan ini, kita kembali pada paparan Krisna soal ‘dunia’ alam pikir Generasi Millenial “Zaman Now” sekaligus mengutip catatan kritis Th. Wiryawan usai mengikuti sesi pertemuan dengan Uskup dan para imam yang berkiprah dalam bidang formatio.
Mengikuti hukum bisnis modern yang harus mengadopsi cara-cara baru untuk menarik konsumen, maka mesti dicari pula model promosi panggilan baru yang mampu menarik hati Generasi Millenial “Zaman Now” itu.
- Apakah testimonial para frater, suster, dan bruder di atas mimbar itu cukup memikat hati kaum remaja “Zaman Now”?
- Apakah tontonan ekspose panggilan di booth itu cukup memikat mereka?
Mungkin ya, tapi bisa jadi juga tidak.
Baca juga:
http://www.sesawi.net/2013/03/02/god-is-the-bigger-elvis-aktris-besar-hollywood-jadi-suster-rahib-benediktin-1/
http://www.sesawi.net/2013/03/02/god-is-the-bigger-elvis-aktris-besar-hollywood-jadi-suster-rahib-benediktin-2/
Esensi pesan bisa jadi tidak berubah, namun kemasan pesan itu bisa jadi harus mengikuti tren yang sedang berkembang. Dan mengikuti ‘alam pikir’ Generasi Millenial “Zaman Sekarang” ini, rasa-rasanya promosi cara hidup bakti melalui paparan audio-visual menjadi lebih menarik. Baik dari perspektif seninya maupun jangkauan sebaran informasi yang bisa diserap oleh semakin banyak audiens.
Itu pun sifatnya borderless, timeless, dan less expensive daripada –misalnya—harus mengemas paket ‘jualan cerita’ dan ekspose panggilan yang usianya hanya sehari. Begitu panggung pameran bubar, maka bubar pula memori orang.
Model promosi panggilan yang baru
Tentang topik bagaimana masa depan Gereja Katolik (di Indonesia) berhadapan dengan kegamangan sejarah karena muncul gaya hidup serba instan dan penuh ‘sukacita’ yang diusung oleh Generasi Millenial “Zaman Now”, maka –seperti kata Th. Wiryawan—para Uskup dan imam formatores mesti memikirkan cara-cara baru untuk ‘berpromosi’ panggilan.
Tiada pastor, maka tiada pula misa atau perayaan ekaristi. Tapi, apakah slogan seperti ini sudah memadai untuk ‘memotivasi’ Generasi Millenials untuk mau mengikuti Kristus dan kemudian terlibat aktif ‘menyelamatkan jiwa-jiwa’?
Bukankah para calom imam non konvensional yang kemudian masuk seminari ketika “umurnya sudah jadi’ itu memutuskan diri jadi frater, lantaran jiwanya pernah ‘tersentuh’ sesuatu? Jadi, pengalaman spiritual yang akhirnya membawa mereka sampai akhirnya mau menempuh jalan hidup bakti tersebut.
Bila ini benar, maka agaknya model ‘promosi panggilan’ itu mesti dicarikan terobosan-terobosan baru agar pesannya mengena di hati Generasi Millenial. Dan ini tugas tak ringan yang mesti dipikirkan hierarki, ketika bicara masa depan Gereja Katolik (di Indonesia). (Selesai)