MUNGKINKAH hidup suci “disandingkan” dengan politik? Bukankah orang umumnya memahami politik sebagai permainan kotor? Di sana, orang merebut kekuasaan, saling menjatuhkan, dan berkhianat.
Sabda Tuhan pada hari ini (Imamat 19:1-2.11-18 dan Matius 25:31-46) memberikan pencerahan. Keduanya menghubungkan hidup suci dan politik.
Tuhan memerintahkan supaya jemaah Israel itu kudus seperti Tuhan Allah kudus (Imamat 19:2). Selanjutnya, Tuhan menegaskan tentang semua tindakan yang menyangkut relasi dengan sesama manusia, mulai dari larangan mencuri hingga membenci sesama manusia (Imamat 19:11-18). Hidup sejahtera.
Dalam Injil, Yesus menegaskan tentang pentingnya saling mencintai. Konkretnya, orang melakukannya dengan menolong mereka yang kecil, miskin, dan tertindas (Matius 25:31-42).
Orang bisa mewujudkannya lewat dua cara. Pertama, orang melakukan tindakan karitatif, baik secara pribadi maupun kelompok. Misalnya, menyumbangkan dana untuk kaum yatim piatu atau memberikan makanan kepada para pengemis yang kelaparan.
Kedua, orang menduduki jabatan publik (pemerintahan) dan menggunakan posisinya untuk menolong orang miskin, kecil, dan tertindas. Dia merebut kekuasaan untuk menciptakan kesejahteraan orang banyak. Inilah politik yang sebenarnya.
Politik itu bukan cara kotor dan licik merebut kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, melainkan berjuang menciptakan kesejahteraan umum. Itu bisa menjadi cara berbuat adil dan menolong orang-orang kecil dan miskin. Menciptakan hidup bersama yang sejahtera.
Hidup suci itu berbeda dari sikap saleh secara religius yang steril dari dosa dan kesalahan. Hidup suci itu tampak dalam sikap konkret terhadap sesama, terutama yang sangat membutuhkan pertolongan. Orang dapat melakukannya lewat jalur politik, menjadi pejabat publik atau memilih orang yang memperjuangkan kepentingan umum.
Senin, 19 Februari 2024
Albherwanta O.Carm.