Kis. 2:14,22-33; Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10,11; 1Ptr. 1:17-21; Luk. 24:13-35]
NAMANYA adalah galau. Sebuah istilah khas dan familier bagi orang-orang muda era kini, untuk menggambarkan sebuah keadaan dimana keinginan tak sebanding dengan kenyataan. Memang sih, kata galau sudah ‘agak’ lama diorbitkan, namun sampai kini masih relevan untuk menyatakan sebuah kesedihan hati karena patah hati atau was-was akan masa depan.
Saya, tidak sekali atau dua kali, mendengarkan kisah-kisah pemuda atau pemudi yang dilanda galau, entah karena pasangan, keuangan, atau pekerjaan, dan dalam kisah-kisah itu, perasaan menjadi faktor yang paling dominan, dibandingkan akal yang sehat dan logika pikir yang berjalan. Ya, galau bisa terjadi karena perasaan terlalu menguasai jalannya aktivitas kehidupan.
Nah, inilah bahayanya orang yang terjerumus dalam lembah ‘kegalauan’, karena suasana hati yang kosong dan rapuh, dapat mempengaruhi pikiran, perkataan sampai tingkah laku seseorang, menuju sesuatu yang cenderung negatif.
Perjalanan dua murid ke Emaus adalah perjalanan dua murid Yesus yang sedang galau karena mereka sedih ditinggalkan guru mereka. Mereka dilingkupi perasaan campur aduk antara kecewa, sedih dan bingung. Suasana hati yang kacau balau dan tidak menentu ini membuat mereka memutuskan untuk menjauh dari Yerusalem, mereka ingin ‘menyendiri’ mengobati kesedihan dan kekecewaan mereka.
Namanya juga sedang galau, maka apa pun yang terjadi di sekitar mereka atau siapa pun yang berada bersama dengan mereka, tidak dipedulikan dan tidak dikenali. Gila ya, efek dari kegalauan itu! Yesus yang adalah guru mereka, hadir ‘menemani’ perjalanan mereka pun, sampai tidak dikenali karena mereka sudah terlanjur larut dalam kesedihan yang panjang. Pikiran, hati dan cara pandang mereka, menjadi beku dan dingin, bahkan ketika Yesus sendiri hadir dan berdiskusi panjang lebar sepanjang jalan dengan mereka.
Sampai di satu titik, ketika senja sudah turun dan Yesus yang ‘berpura-pura’ hendak melanjutkan perjalanan, namun akhirnya menuruti tawaran dua murid untuk tinggal. Di sinilah Yesus, menjalankan skenarionya untuk ‘membuka’ mata para murid. Caranya pun sangat indah. Yesus mengembalikan kenangan terbaik yang pernah para murid alami bersamaNya, yaitu dengan mengambil roti, memberkati dan memecah-mecahkannya, namun belum sampai mereka sadar, Yesus telah hilang entah kemana.
Kenangan terbaik, yang berkesan dan memberi kesan mendalam telah membuat hati para murid yang sedang galau, menjadi terbuka dan proses untuk ‘move-on’ pun sedang terlaksana. Mereka kembali ke Yerusalem, dan mengabarkan perjumpaan mereka dengan Yesus, kepada para murid lainnya di sana.
Dalam perjalanan hidup beriman, kita pun sering merasa galau, karena kesal, kecewa dan sedih atas pengalaman hidup, namun belajar dari para murid di Emaus, kita jangan sekali-kali meninggalkan basis komunitas beriman kita, entah keluarga, lingkungan atau gereja, karena ketika kita memilih untuk lepas, kita semakin hilang tak tentu arah. Namun, begitulah Tuhan, yang senantiasa hadir untuk menyelamatkan, karena Dia mengejar siapa pun yang hilang, dengan cara-cara yang tak terduga dan istimewa. Dan kisah dua murid di Emaus, Tuhan mengembalikan kesadaran para murid yang galau, dengan menghadirkan kembali kenangan indah di antara mereka di meja perjamuan, sehingga mereka pun bisa menemukan hati dan iman mereka, untuk bangkit dan move on. Ya, kadang Tuhan menyadarkan kita dari kesedihan mendalam, lewat repetisi kisah yang indah, supaya kita mampu memaknai kembali kehadiran dan kasih Allah dalam hidup beriman.
Selamat pagi, selamat menemukan kembali kasih Allah, lewat kisah-kisah yang indah antara kita dan Dia. GBU.