GUGUSAN pegunungan karst Rammang-rammang di Maros, Sulawesi Selatan berada tidak jauh dari Kota Makassar. Ini merupakan adalah gugusan pegunungan karst kedua terbesar di dunia.
Nomor satu ada di China. Luasnya 43.700 hektar dan memiliki 280 gua yang sudah diteliti. Sebanyak 16 gua adalah situs prasejarah. Masih banyak gua lain yang belum diteliti. Terbentuk sudah jutaan tahun lalu. Dihuni manusia puluhan ribu tahun lalu.
Jejaknya adalah lukisan manusia purba berusia sekitar 40 ribu tahun di dinding-dinding tebing.
Atas saran Weilin Han -seorang konsultan pendidikan yang sering membantu Eco Camp- saya berkunjung pertama kali ke Rammang-rammang tahun 2021. Terjadi usai memimpin program retret para Suster SPM; ke sana juga ditemani sejumlah Suster SPM dan Romo Wong Wangge SVD – imam misionaris di Ghana, Afrika yang waktu itu sedang cuti.
Saat itu, kami tidak bermalam.
Kali tahun 2022 ini, seusai memimpin Retret Ekologis di Pusat Ziarah Sa’pak Bayo-bayo Tana Toraja, saya memutuskan pergi kembali ke Rammang-rammang dan juga bermalam. Ingin bisa melihat kelelawar terbang di sore hari dan matahari terbit.
Raymond, anak Pak Paul Surya dan Bu Mary Johnson yang tinggal di El Paso, Texas, AS saat itu sedang berlibur di Indonesia. Maka, saya ajak dia ikut ke Rammang-rammang sepulang dari Toraja.
Raymond seorang alumnus Atmosoheric Engineering dari Michigan University di Ann Arbor, AS.
Ketemu Ketua PUKAT Nasional
Sesudah terbang dari Toraja ke Makassar, kami dijemput Pak Julius Tedja dan Aldo Tedja, puteranya, untuk makan siang. Saya sempat ngobrol dengan Pak Julius Tedja – kini Ketua PUKAT Nasional. Ini terjadi atas saran Pak Robert Hadi, Ketua PUKAT Nasional dari Bandung sebelumnya.
Kami ngobrol kemungkinan kerjasama PUKAT di Makassar dengan masyarakat Toraja; khususnya CU Sauan Sibarrung di bidang pangan, UMKM, pariwisata, dan diklat tenaga kerja.
Kami diantar Aldo Tedja dari Makassar ke Dermaga 1 Rammang-rammang. Dengan Aldo, kami ngobrol tentang empat peluang bisnis ekologis yaitu untuk mendirikan fasilitas perumahan lansia, koperasi pangan, aneka jasa home service, dan catering makanan enak dan sehat.
Hanya sejauh 43 km dari Makassar
Jarak Makassar ke Rammang-rammang sejauh 43 km dan ditempuh sekitar satu jam perjalanan dengan mobil pribadi.
Pak Ridwan guide kami tahun lalu sudah dengan sabar menunggu kedatangan kami. Tentu saja juga sudah siap dengan perahunya.
Lama perjalanan menyusuri sungai menuju Rammang-rammang sekitar 30-40 menit. Dengan biaya Rp 350-450 ribu pp.
Kami sempat berhenti di Taman Batu yang sangat unik bentuknya pipih seperti layar dan seperti candi.
Tahun lalu, kami ke Gua Kunang-kunang karena banyak kunang-kunang kalau malam hari. Tapi kali ini tidak bisa, karena sore air sudah surut dan laju perahu bisa kandas.
Kami bermalam di rumah keluarga Daeng Serang. Letaknya di sebelah mushola. Rumah keluarga ini juga merupakan satu satunya penginapan di Kampung Berua Dermaga Tiga.
Biaya menginap termasuk makan malam dengan ikan, telur dan sayur hasil panen sendiri per orang Rp 150-200 ribu. Mereka hanya punya seorang puteri yang masih duduk di bangku SMP di Maros. Tiap hari pulang-pergi sekolah naik perahu diantar ayahnya.
Banyak ikan dan udang di Ramang-ramang
Mereka punya warung, sawah, sapi, dan kolam untuk beternak udang dan ikan. Hampir semua orang di Rammang-rammang masih bersaudara dan punya pekerjaan serupa yaitu menjadi petani dan pengusaha udang dan ikan dari kolam di samping rumah mereka.
Harga udang lumayan tinggi sekitar Rp 100-150 ribu per kg tergantung besarnya. Kalau musim panas, panen udang lebih banyak dan lebih besar. Kalau musim hujan kurang bagus panennya.
Menyaksikan ribuan kelelawar terbang
Sore hari, saya melihat ribuan kelelawar terbang. Melihat arah terbangnya, puteri Pak Daeng Serang mengatakan nanti malam akan hujan. Ayah Pak Daeng Serang memasang mesin pompa untuk mengeringkan kolam sebagai persiapan menebar benih udang dan ikan.
Malam kami tidur di kamar Pak Daeng yang disewakan. Mereka sendiri tidur di luar kamar. Katanya akan ada tambahan kamar tidur dan toilet.
Rumah mereka ini baru dibangun tahun ini dan masih belum tuntas. Kayunya dibeli dari kota dan ditarik perahu lewat sungai dengan cara ditenggelamkan dan diikat di balik perahu.
Untuk membuat rumah dibutuhkan biaya lumayan besar sampai Rp 300-500 juta. Mereka sering menerima tamu untuk bermalam; termasuk turis asing.
Mushola dibangun atas bantuan Bank Indonesia tahun 2017 dan ini menjadi satu satunya di Kampung Berua yang dibangun di atas tanah Daeng Serang.
Daeng Serang juga yang sehari-hari bertugas membersihkan mushola. Masjid ada Dermaga dua.
Saya yakin bahwa Rammang-rammang dan Sa’pak Bayo-bayo sebenarnya masih gugusan pegunungan karst yang sama.
Saya melihat banyak kesamaan bentuk, warna, dan gua guanya. Fasilitas Pusat Ziarah Sa’pak Bayo-bayo juga lebih lengkap. Tinggal ditambah lahan untuk areal tempat parkir agar lebih banyak orang bisa datang.
Malam itu, kami berdua menjadi tamu satu-satunya yang bermalam. Rombongan turis dari Palembang yang kami jumpai di Toraja juga mampir ke Rammang-rammang.
Tahun lalu, saya ke Grand Canyon dan Sedona di AS. Kedua lokasi ini selalu dikunjungi puluhan juta orang setiap tahunnya. Rammang-rammang baru dikunjungi 50-75 ribu orang setiap tahun.
Mengapa tidak terlalu populer bahkan di Makassar pun?
Mengapa Grand Canyon dan Sedona lebih banyak dikunjungi? Selain sudah fasilitas untuk tamu, agaknya ini juga menyangkut kebiasaan orang Indonesia.
Di Rammang-rammang ada Hotel Eco Lodge yang bagus dan home stay di rumah penduduk. Hotel di Makassar cukup banyak. Jarak dari Makassar ke Rammang-rammang juga terbilang sangat dekat.
Namun saya perhatikan orang Amerika sana lebih memprioritaskan main ke alam bebas daripada “tradisi” orang Indonesia ketika tamasya.
Sering saya lihat orang-orang tua sampai menggendong anak-anak mereka yang masih kecil untuk hiking ke alam. Anak yang besar jalan sendiri. Orang tua-tua juga masih senang rekreasi ke alam. Di banyak tempat sudah disediakan jalur kursi roda dan kemudahan untuk orang tua dan orang berkebutuhan khusus.
Lokasi Rammang-rammang sungguh tidak jauh dari Makassar. Dan saya heran benar, orang-orang di Makassar saja banyak yang tidak pernah -bahkan malah tidak tahu- apa dan di mana Rammang-rammang. Berkali kali sudah saya datang di Makassar dan jarang diajak berkunjung ke Rammang-rammang.
Pagi hari, kami bangun agak subuh untuk melihat matahari terbit. Alangkah indahnya malam yang hening bertaburan bintang yang sangat jelas. Karena di sini tidak ada polusi.
Alangkah indahnya ketika perlahan-lahan sinar matahari mulai tampak semakin terang. Kami meninggalkan Rammang-rammang dengan perasaan bahagia.