- Kejadian 2:18.
- Imamat 13:1-2-44-46.
- 1Korintus 10:31 – 11:1.
- Markus 1:40-45.
BETAPA rapuhnya diri kita. Letih, lesu, berkurangnya asa kehidupan, tak berdaya. daya ingatan semakin berkurang (pikun). Daya refleks dan gerakan yang semakin melambat. daya dan logika berpikir yang semakin meredup. Daya volutif (kehendak) yang semakin suram. Kemampuan emosional dan afektif kian memudar.
Iya, semua kemampuan rohani kita memanglah semakin aus dan menipis. Sejalan dengan usia fisik kita yang semakin bertambah. Kita menuju alam kehilangan kendali dan kesadaran.
Di sisi ragawi (fisik), hari demi hari kita lewati untuk semakin menjauh dari ‘aura tampilan yang dulu-dulu itu.’ kemampuan fisik kita semakin hari semakin tak bersinar. Daya tahan tubuh kita semakin berkurang.
Kita hidup, kata bahasa prokem, sungguh sebatas ‘merias dan berdandan demi tampilan.’ Kita hidup dan mesti disegarkan (kembali) dengan sekian banyak ‘bantuan’ pada bagian fisik kita yang telah ‘onar-onar.’
Dalam pada itu, sakit dan penyakit senantiasa siap sedia untuk menerjang dan menghempas. Saat kita sungguh serius memperhatikan alam dan lingkungan nan sehat dan apapun yang terkonek dengan hidup yang sehat, sepertinya ‘sakit dan penyakit’ tetap menilisik titik-titik kerapuhan kita.
Kemanusiaan kita ini memang ditandai dengan ‘kelemahan, keletihan serta sakit (penyakit). Menjadi orang sakit, atau mengalami sakit dan derita adalah keniscayaan.
Bagaimanapun sikap batin-hati dalam mengalami suasana sakit dan derita, itulah yang menentukan: apakah kita sanggup hadapi kenyataan sakit dan derita atau kah sebaliknya?
Demikian kita yang masih dalam keadaan ‘sehat, segar bugar dan kuat. serta masih miliki potensi diri yang ‘mumpuNI’ sebenarnya ditantang dalam sikap dan perlakuan kita terhadap para penderita atau orang sakit: Apa sungguh terbaca dan terungkap tanda-tanda kepedulian atau kah sebaliknya.
Mari kita renungkan beberapa pokok pikiran:
Pertama: Duka, derita, dan sakit berkisah tentang satu ‘jarak.’ Kita ‘menjauh atau kah mendekat?’ Dalam keadaan sakit, tua dan tak berdaya, para penderita dengan situasinya menjadi satu undangan bahkan panggilan untuk ‘didekati.’ Kunjungan penuh kasih bagi yang sakit, tua dan lemah adalah tanda ‘kedekatan untuk masuk dalam situasi yang dialami si penderita.
Namun tak jarang, keadaan semakin tua dan letih, sakit dan derita, sebaliknya menjadi alasan untuk ‘menjauh dan menjarak.’ Orang-orang tua dan sakit ada dalam sebuah jarak fisik yang terukur dan aman. Ketidakpeduliaan terlihat jelas.
Dapat dibayangkan betapa rasa derita fisik dan batin yang mesti dialami oleh orang kusta sebagaimana dilukiskan dalam Kitab Imamat 13:1-2.44-46 (Bacaan I).
Imam harusnya menyatakannya sebagai ‘manusia najis.’ Dengan pakaian lusuh, rambut terurai dan sambil menutup wajahnya, ia harus berseru, “najis, najis!”
Dan bukan kah satu derita batin yang harus ditanggung si kusta selamanya deritanya, saat “ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya?” (Im 13:46).
Kedua: Dalam keadaan derita dan sakit, saudara-saudari kita yang lemah tak berdaya sesungguhnya memanggil setiap kita untuk satu keterlibatan. Setiap kita pasti sanggup menemukan cara yang terbaik untuk ‘masuk dalam suasana penderitaan dan sakit yang dialami oleh saudara-saudari kita.
Perkara orang sakit, penyakit dan penderitaan bukanlah ‘persoalan tanggungjawab dan perhatian yang dituntut hanya dari para medis.’ Kesehataan sosial adalah tanggung bersama. Sakit dan derita membuka mata setiap kita untuk bertindak dan melakukan sesuatu.
Orang kusta yang dijauhkan dari masyarakat umum atau sendiri merasa diri mesti menjauh dari publik, justru mendekatkan dirinya pada Yesus. Orang kusta itu, sebagaimana dikisahkan dalam Injil Markus: ”… datang kepada Yesus. Sambil berlutut di hadapan Yesus ia memohon bantuanNya, katanya, ‘Kalau Engkau mau, Engkau dapat menyembuhkan aku,’ dan geraklah hati Yesus oleh belaskasih.” (Mrk 1:41).
Keterlibatan Yesus menjadi nyata saat Ia ulurkan tangan dan menyentuh si kusta itu sambil ungkapkan kata-kata pembebasan, “Aku mau, jadilah engkau sembuh.” (Mrk 1:41).
Manakah keterlibatan kita sebagai ungkapan nyata bahwa sesama yang menderita dan sakit itu diperhatikan dan disembuhkan?
Ketiga: Sakit, derita, kemalangan itu sebenarnya menguji kualitas rasa persaudaraan-persahabatan kita. Di situlah nampaknya kualitas kesetiaan dapat ditakar. Jangalah saat seseorang masih dalam dalam kondisi ‘sehat-sehat dan kuat-kuatnya’ ia didekati. Namun ia segera dijarakkan atau bahkan hilang dari ingatan serta perhatian yang ia telah jadi ‘tak berdaya, tua dan melemah (sakit).
Tentu mesti direnungkan apa dicanangkan sebagai tema pada Hari Orang Sakit Sedunia tahun 2024, sebagaimana yang dis’beerukan oleh Paus Fransiskus, “Tidak baiklah kalau manusia itu sendirian” (Kej 2:18). Bagi kita Tuhan menghadirkan ‘seorang penolong.’ Dan hal sama juga berlaku ketika kita mesti merasa terpanggil untuk menjadi penolong bagi sesama, terutama bagi yang sakit dan menderita.
Keempat: akhirnya kedekatan kita, keterlibatan kita dengan orang-orang sakit, atau rasa persaudaraan kita dengan orang-orang sakit sungguh mengingatkan kita dan meneguhkan kita bahwa selalu terbuka saatnya bahwa ‘kita juga adalah kaum penderita dan mesti mengalami keletihan fisik dan rohani, dan terbilang sebagai orang-orang sakit.
Saudara-saudari kita yang sakit, melemah dan menderita telah bunyikan alarm kehidupan bahwa betapa pentingnya kesehatan jiwa raga yang mesti diperjuangkan. Pun mengingatkan kita pula bahwa kita selalu bisa ada di jalan yang sama.
Tetapi, tugas kita yang utama, adalah mendoakan saudara-saudari kita yang sakit, tua dan menjadi tak melemah dan tak berdaya dalam situasinya. Kita memeterai semua perhatian dan tindakan kita demi para orang sakit di dalam permohonan berkat Tuhan.
Verbo Dei Amorem Spiranti.