ORANG Indonesia sudah sedemikian latahnya menyebut bahwa politik itu kotor. Di situ ada kekuasaan yang harus diperebutkan antara para kontestan. Lalu, ketika berebut kekuasaan melalui mekanisme pemilu atau pilkada, maka uang lalu bicara hingga kemudian muncullah money politics: menggunakan uang untuk mendulang suara demi kemenangan memperoleh suara terbanyak. Dan akhirnya kontestan itu bisa berhasil menjadi bupati, walikota, gubernur, dan anggota dewan. (Baca: Gereja Katolik Berpolitik, J. Kristiadi Tantang KWI Sediakan Roadmap Cetak Kader (2)
Bila demikian, memanglah benar bahwa politik itu ‘kotor’ karena di sana orang bisa mandi uang dan lainnya malah harus mengeluarkan uang.
Kenyatan itu tak dibantah oleh pengamat politik senior J. Kristiadi dari CSIS. Apalagi kalau harus melihat karut-marut jagad perpolitikan di Indonesia sekarang ini, ketika “money talks” terjadi di segala lini kiprah politik praktis. Mau menjadi anggota jadi, harus setor duit; mau jadi calon bupati atau walikota, ya harus setor duit ke partai, mau menggolkan sebuah RUU duit juga bicara.
Bahkan, seorang anggota DPR malah terus-terang mengatakan, “Untuk meloloskan sebuah RUU pun, partai pendukung RUU harus setor duit kepada mitra partai lain guna memperoleh dukungan agar RUU bisa menjadi UU.”
Penuh siasat
Menurut J. Kristiadi, politik itu pada dasarnya bermain siasat dan strategi untuk memenangkan sebuah ‘pertempuran’ yakni perebutan kekuasaan. Mekanismenya terjadi melalui pemilu atau pilkada. Karenanya, kata dia, para politisi yang ingin berkiprah membangun bangsa dan negara ya harus pintar-pintar bermain siasat dan memainkan strateginya untuk memenangkan ‘pertarungan’ tersebut: memperoleh kekuasaan dan akhirnya bisa menjadi bupati, walikota, gubernur, anggota dewan, dan bahkan presiden.
Nah, masalahnya adalah bagaimana bisa bermain ‘cantik’ mengatur strategi dan siasat tersebut agar kemenangannya menjadi valid, tidak cacat hukum, dan secara moral politik benar dan layak. Menurut J. Kristiadi, mau tidak mau dari sono-nya para kader politik itu harus punya dulu yang namanya etika berpolitik yang benar. Etika politik ini antara lain menolak penggunaan uang untuk merebut kekuasaan –pendek kata money politics.
Investasi Gereja jangka panjang
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menjadi politisi andal, investasi waktu, tenaga dan kucuran dana finansial tidak bisa diabaikan. Pertanyaannya, maukah dan mampukah Gereja Katolik Indonesia dan KWI berkeputusan berinvestasi jangka panjang untuk meretas kader-kader calon politisi katolik yang andal, punya etika politik yang baik dan benar?
Ini bukan hanya soal waktu dan investasi, melainkan juga sebuah kemauan politik Gereja.
Seperti diungkapkan oleh Ibnu, seorang calon walikota yang gagal di tengah jalan, dirinya merasa kurang mendapat dukungan Gereja Katolik saat maju mencalonkan diri sebagai pejabat tingkat lokal hanya lantaran pakai peci kopiah. “Padahal, Bung Karno sendiri yang mempopulerkan peci kopiah ini sebagai identitas kultural orang Indonesia, sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama,” ungkapnya haru di forum Komisi Kerawam KWI, Jumat (21/2/2016) malam pekan lalu.
Seorang petugas partai lain bersaksi bahwa menjadi politisi katolik yang baik tidak harus berdiri di garis depan sebagai anggota dewan. Ia mengaku posisinya sebagai anggota DPP di bidang ideologi menjadi sangat strategis, karena ikut merumuskan gagasan-gagasan penting yang mengedepankan nasionalisme dan pluralisme.
Kalau mau, diusahakan biar jadi
Seorang anggota dewan lainnya mengatakan ketidaksetujuannya kalau di kalangan umat katolik tidak ada banyak kader-kader potensial untuk bisa duduk sebagai anggota dewan atau pejabat publik. Menurut pengalamannya bergabung dalam sebuah forum masyarakat madani, pihak berhasil ‘menjadikan’ orang-orang potensial itu sebagai anggota dewan lokal.
Kembali lagi pertanyaannya, maukah Gereja Katolik dalam hal ini KWI dan gereja-gereja lokal seperti Keuskupan, Kevikepan, dan paroki-paroki memberikan dukungan positif kepada kader-kader potensial ini?
Menurut Michael Utama, salah satu pendiri PUKAT, apa yang dilakukan Komisi Kerawam KWI dengan menggelar forum seperti ini merupakan satu langkah maju. Setidaknya mensinergikan kekuatan bersama di antara para politisi katolik untuk membangun tatanan sosial masyarakat yang adil, demokratis, dan transparan untuk terciptanya bonum commune.
Seorang politisi dari Senayan malah berani mengatakan dirinya mengorbankan banyak hal dengan keputusannya menjadi anggota dewan. Gajinya sebagai direktur BUMN jauh lebih banyak dari apa yang dia terima sebagai anggota DPR. Itu semua, kata dia, karena sebuah motivasi dan kepentingan luas yang lebih besar: membangun tatanan kemasyarakatan demi terciptanya bonum commune.
Harus netral dan di atas semua golongan
Nah, kembali lagi pada pertanyaan awal: mungkinkah Gereja, KWI, Keuskupan, Kevikepan, dan Paroki memberikan dukungan riil kepada para politisi katolik yang ada di wilayahnya. Secara umum dijawab ‘ya’, namun tidak boleh diberikan kepada individu-individu tertentu karena –kata Romo Guido Suprapto selaku Sekretaris Komisi Kerawam KWI — “Gereja Katolik harus berdiri di atas semua kepentingan dan tidak boleh membela satu-dua orang dan kemudian meninggalkan politisi lainnya dari kubu partai yang berbeda.”
Pada kenyatannya, memang KWI tidak pernah memberikan dukungan pada politisi-politisi tertentu melainkan “berdiri di atas segala kepentingan”. Rasanya, ini sebuah langkah taktis, karena bagaimana pun para politisi katolik itu ada dimana-mana; tidak hanya ndekem berada di satu partai politik semata. (Baca juga: Gereja Katolik Berpolitik, Komisi Kerawam KWI Rangkul Politisi dan Masyarakat Madani (1)