Home BERITA Haul Gus Dur ke-7 di Klaten: Bersatu Melawan “Angkara Murka” di Indonesia

Haul Gus Dur ke-7 di Klaten: Bersatu Melawan “Angkara Murka” di Indonesia

0
Drama kolosal “Jamasan Nyai Melati”

HAUL KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke-7 dan perayaan Cap Go Meh di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah , dikemas dalam pagelaran seni budaya. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Forum Kebersamaan Umat Beriman (FKUB) Kebersamaan Klaten, Jaringan Gusdurian, Komunitas Multikultur Klaten, dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Klaten ini diadakan di Alun-Alun Klaten, Jumat (10/2/2017) sore.

Para peserta yang berjumlah ribuan orang itu, sebagian memakai topeng wajah Gus Dur. Topeng wajah tersebut sengaja dipakai sebagai pertanda kerinduan mereka akan sosok Gus Dur sebagai Bapak Bangsa.

Koordinator Jaringan Gusdurian Klaten, Marzuki,  menyampaikan pembagian seribu topeng Gus Dur ini sebagai wujud untuk menghadirkan kembali sosok Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden keempat Republik Indonesia, yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan.

“Ada banyak nilai kehidupan yang patut dijadikan teladan dari Gus Dur, di antaranya adalah kesederhanaan. Gus Dur juga lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan tidak memperkaya diri sendiri maupun golongan,” katanya.

Rindu akan sosok tokoh besar Indonesia: almarhum Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid.

Ketua PC GP Ansor Klaten itu menambahkan, dalam acara ini ditampilkan aksi seni budaya asli warga Klaten yang diawali dengan pentas budaya yang mengangkat tokoh Nyai Melati. Selain itu, juga ditampilkan pentas barongsai berbaur dengan tradisi lokal dan ogoh-ogoh.

Rindu akan sosok tokoh besar Indonesia: almarhum Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid.

Drama kolosal

Dalam acara ini ditampilkan drama kolosal berjudul Jamasan Nyai Melati. Drama kolosal di bawah guyuran hujan ini dimulai dengan arak-arakan Nyai Melati yang membawa empat gunungan berisi hasil bumi untuk dibagikan kepada para pengunjung di Alun-alun Klaten. Tak berselang lama, datanglah puluhan orang yang dipimpin oleh sesosok ogoh-ogoh tikus raksasa. Dengan rakusnya, mereka menjarah gunungan. Begitu puas dan kenyang, lantas para penjarah ini menggunakan kain putih yang dikenakan Nyai Melati sebagai lap pencuci tangan.

Dengan mengatupkan tangan ke dada layaknya bersemedi, Nyai Melati tetap berdiam diri. Lalu datanglah barongsai sebagai simbol kepahlawanan yang menghalau ogoh-ogoh dengan cara memasukkannya ke dalam kandang ayam raksasa. Kemudian Nyai Melati yang welas asih ini mengajak para penjarah untuk membersihkan diri di sendang sebagai simbol mensucikan diri dari kotoran.

Berkolaborasi dan berdoa bersama kelompok pemuda dari agama lain.

Sebelum drama kolosal, para santri, paduan suara gereja, dan masyarakat yang hadir di Alun-Alun Klaten menyanyikan lagu Bagimu Negeri. Para pemuka agama dan kepercayaan juga melantunkan doa lintas iman. Puncak acaranya adalah musik Ganjur khas Bali yang dimainkan oleh sejumlah pemuda Hindu yang mengiringi pembakaran ogoh-ogoh tikus raksasa.

Angkara murka

Dalam orasinya, putri Gus Dur yang sekaligus Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid menyatakan, drama kolosal tersebut sungguh menggambarkan siklus kehidupan yang terjadi di Indonesia saat ini.

“Angkara murka, dengan merajalelanya korupsi, bukan hanya soal mengambil uang yang bukan miliknya, namun juga perilaku korupsi sosial. Ketika ada orang lain memperlakukan sesamanya dengan sewenang-wenang, membuat kondisi tidak aman, itu adalah perilaku korupsi sosial. Namun itu semua bisa dilawan ketika masyarakat bersatu, tanpa sekat kesukuan, sekat agama, dan kelas sosial. Kita bisa melawan angkara murka di Indonesia. Ini yang akan saya bawa. Ini yang akan saya tularkan sebagai suntikan semangat optimisme,” tandasnya.

Berkolaborasi dan berdoa bersama kelompok pemuda dari agama lain.

Yenny Wahid mengatakan, hari ini, ia melihat sosok Gus Dur bukan hanya karena topeng kertasnya, namun juga karena keterlibatan masyarakat dalam acara ini yang penuh keikhlasan untuk saling berbagi.

“Gus Dur bagi saya lebih dari bapak. Ia seorang pemimipin. Saya adalah anak biologisnya, tapi bapak ibu sekalian adalah anak ideologis Gus Dur. Mereka yang menyebarkan virus toleransi dan perdamaian di dunia. Mereka yang berjuang bagi orang-orang yang teraniaya. Mereka yang tidak akan mau berkompromi dengan perilaku korupsi. Itulah anak ideologis Gus Dur. Kita semua anak-anak Gus Dur,” teriak Yeni dalam orasi budayanya.

OMK Paroki Wedi

Terkait, Pengurus Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santa Maria Bunda Kristus Wedi, Kabupaten Klaten, Fransiska Shinta Aprilia Yanida mengaku gembira bisa tampil terlibat dalam acara Haul Gus Dur ini. “Kami senang bisa tampil di acara ini. OMK Paroki Wedi bersama OMK dari Paroki Klaten, Gondang Winangun, Kebonarum, dan Cawas tampil main drama kolosal dan menyanyikan lagu Taize. Kami bisa tampil bagus meski hanya latihan 2 kali,” ucapnya.

Tak hanya itu, Shinta juga bersyukur karena mendapat pengalaman berharga pada event ini. “Kami tambah banyak teman dari lintas iman. Kami mendapat pengalaman dari “luar” gereja. Dan kami mempunyai bekal untuk mempersiapkan free event untuk Asian Youth Day (AYD) mendatang. Karena kami sudah mempunyai jaringan dari lintas iman,” akunya.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version