Selasa, 3 Desember 2024
1Kor 9:16-19.22-23;
Mzm 117:1.2;
Mrk 16:15-20.
“SAYA lebih memilih Gereja yang memar, terluka, dan kotor, karena telah keluar ke jalanan; daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan terpaku pada rasa aman sendiri.” (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium, 49)
Paus Fransiskus merindukan Gereja untuk tidak hanya tinggal dalam kenyamanan tetapi bergerak keluar ke pinggiran, baik secara geografis maupun eksistensial, untuk menjangkau mereka yang terlupakan, miskin, atau tersisih.
Dalam banyak kesempatan, Paus berbicara tentang pentingnya Gereja hadir di dunia yang terluka.
Panggilan untuk menjalankan misi bukan hanya soal menginjili, tetapi juga tentang membawa penyembuhan bagi mereka yang terluka secara fisik, emosional, atau spiritual.
Paus Fransiskus menekankan bahwa misi berakar pada kasih Allah. Setiap orang yang telah merasakan kasih Allah dipanggil untuk membagikan kasih itu melalui tindakan nyata. Misi bukan hanya tentang kata-kata, tetapi lebih tentang perbuatan kasih yang menjawab kebutuhan konkret sesama.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Mereka pun pergilah memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.”
Kita dipanggil untuk menjadi saksi hidup Kristus di dunia ini. Pewartaan Injil tidak selalu berarti berdiri di mimbar atau berbicara lantang tentang iman.
Pewartaan yang sejati terjadi ketika kita menghidupi nilai-nilai Injil dalam keseharian kita, melalui sikap, tindakan, dan relasi dengan sesama.
Perjumpaan dengan realitas kehidupan yang penuh luka, derita dan kekurangan itulah perwujudan misi kita sebagai pengikut Kristus.
Tuhan menunjukkan kasih, pengampunan, kerendahan hati, dan kepedulian kepada yang kecil dan terpinggirkan. Inilah nilai-nilai Injil yang juga dipanggil untuk kita hidupi.
Namun, ini bukanlah panggilan yang mudah. Menghidupi nilai-nilai Injil sering kali menuntut pengorbanan, bahkan menghadapi tantangan dari dunia yang sering kali tidak sejalan dengan kebenaran Allah.
Tetapi di sinilah letak kekuatan iman kita. Dalam kesetiaan kita pada nilai-nilai Kristus, kita memberi kesaksian bahwa hidup bersama Allah membawa damai, sukacita, dan harapan yang sejati.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku berani “kotor dan terluka” demi Injil?