TAHUN ini adalah tahun yang bersejarah bagi hidupku. Mengapa? Karena pada tahun ini tepat sudah selama seperempat abad saya berkarir menjadi seorang guru. Karena pada tahun ajaran baru tahun 1995/1996 saya pertama kali menjadi guru di SMP Santo Augustinus di Kota Ketapang, Kalbar.
Selama 25 tahun menjadi guru tentu banyak suka dukanya. Bila saya menengok ke masa itu, kadang saya merasa sedih, kadang juga merasa ingin tertawa bila mengingat pengalaman kala itu.
Kisah awal
Awal saya menjadi guru di SMP Santo Augustinus (dulu SMP Usaba 2) adalah sebagai berikut. Ketika saya masih menjadi mahasiswa Universitas Sanata Sanata Dharma (dulu masih berstatus IKIP Sanata Dharma) Yogjakarta, kami secara rutin dikunjungi oleh Pengurus Panitia Beasiswa (PBS) Keuskupan Ketapang.
PBS adalah sebuah lembaga yang memberikan beasiswa kepada kami. Pada waktu itu, PBS dipimpin oleh Pater Jeroen Stoop CP, seorang imam misionaris Congregatio Passionis (CP) asal Negeri Kincir Angin. Beliaulah yang mencari dana ke Negeri Belanda untuk membiayai kami para mahasiswa yang memiliki tekad untuk kuliah tetapi tidak mampu secara ekonomi.
Saat itu bulan Juli 1994. Saya sudah bersiap-siap untuk maju ujian sarjana. Karya tulis sudah disusun. Tinggal perbaikan sana-sini. Secara materi, karya tulis saya sudah siap diuji. Hanya secara mental aku belum siap.
Judul karya tulis saya adalah Logika Matematika. Waktu itu yang datang mewakili PBS untuk mengunjungi kami para asuhan di Yogja adalah Sr. Albertina OSA. Beliau adalah salah satu pembina para asuhan PBS Keuskupan Ketapang.
Perbaikan gizi
Seperti biasa, kami selalu bergembira kalau ada pengurus PBS datang mengunjungi kami.
Mengapa? Setiap ada Pembina PBS yang datang pasti ada “perbaikan gizi” bagi kami para asuhannya.
Begitu teman-teman memberi istilah.
Pada kesempatan itu Sr. Albertina OSA membawa kami para asuhan PBS di Yogja untuk makan siang di sebuah restoran di Jalan Solo, Jogjakarta.
Aku tidak tidak ingat lagi secara persis, restoran tempat kami makan waktu itu. Kalau tidak salah Restoran Sintawang.
Ada sekitar 15 mahasiswa asuhan PBS yang ada di Yogja kala itu. Para mahasiswa putera mengontrak di dua rumah yang berhadapan di Jalan Jataju, Gang Camar, Pringwulung, Jogjakarta. Sedangkan para mahasiswi tinggal di Asrama Syantikara milik para Suster CB yang terletak di Jalan Colombo.
Waktu itu kami berangkat bersama-sama dari asrama putra yang terletak di Gang Camar, Jalan Jatayu. Cewek-cewek sengaja datang dari Asrama Syantikara dan berkumpul di asrama kami.
Maka pergilah kami ke Jalan Solo untuk makan siang. Dari asrama Putera kami berjalan kaki melintasi Sungai Gajah Wong ke Jl. STM Pembangunan menuju Jalan Gejayan. Di Jalan Gejayan kami ramai-ramai mencegat bus menuju Jalan Solo.
Setelah sampai di restoran, Sr. Albertina OSA dan para cewek sibuk pesan menu makan pada siang itu. Ada sup jamur, ada ikan goreng, ikan panggang, ada ayam goreng, ada ayam panggang, ada daging sapi, ada tumis kangkung, tumis sawi. Ada mie goreng dan ada sambal. Ada es teh dan ada es jeruk.
Dan yang tidak pernah ketinggalan adalah kerupuk. Setiap warung atau restoran di Jogja selalu ada kerupuk.
Tidak ketinggalan ada pula buah pisang, buah jeruk dan buah apel.
Ketika semua hidangan sudah siap disantap, Sr. Albertina memberi sebuah pengumuman. “Para mahasiswa putera boleh memesan sebotol bir. Sedangkan mahasiswa puteri dilarang minum minuman keras,” begitu kata Sr. Albertina.
Maka saya pun memesan sebotol bir, sama dengan para mahasiswa putra lainnya.
Setelah berdoa, kamipun makanlah. Sambil menikmati makanan kami mengobrol di sana-sini. Semakin lama obrolannya semakin seru, terutama para mahasiswa putera. Maklum masing-masing kepala sudah menjadi ringan. Akhirnya satu persatu menu makanan kami sikat sampai tuntas. Tak ada yang tersisa. Kami pulang seperti burung mau terbang.
Ketika berdiri menunggu bis pulang aku sempat ngobrol dengan Sr. Albertina.
“Kamu kapan selesai Mon?,” tanya Sr. Abertina.
“Hampir Suster. Ini tinggal maju ujian,“ begitu jawabku.
“ Kamu jurusan matematika kan?,” tanyanya lagi.
“Ya, Suster.”
“Kami masih memerlukan guru matematika. Kalau kamu sudah selesai bergabunglah dengan kami di SMP Usaba 2,” demikian tawaran Sr. Albertina yang kala itu adalah Ketua Yayasan Pelayanan Kasih yang mengelola SMP Usaba 2.
“Baik Suster. Terima kasih atas informasi dari Suster.”
Bulan Oktober 1994 saya maju ujian, tapi gagal total. Saya tidak siap secara mental. Secara penguasaan materi saya cukup, tapi secara mental saya tidak siap. Ketika ditanya oleh dosen penguji (Pak Eko Priyatmo – sekarang rektor USD) aku bingung. Sehingga ketika pengumuman kelulusan, aku dinyatakan tidak lulus.
Doa dulu sebelum maju ujian
Bulan Januari 1995 saya maju ujian untuk kedua kalinya. Kali ini aku sudah siap secara mental maupun penguasaan materi. Sebelum hari ujian itu tiba saya sudah melakukan doa Novena 3 kali Salam Maria selama 9 hari berturut-turut pada jam yang sama.
Dosen penguji utama saya waktu itu adalah Dr. Yansen Marpaung. Saya mampu menjawab hampir semua pertanyaan yang diajukan tiga dosen penguji kala itu. Ketika yudisium, tentu saja saya dinyatakan lulus.
Pada hari pengumuman kelulusan itu saya mendapat kebahagiaan ganda karena tulisanku dimuat di Harian Kompas. Honor dari tulisan itu cukup untuk naik pesawat pulang ke Ketapang, Kalimantan Barat.
Tanggal 8 April 1995 saya diwisuda menjadi sarjana. Tanggal 14 April 1995 saya dan beberapa teman (Among, Abu, Rito dan Tadius) meninggalkan Yogja dan pulang ke Ketapang.
Sesampai di Ketapang, saya menemui Sr. Agnes yang waktu itu yang menjadi kepala SMP Usaba 2. Saya diminta mengajukan lamaran ke Yayasan.
Saya pun menemui Sr. Albertina dengan membawa surat lamaran. Dan pada bulan Juli nanti saya akan mulai mengajar di SMP Usaba 2.
Setelah semuanya beres, sayapun pamit pulang ke kampung Banjur tempat kelahiranku di Kecamatan Simpang Dua.
Dua bulan lagi saya akan secara resmi menyandang predikat sebagai seorang guru. Guru matematika (Berlanjut).